Penulis: Assoc Prof Dr Saidun Derani MA
OPINI, TRASBERITA.COM — Tulisan Dr Adian Husaini, seorang cendikiawan Muslim Indonesia Abad 21 ini, dengan judul “Utang Barat terhadap Islam” di Harian Republika, Sabtu 29 Desember 2008, sangat mengejutkan umat Islam NKRI umumnya dan sebagian besar pelajar NKRI alumni PerguruanTinggi Barat, baik yang ada di Eropa, Amerika, dan Australia. Mengapa dikatakan mengejutkan jagat Umat Islam NKRI?
Fakta lapangan apa yang dikatakan Dr. Adian Husaini ada benarnya. Beberapa kasus ditemukan bahwa sebagian besar mahasiswa penulis ketika ditanya kemajuan Sains dan Teknologi (abad ke-8 sd 14 M) umumnya mereka tak tahu dan mengerti kalau Dunia Islam periode Abad Pertengahan menjadi baromoter kemajuan Peradaban Dunia.
Adian Husaini menyayangkan banyaknya (umumnya) pelajar NKRI yang ”silau alias gelap mata” dengan peradaban Barat. Mereka bangga dan rajin melantunkan lagu sekularisme, liberalisme, feminisme, pluralisme agama, dan isme-isme lain yang dapat menyeret kaum Muslim menjadi ”satelit Barat atawa pengiklan” produk Barat sekuler itu.
Parahnya lagi bahwa banyak perguruan Tinggi Islam saat ini misalnya lebih bangga menerapkan metode hermeneutika Barat dalam menafsirkan Alquran ketimbang menggunakan Ilmu Tafsir Alquran itu sendiri.
Dengan mengutip ”Hutang Barat terhadap Islam” (The Wes’st Debt to Islam) yang diambil dari salah satu bab berjudul “What Islam Did For Us: Understanding Islam’s Contribution to Western Civilization” (London: Watkins Publishing, 2006), karya Tim Wallace-Murphy Adian menjelaskan bahwa buku ini menyajikan data sejarah hubungan Islam-Barat di masa lalu di tengah begitu gencar serangan berbagai media Barat terhadap Islam.
Berbeda dengan manusia Barat yang fobia dan antipati terhadap Islam – seperti sutradara film Fitna, Geert Wilders – penulis buku ini memberikan gambaran yang cukup obyektif tentang Islam. Bahkan dia mengajak Barat untuk mengakui besarnya hutang mereka terhadap Islam.
”Hutang Barat terhadap Islam,” tegas Tim Wallace-Murphy, “adalah hal yang tak ternilai harganya dan tidak akan pernah dapat terbayarkan sampai kapan pun. Katanya, “We in the West owe a debt to the Muslim world that can be never fully repaid.’’
Pengakuan Wallace-Murphy sebagai bagian dari komunitas Barat semacam ini sangatlah penting baik bagi Barat maupun Islam.
Di mana letak hutang budi Barat terhadap Islam? Buku ini banyak memaparkan data tentang bagaimana transmisi ilmu pengetahuan dari dunia Islam ke Barat pada Zaman Pertengahan (the Middle Ages).
Di Zaman Pertengahan itulah Andalusia (Spanyol) yang dipimpin kaum Muslim menjadi pusat Peradaban Dunia. Bukan hanya di daratan Eropa tetapi juga di seluruh kawasan Laut Tengah.
Pada zaman itu situasi kehidupan dunia Islam dan dunia Barat sangatlah kontras. Bagi mayoritas masyarakat di dunia Kristen Eropa kehidupan adalah singkat, brutal dan barbar dibandingkan dengan kehidupan kosmopolite, terpelajar, dan pemerintahan yang toleran di Spanyol-Islam.
Demikianlah, Barat banyak belajar kepada dunia Islam. Para tokoh agama dan pelajar mereka berlomba-lomba mempelajari dan menerjemahkan karya kaum Muslim yang hidup nyaman dalam perlindungan Islam.
Barat dapat menguasai ilmu pengetahuan modern seperti sekarang ini karena mereka berhasil mentransmisi dan mengembangkan sains dari para ilmuwan Muslim.
Tim Wallace-Murphy menekankan perlunya Barat mengakui bahwa mereka mewarisi sains Yunani atas`jasa para ilmuwan dan penguasa Muslim. Di masa kegelapan Eropa tersebut orang Barat bebas menerjemahkan karya-karya berbahasa Arab –tanpa perlu membayar Hak Cipta.
Sejarawan Louis Cochran menambahkan bahwa Adelard of Bath (1080-1150 M) yang dijuluki “the First English Scientist” berkeliling ke Syria dan Sicilia selama tujuh tahun pada awal abad ke-12. Ia belajar bahasa Arab dan mendapatkan buku-buku sarjana Muslim.
Ia menerjemahkan “Elements” karya Euclidus dan dengan demikian mengenalkan Eropa tentang Geometri yang paling berpengaruh di sana dan menjadi buku standar pengajaran Geometri selama 800 tahun.
Adelard juga menerjemahkan buku table asronomi karya al-Khawarizmi (w. 840 M) yang ditahqiq (revisi) Maslama al-Majriti of Madrid (w.1007 M). Buku itu merupakan pengatahuan astronomi termodern pada zamannya.
Gerard of Cremona hampir 50 tahun tinggal di Toledo (1140-1187 M) menerjemahkan sekitar 90 buku berbahasa Arab ke bahasa Latin. Separuh lebih karya terjemahannya berkaitan dengan Matematika, Astronomi, kedokteran dan selebihnya tentang filsafat dan logika.
Bidang-bidang keilmuan inilah yang memberikan fondasi bagi munculnya “Renaissance” (kelahiran kembali peradaban Barat) di Eropa pada abad ke-12 dan ke-13 M.
Bukan hanya dalam bidang penerjemahan saja Barat sangat aktif. Dalam Pendidikan Tinggi, misalnya Oxford University yang berdiri tahun 1263 dan Cambridge University tak lama sesudah itu juga menjiplak model kampus-kampus ternama di Andalusia-Spanyol Islam.
Dengan bukti ini Wallace-Murphy mengajak Barat melihat Islam lebih objektif dan tak berlebihan (keinginan) mengintervensi urusan dunia Islam. Apalagi masalah toleransi dan penghormatan terhadap budaya dan pemeluk agama lain.
Terhadap pertanyaan, “Can the world of Islam solve its own problems?” (apakah dunia Islam mampu menyelesaikan masalahnya sendiri) beliau menjawab tegas bahwa Islam telah terbukti dan berkat prinsip-prinsip ajarannya yang penuh toleransi terhadap budaya dan agama lain maka Islam akan mampu menyelesaikan masalahnya sendiri.
“Berikanlah penghormatan kepada kaum Muslim sebagaimana mereka telah memperlihatkan kepada kita saat mereka –tanpa syarat– membagi buah kebudayaannya kepada kita.” kata Wallace-Murphy, “Grant them the same respect that they have shown to us when they, unconditionally, shared the fruits of their culture with us”.
Masa Depan Sains Islam
Sains dan Teknologi senantiasa berkembang dari masa ke masa. Dan dunia Islam ketika itu berhasil mentransmisi dan mengembangkan ilmu pengatahuan yang dikembangkan peradaban lain, seperti Yunani, India, Cina, Persia, dan Babilonia. Akan tetapi para ilmuwan Muslim tidak begitu saja menjiplak karya-karya ilmuwan Yunani atau yang lainnya.
Dikatakan pakar sains Islam Prof. Cemil Akdogan bahwa ilmuwan Muslim berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan yang ”khas Islam”, yang berbeda dengan tradisi ilmu pengetahuan Yunani atau peradaban lain.
Dalam bukunya, “Science in Islam and the West” (ISTAC-IIUM, 2008) beliau menjelaskan bahwa sains Islam adalah produk dari pendekatan “Tauhidik”. Sedangkan sains Barat modern adalah produk dari “Pendekatan Dualistik”.
Dalam Islam, sains tidak terpisahkan dari Islam. Sedangkan di Barat, sains bersifat ”bebas Tuhan” (Godless).
Menjadi masalah ketika Barat modern mengambil sains dari dunia Islam mereka mensekularkan sains tersebut dan membebaskannya dari campur tangan agama. Ini adalah salah satu produk sekulerisme yang memandang alam semata-mata ”profane” dan tidak terkait dengan unsur ketuhanan.
Karena itulah mereka memandang bahwa manusia boleh memperlakukan alam sesuai dengan kehendak mereka sendiri. Prof. Naquib al-Attas (lahir 1931M) jelas menegaskan bahwa sains sekular Barat inilah sumber kerusakan terhadap dunia saat ini. Bukan hanya kerusakan manusia tetapi juga keruskakan dunia binatang, tumbuhan, dan alam mineral.
Padahal temuan sains kaum Muslim di bidang kehidupan dan keilmuan tidaklah terpisah dari dorongan besar yang diberikan Kitab Suci. Alquran begitu besar perhatiannya terhadap aktivitas pemikiran dan keilmuan.
Hal ini misalnya dapat diketahui dari penyebutan kata “al-‘ilm” dan derivasinya (proses pembentukan kata) mencapai 823 kali.
Ditegaskan dalam QS 3:18-19, orang-orang yang berilmu harus mampu menemukan dua kesimpulan: (1) Tidak ada Tuhan selain Allah, (2) ad-Din (agama) dalam pandangan Allah hanyalah Islam. Dengan semangat inilah kaum Muslim mampu menaklukkan dunia ilmu.
Sepenggal sejarah peradaban Islam yang digambarkan Tim Wallace-Murphy di atas memperlihatkan bagaimana “rahmatan lil-alamin” memang pernah terwujudkan ketika umat Islam mengikuti dan menerapkan perintah Alquran untuk belajar dan bekerja keras, kerja cerdas, kerja tuntas, dan kerja ikhlas.
Umat Islam menjadi umat yang disegani dan dicontoh ummat yang lain. Menjadi Islam sebuah ummat yang Produsen.
Sebuah pelajaran penting yang dapat diambil dari buku Tim Wallace-Murphy itu adalah kesadaran akan hakekat ajaran Islam itu sendiri, yang berhasil diserap dan diaplikasikan kaum Muslim sehingga menghasilkan sebuah peradaban yang tinggi.
Umat Islam tidak pernah menutup diri dari peradaban lain. Unsur-unsur positif dari mana pun bisa diambil. Tetapi bukan pandangan hidup syirik yang bertentangan dengan ajaran Tauhid.
Masalahnya adalah perkembangan Sains dan Teknologi sekarang ini belum begitu berpihak kepada Islam.
Umumnya nega-negara yang penduduknya mayoritas Muslim seperti Arab Saudi, Turki, Iran, Pakistan, Bangladesh, Malaysia, Brunai dan Indonesia masih bergantung kepada teknologi Barat.
Indonesia yang diharapkan bangkit sebagai pelopor Dunia Islam di mana penduduknya hampir 270 juta jiwa dengan jumlah muslim 85 % kemajuan sains dan teknologi belum menggembirakan bahkan masih menjadi bangsa konsumen dalam arti sesungguhnya.
Bahkan Dirgantara Indonesia (PT DI) yang digagas BJ Habibi memproduksi pesawat terbang justru dikuburkan anak bangsanya sendiri.
Barangkali Turki, Iran dan Pakistan yang dianggap mampu dalam bidang sains dan teknologi ini. Akan tetapi karena ketakutan Barat atas nama PBB ditentang untuk mengembangkan teknologi nuklirnya.
Dalam konteks ini PBB tak adil karena membiarkan Israel anak emas Amerika dan Eropa memiliki nuklir.
Demikianlah Tim Wallace-Murphy menegaskan bahwa masalah sikap tolerance jangan sekali-kali mengajarkan Islam. Karena sikap tolerance Islam lah bangsa Barat bisa maju seperti sekarang ini.
Dan sampai sekarang bahkan Barat belum mengakui secara resmi kalau mereka berhutang kepada Islam dalam masalah ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sekarang ini dunia menunggu kebangkitan Sains Islam untuk menyelamatkan Peradaban Dunia seperti disuarakan Prof. Rd. Mulyadhi Kartanegara (lahir 1959 M), filosof Muslim Abad ke-21 dan Guru Besar Filsafat Islam UIN Syahid Jakarta.
Peluang ini penulis pikir harus disadari para pemimpin Islam untuk bangkit mengembangkan sains dan teknologi secara serius sebagaimana telah dicontohkan para leluhur mereka. Allah ‘alam bi shawab. (tras)