Bangka di Masa Lalu: Kenapa tidak Dikenal Ulama Lokal?

Oleh: Suryan Masrin

Ulama adalah pewaris para nabi (warasatul anbiya) yang menjadi jembatan keilmuan dan risalah Islam kepada umat manusia, terlebih pada saat islamisasi nusantara. Ulama-ulama tersebut, tentu berawal dari ulama-ulama luar sebagai pembawa dan penyebar Islam tersebut.

Bacaan Lainnya

Barulah dari tangan-tangan mereka menjadi motivasi bagi tokoh-tokoh atau penuntut ilmu Nusantara tergerak menjadi pelanjut atau sekaligus penerus ulama-ulama sebelumnya yang hadir di negeri ini. Seiring waktu dan proses islamisasi nusantara, tak terkecuali juga Pulau Bangka menjadi cipratan proses tersebut.

Islamisasi Bangka kemudian menjadi rasa penasaran penulis, kenapa di Pulau Bangka tidak dikenal ulama-ulama kelahiran Bangka, tidak seperti halnya dengan wilayah-wilayah lain, seperti wilayah tetangganya yakni, Palembang, Riau, Minangkabau dan lainnya.

Padahal Islam masuk ke Bangka sudah dikenal dan familiar diperkirakan sejak abad ke-16 melalui jalur perdagangan dan dakwah dari Johor, Minangkabau, Palembang, dan Kesultanan Melayu lainnya.

Pada masa ini, penyebar Islam umumnya adalah ulama dari luar, seperti dari Sumatera, Jawa, atau Semenanjung Malaya, yang berdakwah kepada masyarakat lokal.

Akibatnya, ulama yang berpengaruh sering kali bukan berasal dari Bangka, melainkan dari daerah-daerah tersebut. Sebut saja misalnya yang paling muda masanya, yakni akhir abad 19-20, Syekh Abdurrahman Siddik, yang kini disematkan sebagai nama perguruan tinggi Islam di pulau ini.

Sebenarnya, bukan berarti Bangka tidak melahirkan ulama-ulama kelahiran dari negeri ini, hanya saja pengenalan dan pengkultusan terhadap ketokohan agama dan lainnya di negeri ini memang tidak begitu ada pengkhususan.

Dalam sejarah panjang Islam di Pulau Bangka, terlebih pada abad 18 sampai awal abad 20 orang-orang Bangka telah ada yang naik haji.

Terkait haji, di Bangka juga dikenal istilan ‘naon’ oleh sebab lamanya naik haji dan bermukimnya orang-orang Bangka kala itu ketika naik haji sambil menimba ilmu di sana. Artinya, sekembali mereka dari naik haji, tentu bekal ilmu dan keilmuan mereka sudah mumpuni untuk sekadar mengajarkan Islam bagi orang Bangka. Bila melihat Regeering Almanak tahun 1830-1940 (masa kolonial di Bangka) telah tercatat nama -nama kepala penghulu Bangka, yang hampir semuanya tersemat gelar haji.

Setidaknya ada satu ulama kelahiran Bangka (Mentok) yang penulis dapat informasinya pada tahun 2024 dari karya Maulana La Eda yang berjudul “100 ulama Nusantara di Tanah Suci” yang menuliskan nama Syekh Abdullattif (1861-1948) seorang ulama ahli ibadah yang berkiprah di Mekah dan wafat juga di sana. Namun demikian, ketokohan beliau juga di Bangka sendiri hingga kini belum terkonfirmasi, baik keluarga dan sanak familinya.

Menanggapi fenomena di atas, beberapa faktor yang menyebabkan tidak dikenalnya ulama-ulama kelahiran Bangka adalah dari segi kurangnya dokumentasi atau pendokumentasian sejarah ulama lokal Bangka.

Sejumlah faktor dapat menjelaskan mengapa tokoh-tokoh keislaman di Bangka pada masa itu tidak banyak dikenal dalam literatur sejarah yang ada saat ini adalah sebagai berikut.

Pertama, tradisi lisan yang lebih dominan, masyarakat Bangka pada abad ke-18 dan 19 lebih mengandalkan tradisi lisan dalam mentransmisikan ilmu agama dan sejarah, dibandingkan dengan dokumentasi tertulis.

Pendidikan Islam kemungkinan besar berlangsung di masjid-masjid kecil, surau, atau melalui pengajaran dari guru ke murid secara langsung. Namun, karena tidak banyak teks atau kitab yang dihasilkan oleh ulama lokal pada masa itu, jejak mereka pun sulit ditemukan dalam catatan sejarah.

Dalam tradisi lisan, orang Bangka tidak akrab dan familiar dengan pergelaran khusus, tidak seperti halnya di luar Bangka, yang akrab dengan penyematan gelar Syekh, Kiyai Haji, Gus, dan lainnya. Penggelaran untuk tokoh agama hanya pada Haji dan Guru (guru kampung).

Kedua, Minimnya institusi pendidikan Islam formal; Bangka tidak seperti di daerah lain, misalnya Minangkabau atau Aceh, sistem pendidikan Islam berbasis pesantren atau dayah telah berkembang dengan baik sejak abad ke-17. Di sana, ulama lokal tidak hanya mengajarkan ilmu agama tetapi juga menulis kitab yang kemudian terdokumentasi dan diwariskan. Sementara itu, di Bangka, meskipun Islam berkembang, tidak banyak bukti yang menunjukkan keberadaan pesantren atau lembaga pendidikan Islam formal yang dapat mencetak dan mendokumentasikan keilmuan ulama setempat.

Ketiga, Pengaruh Pemerintahan Kolonial Belanda; Pada abad ke-18 dan 19, Bangka berada di bawah pengaruh kolonial Belanda, terutama setelah perjanjian antara Belanda dan Inggris dalam Traktat London (1824).

Pemerintah kolonial lebih memusatkan perhatian pada eksploitasi sumber daya, terutama tambang timah, dibandingkan dengan pengembangan pendidikan Islam. Bahkan, kebijakan kolonial cenderung membatasi pergerakan ulama dan institusi keislaman yang dianggap bisa menyaingi kekuasaan mereka. Hal ini menyebabkan ulama lokal tidak mendapatkan dukungan yang cukup untuk mendokumentasikan ajaran atau pemikiran mereka.

Keempat, Fokus ulama pada praktik keagamaan daripada penulisan; Ulama-ulama di Bangka pada masa itu kemungkinan besar lebih berperan sebagai pendakwah dan pemimpin ibadah di komunitas mereka, bukan sebagai penulis kitab atau karya lainnya. Fokus mereka mungkin lebih pada membimbing masyarakat dalam menjalankan ajaran Islam melalui praktik langsung, seperti membangun masjid, mengajarkan fikih, dan membimbing ritual keagamaan. Akibatnya, tidak banyak karya tulis yang diwariskan sebagai bukti keilmuan mereka.

Kelima, Baru munculnya catatan tertulis pada abad ke-20; Sebagian besar catatan sejarah Islam di Bangka baru muncul pada pertengahan abad 19 dan lebih jelas pada abad ke-20, seperti kitab Permulaan Sembahyang karya Haji Batin Sulaiman pada 1915. Karya ini menjadi salah satu bukti konkret adanya tradisi keilmuan Islam di Bangka, tetapi juga menunjukkan bahwa sebelumnya dokumentasi tertulis masih sangat minim. Mungkin ada ulama-ulama lokal sebelum Haji Batin Sulaiman yang memiliki kontribusi dalam keilmuan Islam, tetapi kurangnya dokumen tertulis membuat nama mereka tidak banyak dikenal.

Minimnya dokumentasi tertulis membuat jejak ulama lokal Bangka pada abad ke-18 sampai awal abad 20 sulit dilacak dalam sejarah resmi. Faktor tradisi lisan, ketiadaan lembaga pendidikan Islam formal yang kuat, kebijakan kolonial, dan kecenderungan ulama untuk lebih berperan sebagai praktisi agama daripada penulis kitab turut berkontribusi dalam kondisi ini. Semoga ke depan kajian lebih lanjut terhadap manuskrip lokal, tradisi lisan, serta sumber sejarah tidak tertulis dapat membantu mengungkap lebih banyak tentang keberadaan dan peran ulama-ulama lokal di Bangka pada masa tersebut. (*)

Mentok, 13 Februari 2025

——

Suryan Masrin adalah guru sekolah dasar di salah satu SD Negeri di Mentok Bangka Barat. Ia juga merupakan seorang penikmat dan pemerhati manuskrip Arab Melayu di Pulau Bangka.

Pos terkait