Penulis: Aka
Editor: bangdoi
TRASBERITA.COM – Kekuatan politik Barat belum memutuskan sifat dan bentuk hubungan yang akan dibangun dengan gerakan Taliban, yang saat mengusai Afganistan.
Sebagaimana diketahui, Taliban saat ini menyapu bersih Afghanistan dan hampir menguasai setiap ibu kota.
Sementara itu, pergerakan Taliban telah mengirim sinyal kepada komunitas internasional, untuk memperlihatkan dirinya dengan mengiginkan jalan yang lebih terbuka dari sebelumnya.
Memang, perhatian dunia saat ini sedang tertuju pada ‘keberhasilan’ Taliban yang mengambil kembali kekuasaan Negara dari pemerintah Afghanistan.
Operasi pengambil-alihan kekuasaan ini dimulai bertepatan ditariknya pasukan militer Amerika Serikat dan pasukan gabungan NATO.
Sejak Agustus 2021 milisi Taliban berhasil menguasai ibukota dan sejumlah kawasan di Afghanistan.
Bayangkan, hanya dalam tempo 10 hari sejak penarikan pasukan pimpinan asing yakni pimpinan Amerika Serikat dari Afghanistan, Taliban sukses mengambil alih kekuasaan.
Melansir dari apa yang diberitakan Kompas.com, Selasa (17/8/2021), Taliban akhirnya berhasil menduduki Kabul, ibu kota Afghanistan, pada Minggu (15/8/2021).
Presiden Afghanistan Ashraf Ghani bahkan dilaporkan sudah mengungsi ke Oman dan menyerahkan kekuasaan negara ke tangan Taliban.
Tak hanya sang presiden, setelah ibu kota ditaklukkan, ribuan warga Afghanistan juga mencoba melarikan diri dari negara itu.
Dilema Negara-negara Barat
Sementara itu, negara-negara Barat saat ini dihadapi dengan situasi yang membuat mereka dilema untuk membangun hubungan masa depan mereka dengan gerakan Taliban, yang telah mengambil alih kekuasaan atas Afghanistan sejak 20 tahun setelah mereka digulingkan oleh invasi pasukan asing pimpinan AS.
Sebagaimana diketahui, koalisi negara-negara Barat melakukan invasi pimpinan Amerika untuk menggulingkan rezim kelompok itu pada 2001 sebagai tanggapan atas tragedi serangan teror 11 September di Amerika yang menewaskan hampir 3.000 orang.
Akan tetapi, kekhawatiran akan kembalinya gaya pemerintahan itu, dan pembalasan terhadap mereka yang bekerja untuk kelompok bantuan atau pasukan militer asing, telah mendorong massa warga sipil di Kabul untuk ikut dalam evakuasi bersama diplomat dan warga negara asing lainnya.
Namun, Taliban sendiri menyerukan pesan-pesan perdamaian serta jaminan kepada komunitas internasional bahwa mereka telah mengubah ideologi politiknya dari ragam cara dan politik negara itu diperintah.
Gerakan dan langkah ini mendapat sambutan internasional dari beberapa kalangan.
Seperti Rusia, Cina dan Turki, ketiga negara tersebut menyambut pernyataan pertama para pemimpinnya.
Meski pemerintahan Taliban sebelumnya diyakini pihak sebagai kelompok Islam ekstremis dan ditandai kekerasan dalam memerintah negara itu dengan menerapkan interpretasi hukum Islam yang tegas dan ketat ketika berkuasa dari tahun 1996 hingga 2001 di Afghanistan.
Hanya tiga negara, Pakistan, UEA, dan Arab Saudi, yang diduga mengakui bekas rezim Taliban yang mana memberlakukan pemerintahan versi ketat dengan hukum Islamnya.
Di samping itu, Perdana Menteri Inggris, Borish Johnson mengemukakan perintah untuk mencegah Pakistan sebagai pendukung historis Taliban, untuk mengakui pemerintahan yang baru, dan mengatakan kepada Perdana Menteri dari Pakistan Imran Khan bahwa pengakuan semacam itu harus diserahkan “secara internasional, dan bukan secara sepihak”.
Proses Evakuasi Warga Amerika
Sementara itu, Amerika sedang bernegosiasi dengan Taliban mengenai jadwal dan batas akhir untuk mengevakuasi warga-warga Amerika yang masih berada di Afghanistan.
Dikutip dari situs Al Jazeera, Gedung Putih mengatakan proses evakuasi warga negara AS, warga sipil negara berkembang, serta warga negara sekutu-sekutu Afghanistan sudah sejalan dengan rencana dan akan tuntas pada akhir bulan ini.
Dan juga menegaskan bahwa Amerika Serikat akan menunggu sebagai respon baik untuk menilai tindakan Taliban dan mengakui pemerintahan Afghanistan yang dipimpin oleh Taliban saat ini, terutama mengenai pandangan penting terhadap hak asasi manusia, sebelum membuat keputusan tentang sifat hubungan masa depan dengan Taliban.
“Saat ini ada situasi kacau di Kabul di mana kami bahkan tidak memiliki otoritas pemerintahan,” ungkap Jake Sullivan, penasihat keamanan nasional presiden AS.
Jake Sullivan mengatakan bahwa sekarang akan terlalu dini untuk membangun hubungan dengan Taliban karena pemerintahan belum terbentuk.
“Pada akhirnya , dia Taliban harus menunjukkan kepada seluruh dunia siapa mereka, dan bagaimana mereka berniat untuk melanjutkannya. Rekam jejaknya tidak bagus, tetapi tetapi akan terlalu dini untuk mengatakan mulai sekarang seperti apa situasinya di masa depan pada saat ini,” tukasnya.
Namun, Washington telah menunjukkan kesediaannya untuk mempertahankan keadaan diplomatiknya di bandara Kabul setelah batas waktu penarikan militer sampai akhir 31 Agustus, asalkan situasinya aman, menurut jubir Kementerian Luar Negeri Ned Price, Amerika Serikat.
Inggris mengikuti jalan jejaknya Amerika Seikat. Seperti yang sudah berlaku dalam keputusannya untuk menarik pasukannya dari Afghanistan.
Perdana Menteri Boris Johnson menegaskan bahwa negaranya akan menilai rezim Taliban “atas tindakannya, dan bukan kata-katanya”.
Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab, telah mengkonfirmasi bahwa Inggris tentu saja tidak akan bekerja sama dengan Taliban.
Dan mengakui bahwa sangat kecil kesempatan untuk menilik pemerintahan yang inklusif di Afghanistan.
Namun, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson pada Jumat, 19 Agustus 2021, menyinggung kemungkinan untuk bekerja sama dengan Taliban jika memang diperlukan setelah kelompok radikal itu mengambil alih Afghanistan.
Ucapan Johnson itu untuk membela Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab yang dikritik terkait caranya menghadapi situasi di Afghanistan.
“Apa yang ingin saya pastikan kepada masyarakat adalah politik kita dan upaya diplomasi dilakukan untuk menemukan sebuah solusi bagi Afghanistan, bekerja sama dengan Taliban yang tentu saja kalau memang diperlukan – akan dilakukan,” kata Johnson.
Di sisi lain, Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau juga mengumumkan bahwa negaranya “tidak berniat mengakui pemerintah Taliban.”
Sedangkan Perwakilan Tinggi Uni Eropa Josep Borrell dengan jujur baru mengakui masalah itu pada hari Selasa.
“Taliban memenangkan perang di Afghanistan. Jadi kita harus berbicara dengan mereka,” ujarnya. (TRAS)