Laporan: milando guteres
PANGKALPINANG, TRASBERITA.COM — Pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum guru silat kepada siswinya di salah satu sekolah dasar di Kecamatan Air Gegas Kabupaten Bangka Selatan menuai komentar dari masyarakat Babel.
Salah satunya datang dari Dosen Sosiologi Universitas Bangka Belitung, Luna Febriani, Rabu (12/01/2022).
Luna mengatakan, persoalan kekerasan terhadap anak dan perempuan seperti tidak ada habisnya.
Hal ini selalu terjadi dalam tatanan kehidupan masyarakat lokal maupun nasional.
Menyeruaknya kasus kekerasan seksual ke publik ibarat efek domino, yang mana karena ada satu atau beberapa kasus yang dipublikasi dan dilaporkan, maka menularkan kepada para penyintas lain untuk mempublis dan melaporkan kasus kekerasan seksual.
“Kasus kekerasan seksual yang banyak terkuak dan dilaporkan akhir-akhir ini banyak terjadi pada institusi pendidikan atau pada relasi antara pendidik dengan anak didiknya. Seperti yang kekerasan seksual terjadi di beberapa kampus besar di Indonesia yang dilakukan oleh dosen terhadap mahasiswa dan kasus pelecehan seksual yang terjadi di sekolah berbasis agama yang dilakukan oleh guru terhadap santrinya, “katanya.
Ironisnya, lanjut Luna, lembaga pendidikan dan orang-orang berpendidikan yang seharusnya menjadi tempat dan aktor yang dapat melahirkan generasi yang terdidik dan humanis, justru sebaliknya menjadi tempat yang tidak aman bagi perempuan dan anak, karena ditempat ini dan orang didalamnya kerapkali menjadi pelaku dari kekerasan seksual.
” Seperti yang baru-baru ini terjadi di Kabupaten Bangka Selatan, kekerasan seksual dilakukan oleh guru silat terhadap anak didiknya yang masih dibawah umur. Mirisnya, kekerasan seksual yang dilakukan oleh guru silat ini bukan saja terjadi untuk pertama kalinya. Kejadian ini memperpanjang angka kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang dalam lingkungan terdekat anak, ” katanya.
Menurutnya, kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap anak didiknya baik dalam lingkungan pendidikan formal, informal dan non-formal tidak dapat dilepaskan dari relasi kekuasaan yang ada antara guru dengan anak didiknya.
Relasi kekuasaan ini konsekuensinya mengharuskan anak didik untuk patuh dan cenderung tunduk kepada mereka yang dianggap guru.
” Relasi kekuasaan kemudian di internalisasi dalam aturan-aturan dan kebiasaan yang banyak diterapkan dalam lingkungan pendidikan. Ibarat kata, apa yang diperintahkan oleh guru akan dianggap sebagai dogma yang tidak bisa dikritisi keberadaanya.Relasi kekuasaan yang telah terkonstruksi sejak dulu dan tidak diimbangi dengan pemikiran kritis sejak dini, menjadikan anak selalu mentaati dan takut untuk mengatakan jika ada perbuatan atau perlakuan gurunya yang cenderung menyimpang, “katanya.
Terlebih, sambungnya ketika perilaku menyimpang tersebut dibarengi dengan intervensi atau ancaman yang dilakukan terhadap anak didik, seperti hukuman dari lembaga pendidikan yang dapat berupa ancaman pengurangan nilai hingga dikeluarkan dari lembaga pendidikan, serta ancaman pembunuhan yang mengancam jiwa anak didik.
” Begitu pula yang terjadi pada kasus kekerasan seksual oleh guru silat terhadap anak didiknya, relasi kekuasaan antara guru dan anak serta ketiadaan pemikiran kritis anak menjadikan anak tidak mau dan takut melaporkan kejadian tersebut kepada orang tua dan lingkungan terdekat. Hingga akhirnya, kejadian ini terkuak karena ada terlihatnya symbol atau bekas kekerasan seksual yang ditemukan pada tubuh anak yang menjadikan orang tua mempertanyakan keberadaan symbol tersebut, ” katanya.
Dirinya menambahkan, jika orang tua tidak mengetahui perihal ini, bisa saja kekerasan seksual tersebut akan terus terjadi berulang karena tidak ada pemberitahuan dari korban.
Melihat kasus kekerasan seksual yang banyak terjadi dengan pola seperti ini, seharusnya menjadi alarm bagi orang tua khususnya, agar tetap waspada terhadap lingkungan anak, baik itu lingkungan terdekatnya atau lingkungan luar.
Penanaman pengetahuan tentang pendidikan seks sejak dini dan pemikiran kritis sejak dini menjadi langkah preventif untuk meminimalisir kekerasan seksual yang disebabkan oleh relasi kekuasaan.
” Pendidikan seksual salah satunya menjelaskan tentang bagian tubuh mana dari anak yang tidak boleh disentuh orang lain, baik dalam lingkungan terdekatnya maupun orang yang tidak diketahuinya. Ini akan menjadi dasar bagi anak-anak, jika bagian tersebut disentuh oleh orang maka dia berhak dan harus melaporkan kepada orang tuanya atau keluarga terdekat. Selain pendidikan seksual, pendidikan kritis juga menjadi penting untuk diberikan kepada anak. Pendidikan kritis sejak dini akan memberikan pemahaman kepada anak tentang hal apa yang boleh atau tidak dilakukan oleh dirinya maupun orang lain terhadap dirinya ketika dia terlibat dalam suatu interaksi baik itu interaksi formal maupun interaksi terdekat. Dengan adanya pemahaman kritis ini menjadikan anak tidak mutlak patuh kepada orang yang lebih tinggi relasinya, terlebih ketika itu cenderung mengarah pada tindakan negatif, ” katanya.
Lebih lanjut ia menjelaskan komunikasi antara orang tua dan anak perlu diefektifkan, ini dilakukan untuk mencegah hingga mengetahui apakah anak menjadi korban kekerasan seksual.
Ciptakan hubungan yang hangat antara orang tua dan anak serta biasakan pola anak menceritakan aktivitas sehari-hari mereka, sehingga jika ada kasus yang janggal orang tua akan cepat mengetahui atau anak segera melaporkannya.
” Disamping itu, bukan saja peran orang tua yang penting dalam meminimalisir kasus kekerasan seksual, tapi peran masyarakat dan negara juga. Masyarakat dalam hal ini dapat menjadi agen untuk mencegah dan mengenali kasus kekerasan seksual. Kontrol sosial masyarakat sangat diperlukan untuk meminimalisir kekerasan seksual.Sedangkan negara berperan dalam penciptaan dan penerapan kebijakan yang berhubungan dengan kekerasan seksual,” katanya.
Menurutnya, semakin tingginya tingkat kasus kekerasan seksual yang terjadi ini, rasanya tepatlah kiranya pemerintah segera mengesahkan peraturan tentang kekerasan seksual.
Karena dengan adanya aturan tersebut, akan semakin jelas payung hitam aturan tentang korban dan pelaku dalam kasus kekeran seksual.
” Penghukuman terhadap pelaku atau aktor kekerasan seksual menjadi penting untuk diterapkan, mengingat selama ini pelaku kekerasan seksual justru banyak dilepas liarkan terlebih jika itu dianggap orang dekat korban. Konsekuensinya pelepasliaran pelaku kekerasan seksual akan menjadikan mereka pelaku melenggang bebas, padahal konsekuensi dari kekerasan seksual yang dilakukan telah menimbulkan dampak mendalam bagi psikologis, masa depan hingga jiwa korban, bahkan tak jarang pelaku kekerasan seksual yang dilakukan terhadap korban akan menjadikan korban mengimitasi tindakan tersebut kepada orang lain dikemudian hari, “katanya.
Terakhir ia mengatakan, jika pelaku dibiarkan maka tidak menutup kemungkinan akan memunculkan korban dan pelaku secara bersamaan, sehingga kekerasan seksual akan semakin berlipat ganda.
Jangan sampai hal ini terjadi baru tergopoh-gopoh untuk turun tangan. (*/tras)