22 Oktober 1964: Sastrawan dan Filsuf Jean-Paul Sartre Tolak Hadiah Nobel Sastra dari Akademi Swedia

Sastrawan dan Filsuf berkebangsaan Perancis, Jean-Paul Sartre, meraih penghargaan Hadiah Nobel Sastra dari Akademi Ilmu Pengetahuan Kerajaan Swedia (The Royal Swedish Academy of Sciences). [Dok. Asosiasi Pers Trasmedia Babel]

STOCKHOLM, Trasberita.com — Sastrawan dan Filsuf berkebangsaan Perancis, Jean-Paul Sartre, meraih penghargaan Hadiah Nobel Sastra dari Akademi Ilmu Pengetahuan Kerajaan Swedia (The Royal Swedish Academy of Sciences) pada 22 Oktober 1964, tepat 59 tahun yang lalu.

Namun, atas pencapaian dan terobosannya dalam melahirkan karya sastra dan filsafat menjadikannya orang pertama yang menolak hadiah paling bergengsi dan prestisius tersebut. Alasan konkrit Sartre menolak Hadiah Nobel karena ia menilai panitia Nobel terlalu bias kepada para penulis anti-komunis.

Bacaan Lainnya

Jean-Paul Sartre dikenal sebagai penulis novel, naskah drama, skenario, aktivis politik, dan kritikus sastra yang dimiliki Perancis yang hidup pada abad ke-20. Namun, sosok suami dari filsuf perempuan dan tokoh feminisme modern, Simone de Beauvoir ini, lebih dikenal sebagai eksponen Eksistensialisme, yakni tokoh yang radikal dalam pemikiran-pemikiran eksistensialisme—yang berkaitan dengan paham filsafat—yang menyatakan kebebasan manusia secara individu.

Melansir situs resmi Nobel Prize, Hadiah Nobel dianugerahkan kepada pria kelahiran Paris, 21 Juni 1905 tersebut. Karena berkat karyanya yang inspiratif, kaya akan gagasan dan dipenuhi dengan semangat kebebasan dan pencarian kebenaran. Namun secara mengejutkan, alih-alih menerima, ia justru menolak penghargaan paling bergengsi dan paling prestisius untuk orang jenius di dunia tersebut.

Sartre terpilih sebagai pemenang Nobel Sastra 1964 atas karya-karya filsafatnya yang, seperti diungkapkan oleh panitia Nobel, “kaya akan gagasan dan berisi semangat kebebasan dan pertanyaan akan kebenaran.” Tapi ia menolaknya.

Sejumlah karyanya, salah satunya L’Etre et le néant (1943) atau buku terjemahannya dalam bahasa inggris, “Being and Nothingness: An Essay on Phenomenological Ontology (Perancis: L’Être et le néant: Essai d’ontologie phénoménologique)”, telah memberikan pengaruh yang luas pada kehidupan umat manusia.

Dalam buku tersebut, Sartre mengembangkan catatan filsafat untuk mendukung teori eksistensialismenya—yang membahas topik-topik seperti kesadaran (consciousness), persepsi, filsafat sosial, desepsi diri, eksistensi tentang “ketiadaan/nothingness, psikoanalisis, dan pertanyaan tentang kehendak yang bebas.

Sartre berkeyakinan bahwa seorang penulis yang menganut pada posisi sosial, politik, maupun sastra, harus bertindak hanya dengan sarana yang dimilikinya. Sarana itu adalah kata-kata tertulis yang mengandung makna.

Dirinya beralasan, penolakan tersebut didasari pertimbangan pribadi dan objektivitasnya dalam menulis karya sastra dan genre sastra. Di mana ia menganggap, bentuk penghargaan Nobel hanya akan membebani pembaca karya-karyanya.

“Jika aku disebut ‘Jean-Paul Sastre’ saja,” katanya, “itu akan berbeda dengan ketika aku disebut ‘Jean-Paul Sastre Peraih Nobel Sastra’.” ungkap Sartre, sebagaimana dirangkum dari laman Britanica, Minggu, 21 Juni.

Pertimbangan lain: Sartre tidak puas terhadap panitia Nobel yang sering berlaku tidak adil kepada penulis-penulis dari Blok Timur. Alasan politis dan ideologis ini mencerminkan keberpihakan, atau setidaknya simpati, Sartre kepada komunisme yang memang tidak pernah ia sembunyikan.

Memang Sartre saat itu tak ingin terjebak dalam dua blok yang kala itu bersengketa beberapa tahun setelah Perang Dunia II, yakni Blok Barat dan Blok Timur.

Sartre yang dikenal sebagai Bapak Eksistensialisme itu menyatakan alasan di atas di balik penolakan Hadiah Nobel. Sebagaimana ditulis dalam suratnya, jika ia menerima Nobel, maka akan mencerminkan keberpihakan atau setidaknya simpati baik ke Blok Barat maupun pemberontakan Blok Timur.

Menurut Sartre, Hadiah Nobel adalah hadiah para borjuis. Tetapi, hal itu diketahui sebagai interpretasi borjuis yang pasti akan diberikan oleh kalangan tertentu yang sangat ia kenal. Singkatnya, dia akan selalu menolak pembedaan resmi dengan alasan bahwa dirinya tidak pernah ingin dilembagakan.

Dalam pemahamannya terkait Eksistensialisme, Sartre menyatakan, eksistensi lebih dulu ada dibanding esensi (L’existence precede l’essence). Oleh karenanya, menurut Sartre satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia (L’homme est condamne a etre libre).

“Manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan, selama hidupnya, ia tidak lebih hasil kalkulasi dari komitmen-komitmennya pada masa lalu,” tukas Satre.

Karya-karya Jean-Paul Sartre

Dilansir dari history.com, pada tahun 1943, Sartre menerbitkan salah satu karya kuncinya yang berjudul, “Being and Nothingness.” Dan dalam catatan buku tersebut, dia berargumen bahwa manusia terkondemnasi pada kebebasan dan memiliki tanggung jawab sosial. Sartre, dan juga Beauvoir, terlibat dalam gerakan sosial, mendukung komunisme, dan pergerakan mahasiswa radikal di Paris pada tahun 1968.

Juga pada tahun 1943, dia menulis salah satu drama paling terkenalnya, “The Flies,” dan “Huis Clos” (No Exit) pada tahun 1945. Pada tahun 1945, ia memulai sebuah novel berjudul “The Roads to Freedom” dalam empat volume, tetapi dia berhenti menulis dalam bentuk novel setelah menyelesaikan volume ketiga pada tahun 1949. Pada tahun 1946, dia terus mengembangkan filsafatnya dalam “Existentialism and Humanism.”

Pada tahun 1950-an dan 60-an, Sartre mengabdikan dirinya pada studi tokoh sastra seperti Baudelaire, Jean Genet, dan Flaubert. Dan “The Family Idiot,” karyanya tentang Flaubert mencapai empat volume, tetapi hanya tiga yang diterbitkan. (Tras Sosial Budaya)

Penulis: Ahmad Karim Amrullah

Pos terkait