*”Bangka dan Roem-Royen Statement, 76 Tahun Lalu”*

M. Roem, Hatta, Sjahrir, Soejadarma dan Ali Sastroadmidjojo Sedang Berunding Di Pangkalpinang Tahun 1949

Dato’ Akhmad Elvian, DPMP.
Sejarawan dan Budayawan Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia

Bacaan Lainnya

Resolusi Dewan Keamanan PBB Tanggal 28 Januari 1949 yang menuntut pembebasan “members of the Republican Government” (anggota-anggota Pemerintah RI) dan supaya Pemerintah Republik dikembalikan ke Yogya agar bisa “enabled to function freely” (dimungkinkan berfungsi dengan bebas) adalah pemimpin yang diasingkan di Bangka. Bahwa Pemerintah Darurat dalam pesannya yang dikirim kepada Nehru dengan tilgram dan ditandatangani oleh Mr. Sjafruddin Prawiranegara, menyatakan persetujuannya dengan Resolusi New Delhi tersebut, dengan tanggung jawab sepenuhnya “accept the decision with full responsibility” (Sastroamidjojo, 1974:267).

Diplomasi yang dijalankan di PBB dan di pulau Bangka sangat intens dilakukan, tercatat setelah terbentuknya UNCI (United Nations Commission for Indonesia) dan kedatangan delegasi UNCI ke pulau Bangka, pada bulan Maret 1949, Sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB, Tanggal 28 Januari 1949, maka pada Tanggal 23 Maret 1949, utusan UNCI tiba di Jakarta untuk mulai mengusahakan agar pemerintah Belanda dan Republik Indonesia dapat mengadakan pertemuan pendahuluan.

Pada Tanggal 2 April 1949, Mr. Mohammad Roem atas nama pemimpin Republik Indonesia di Bangka, mengirim surat ke UNCI yang menyatakan kesediaan mengadakan pertemuan pendahuluan di Jakarta. Pada Tanggal 12 April 1949, Mr. Van Royen, wakil Pemerintah Belanda di PBB, yang ditunjuk sebagai ketua delegasi Belanda ke pertemuan pendahuluan tiba di Jakarta dengan beberapa orang anggota delegasinya. Pada Tanggal 14 April 1949, pertemuan pertama Indonesia-Belanda dapat dilangsungkan di bawah pengawasan UNCI, yang diketuai oleh Merle Cohran. Memulai pembicaraan pertamanya Mr. Van Royen bertanya dengan tak terduga: atas nama siapa Mr. Mohammad Roem akan berbicara?. Roem menjawab spontan, “Atas nama pribadi (persoonlijk) Presiden dan Wakil presiden RI” (Salim, 1995:51).

Melalui tekanan-tekanan militer di Jawa dan Sumatera terhadap Belanda dan beberapa kali perundingan atau diplomasi di United Nations dan di Bangka antara Kelompok Bangka atau “Trace Bangka” dengan Belanda dan BFO yang dimediasi oleh Komisi Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Indonesia (United Nations Commission for Indonesia) atau UNCI, lahirlah “Roem-Royen Statement” di Jakarta pada Tanggal 7 Mei 1949.

Hasil perundingan Roem-Royen yang disetujui pada Tanggal 7 Mei 1949 yang dikenal dengan Roem-Royen Statements berisi sebagai berikut : Delegasi Indonesia menyetujui kesediaan Pemerintah Indonesia untuk: 1). mengeluarkan perintah kepada “pengikut Republik yang bersenjata” untuk menghentikan perang gerilya; 2). bekerjasama dalam mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan; 3). turut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, dengan maksud untuk mempercepat “penyerahan” kedaulatan yang sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat.

Pernyataan Belanda pada pokoknya berisi: 1). menyetujui kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta; 2). menjamin penghentian gerakan-gerakan militer dan membebaskan semua tahanan politik; 3). tidak akan mendirikan atau mengakui negara-negara yang ada di daerah yang dikuasai oleh Republik Indonesia sebelum 19 Desember 1948, dan tidak akan meluaskan negara atau daerah dengan merugikan Republik; 4). menyetujui adanya Republik Indonesia sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat; dan 5). berusaha dengan sesungguh-sungguhnya supaya KMB segera diadakan sesudah Pemerintah Republik kembali ke Yogyakarta.

Pada Tanggal 6 Juli 1949, Presiden Soekarno dan rombongan kembali ke Kota Yogyakarta dari Pangkalpinang Bangka. Sebelum berangkat rombongan berpamitan dengan masyarakat Pangkalpinang dan masyarakat Bangka, bertempat di Balai Haminte/Gemeente (sekarang berseberangan dengan Masjid Al Muhajirin Jalan Balai, kini Jalan KH. Hasan Basri Sulaiman) Pangkalpinang. Pada saat itulah Bung Karno mengatakan satu sloka yang menggugah semangat kebangsaan bahwa “Dari Pangkalpinang Pangkal Kemenangan Bagi Perjuangan”. (*/Tras).

Pos terkait