Penulis: Andri Yanto
Fakultas Hukum UBB
OPINI, TRASBERITA.COM — Dinamika organisasi merupakan bagian integral dari setiap pergerakan kemahasiswaan di lingkungan perguruan tinggi. Sentralitas peran setiap organisasi dalam manajemen pengelolaan modalitas kemahasiswaan menjadikanya penting dan harus diteruskan secara kontinuitas.
Melalui pengelolaan organisasi yang baik, gerakan-gerakan mahasiswa dalam ruang dialektika intelektual dapat diarahkan secara optimal, efisien, dan menghasilkan kebermanfaatan yang nyata. Untuk itu, keberadaan dan pergantian kepemimpinan organisasi kemahasiswaan adalah momentum yang menentukan.
Namun, dinamisnya politik kampus di Indonesia, baru-baru ini menggaet satu diskursus penting yang menjadi refleksi awal tahun, salah satunya ialah kasus pembacokan dua mahasiswa Universitas Wahid Hasyim Semarang (UNWAHAS) akibat perseteruan pendapat dalam pemilihan ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) UNWAHAS periode 2022.
Hal ini, meski secara umum berada dalam konteks kriminalitas yang normal dimata hukum, namun karena terjadi di lingkungan akademik dan ruang cakupan demokrasi yang bertipikal sederhana (secara kuantitas) maka dapat dinotasikan sebagai peristiwa luar biasa dan menuntut adanya evaluasi.
Demokrasi Berdarah
Tidak dapat dipungkiri, politik memang senantiasa membicarakan kepentingan, sebuah titik temu antara hak dan kewajiban. Perbedaan dalam hal kepentingan mengarah pula pada segregasi pendapat dan sikap antar individu, golongan, dan pihak-pihak.
Seteru antara pihak yang berseberangan kepentingan adalah hal yang lazim, selama berada dalam tataran yang wajar dan dapat diterima secara etika serta logika inheren.
Demokrasi, sejatinya memang diformulasikan untuk menjembatani diversitas perbedaan kepentingan melalui politik yang sehat dan berlandas pada nilai, asas, dan norma yang ditetapkan sebelumnya.
Pengaturan yang rapi dan diselenggarakan secara terpusat menjadi kunci penting untuk memastikan jalanya proses pemilihan dan peruntungan kepentingan itu secara optimal dengan mereduksi potensi anarki dan ekstrem kiri dalam monopoli suara.
Di lingkungan kampus, pemilihan untuk menduduki jabatan rutin diselenggarakan setiap tahun, secara terpusat dan bertanggungjawab.
Musyawarah Mahasiswa UNWAHAS yang dilaksanakan pada Kamis, 30 Desember 2021 lusa menunjukan anomali yang patut disayangkan.
Panasnya perdebatan dalam pemilihan posisi Ketua DPM Kampus UNWAHAS berbuntut pada pertikaian antar mahasiswa hingga diluar forum.
Mirisnya, setelah forum musyawarah selesai, konflik merembet pada adu argumen dan cekcok antara NAF, mahasiswa Jurusan Ilmu Politik UNWAHAS, DH, mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum UNWAHAS dengan beberapa mahasiswa lain, salah satunya pelaku, IM, yang juga mahasiswa Jurusan Ilmu Politik.
Meski sempat diredam oleh Presiden Mahasiswa, namun hanya berselang beberapa saat, terjadi pembacokan terhadap NAF dan DH yang dilakukan oleh IM, meninggalkan luka bacokan celurit di punggung dan lengan korban sehingga harus dibawa kerumah sakit untuk pertolongan darurat.
Cerminan Politik Nasional
Insiden pembacokan yang terjadi di lingkungan UNWAHAS di penutup tahun 2021 ini, sekaligus merupakan refleksi bagaimana nilai-nilai dasar demokrasi perlu dikuatkan kembali, baik dalam tataran terendah, semisal politik kampus hingga panggung politik nasional.
Relevansi kasus, misalnya terjadi dalam Pilkada 2018 dan 2018. Kekerasan dalam demokrasi terparah tahun 2017 terjadi di Kantor Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Intan Jaya yang menyebabkan pembakaran kantor instansi pemerintahan, 4 orang tewas dan lebih dari 600 luka-luka.
Di Puncak Jaya, empat orang tewas dan 14 rumah terbakar saat klaim kemenangan proses sengketa hasil di Mahkamah Konstitusi. Sementara di Kepulauan Yapen, kantor KPU Kepulauan Yapen dibakar massa yang kecewa terhadap integritas dan profesionalitas penyelenggara pemilu.
Peristiwa yang sama juga terjadi di Sampang, Jawa Timur. Pilkada Empat Lawang harus meninggalkan jejak tragis akibat penembakan yang menyebabkan satu orang Timses tewas dan dilakukan oleh oknum timses pasangan calon lain.
Rekam kekerasan politik di Indonesia menjadi tren yang belum bisa dilepaskan, termasuk dalam masa pemilu 2019, dan kemungkinan berpotensi kembali terjadi pada 2024 mendatang.
Fetisisme Politik: Paradigma Miring Demokrasi
Penyimpangan praktik demokrasi yang ditandai dengan kekerasan, kampanye hitam, dan berbagai usaha “belakang” merupakan fenomena laten yang terjadi akibat miringnya paradigma berfikir, yang mengarah pada fetisisme politik.
Meminjam pemikiran Georg Lukacs yang direlevansi, pengagungan atas tujuan yang bersifat prosedural merupakan miskonsepsi awal yang mengaburkan tujuan-tujuan teleologis.
Ide konsepsinya, ketika pemilihan umum dimaknai sebagai ajang pemenangan pasangan calon, dan bukan sebagai ajang perbaikan serta pembaruan sistem, maka upaya-upaya tidak sehat akan bermunculan mengiringi pencapaian tujuan terbatas tersebut.
Memang, adalah tugas bagi tim sukses (timses) untuk menginisiasi terobosan-terobosan tertentu guna memastikan kemenangan paslon, namun bukan berarti pula dengan melampaui prosedur dan melakukan upaya-upaya agresif semisal kekerasan bagi yang berbeda pandangan. Hal ini, ialah bentuk kemunduran berpikir yang nyata.
Paradigma demokrasi harus dibangun secara ideal dengan tujuan-tujuan teleologis yang terintegrasi. Setiap paslon, pihak, atau orang-orang dengan kepentingan praktis, harus memandang tujuan akhir demokrasi itu sebagai pencapaian bersama, sehingga persaingan dilakukan secara sehat, prosedural, dan saling menghormati.
Dalam politik kampus, perbedaan pendapat terkait posisi jabatan dalam musyawarah seharusnya bukan bertujuan tunggal untuk memenangkan calon tertentu, melainkan secara kontemplatif menjadi upaya bersama untuk mempertemukan kepentingan-kepentingan guna menghasilkan perbaikan di periode mendatang.
Hal ini secara preventif, mereduksi potensi penggunaan kekerasan, seperti yang senyatanya telah terjadi di UNWAHAS.
Kampus sebagai sentra akademisi yang diharapkan menjadi ruang lahir bagi generasi berintelektual dan berkarakter maju, harus memandang demokrasi secara progresif sebagai bagian integral dari praktik pembelajaran.
Konsep demokrasi yang dianut dalam mekanisme politik bernegara, sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila sila-4, harus dijaga dan di jalankan oleh regenerasi bangsa yang mumpuni dan kompeten serta berintegritas.
Jika dalam lingkungan pembelajaran saja, kekerasan akibat perbedaan pendapat terus terjadi, lantas bagaimana kita berharap demokrasi nasional dapat berjalan dengan penuh toleransi?
Memang, kasus-kasus kekerasan hanya terjadi secara temporal dan dalam lokus tertentu. Di berbagai kampus lain, politik mahasiswa dijalankan secara sehat sebagaimana mestinya.
Namun, sebagai evaluasi, tidak dapat dipersalahkan untuk mendorong dilakukanya upaya-upaya perbaikan guna menumbuhkembangkan kesadaran, terutama di lingkungan mahasiswa agar terus menjaga nilai-nilai toleransi, penghargaan atas perbedaan, dan musyawarah sebagai jalan penyelesaian masalah-masalah demokrasi. Viva Justitia! (tras)