Besunat Ala Kundi Tahun 1980-an, Meriah dan Unik, Dimulai Berendam Jam 03.00 WIB

HA Syarnubi. (ist)

Penulis: H A Syarnubi

TRASBERITA.COM — Menjadi seorang Muslim, besunat atau berkhitan adalah sebuah kewajiban.

Bacaan Lainnya

Nabi Muhammad saw telah mengajarkannya sejak dahulu kepada umatnya.

Khitan dapat diartikan memotong kulit yang menutupi kemaluan laki-laki dan memotong kulit yang ada di sebelah atas kemaluan perempuan.

Pada umumnya anak laki-laki berkhitan setelah berumur lima tahun atau lebih, dan anak perempuan berkhitan setelah berusia beberapa bulan.

Nabi Muhammad saw bersabda :
Nabi Ibrohim Kholil Ar-Rohman (kekasih Yang Maha Pemurah) berkhitan setelah berumur delapan puluh tahun.” (HR Bukhori dan Muslim)

Memperhatikan judul tulisan ini, maka tampak dua variabel yang harus dijelaskan, yakni besunat dan Kundi.

Secara singkat variabel pertama telah diuraikan di atas tadi. Sekarang untuk variabel kedua.

Kundi adalah sebuah desa yang terletak di pesisir pantai Selat Bangka.

Desa Kundi pada saat ini termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Simpang Teritip Kabupaten Bangka Barat.

Jarak Kundi ke Simpang Teritip ada 23 kilometer, dan Kundi ke Muntok (Ibu Kota Kabupaten Bangka Barat) ada 32 kilometer.

Tetapi yang akan penulis paparkan di sini adalah Desa Kundi pada tahun 1980 yang pada saat itu ada acara Sedekah Kampung (Pesta Kampung) yang penulis diundang dan hadir di sana.

Ketika itu Desa Kundi terdiri dari lima dusun dengan jumlah penduduk sekitar 2000-an jiwa.

Mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani dan nelayan, karena memang  terletak di bibir pantai Selat Bangka.

Ada komoditi laut yang cukup terkenal dari sini yaitu kerang dan ikan selanget.

Desa Kundi termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Mentok Kabupaten Bangka.

Puncak acaranya pada hari Ahad/Minggu, tetapi penulis telah tiba pada hari Sabtunya, menginap dua malam di rumah teman, malam Ahad/Minggu dan malam Senin.

Seminggu sebelumnya warga kampung telah bergotong-royong membersihkan kampung, rumput-rumput liar dicangkul, parit/bandar yang mampet diperbaiki, di depan rumah dipasang pagar dari kayu, dipasang umbul-umbul bendera warna-warni, jadi cantiklah kampung ini.

Ada panggung tidak jauh dari balai desa. Pada malam harinya ada acara panggung gembira yang menampilkan kegiatan budaya dan adat istiadat Kundi.

Tetapi yang paling diminati masyarakat adalah orkes dangdut yang banyak membawakan lagu-lagu hit Rhoma Irama.

Ada pula pasar malam yang menghadirkan pedagang-pedagang dari luar kampung dengan beraneka ragam jajanannya.

Di samping itu semua ada juga kegiatan besunat, nyukur rambut bayi, nganggung sepintu sedulang, dan silaturahim dengan keluarga yang bertempat tinggal di luar kampung sekaligus mengundang teman, kenalan, atau kawan seperti penulis ini.

Sehingga menjadi sangat ramai orang-orang berlalu-lalang di jalan kampung, juga rumah penduduk disesaki oleh para tamu undangan.

Untuk acara ini, di rumah yang penulis tempati pada hari Sabtunya telah menyembelih ayam sebanyak satu kandang dan penulis sekaligus bertugas sebagai penjagalnya, dapat dibayangkan kemeriahan dan keseruannya.

Pada pagi dini hari Ahad/Minggu sekitar pukul 03.00 dimulailah prosesi besunatnya. Di kejauhan telah mulai terdengar gendang, gong, dan dambus berkumandang diikuti suara merdu sang penyanyi, menggunakan bahasa kampungnya, mengoyak langit yang masih dingin dan gelap ini.

Terus terang penulis kurang lancar berbahasa Kundi, sebagai contoh ketika penulis tiba, sesorang teman bertanya “Bilemu kau kemaik?” maksudnya kapan Anda datang ke sini, contoh lain kawakyuk artinya kawanmu.

Acara besunat ini dimulai dari sebuah memandin (tempat pemandian umum) yang terletak di belakang kampung.

Memandin ini adalah sebuah lubuk yang tidak terlalu dalam, kaum perempuan beraktivtas di hilirnya dan kaum laki-laki di hulunya.

Di sekelilingnya tampak kelekak karet (kebun karet) warga dan diselingi hutan-hutan kecil, rimbun dan gelap.

Di sini ada penerangan dari beberapa lampu strongking (lampu berbahan bakar minyak tanah) juga obor.

Ada sekitar belasan anak yang berusia sekira 8 sampai dengan 12 tahun berendam di memandin ini, mereka memakai celana pendek, berkejaran dan saling memercikkan air ke kawannya.

Riuh sekali gelak tawanya, terkadang mereka juga bernyanyi dan menari mengikuti irama gendangnya.

Di atas tebing, tampak para pemain dambus, gendang, dan gong, juga sang penyanyi yang menghangatkan suasana yang dingin ini.

Para penonton seperti penulis, penuh memadati sisi tebing lainnya. Tambah semangat para pemain dan anak-anak yang berendam.

Filosofi berendam ini dalam ilmu medis termasuk suntik kapel atau pembiusan lokal sebelum prosesi khitanan.

Setelah azan Subuh selesai berkumandang, anak-anak mulai naik ke atas tebing. Di situ telah menunggu kedua orang tuanya.

Telah disiapkan handuk, pakaian, kasut (sandal), alat rias (bedak, gincu, pensil), juga destar dan pernak-perniknya.

Pakaian, kasut, dan destar mirip seperti yang biasa dipakai oleh sang pengantin. Paduan dari warna merah, kuning, dan hijau.

Sang ibu yang merias anaknya terkadang dibantu oleh seorang asisten, tentu agar cepat klar (selesai).

Semua orang tua sibuk menghias anak-anaknya. Penulis dan warga lainnya sibuk mengamati dan tanpa diketahui rupanya sang dukun kampung juga hadir di situ.

Dia telah merajih (memanterai) sungai ini dimulai dari sebelum Maghrib kemarin sore.

Ini dilakukan agar seluruh rangkaian acara besunat ini berjalan sukses dan lancar.

Tidak hanya acara besunat, tetapi juga acara-acara lainnya yang diselenggarakan pada tahun ini.

Kunci kesuksesan, keamanan, kelancarannya, salah satunya ada di pundak beliau.

Setelah semua anak-anak selesai didandani oleh orang tuanya, lalu terdengar suara komando dari sang pemimpin acara besunat, agar semua peserta berbaris menempati jalan menuju ke arah kampung.

Dipandu oleh sang pemimpin sebagai komandan barisan, semua peserta berjalan perlahan ke arah kampung, diikuti kedua orang tuanya, dan semua penonton yang meramaikan acara ini.

Rupanya di pinggir jalan kampung telah terparkir belasan sepeda yang telah dihiasi dengan daun kelapa muda dan kertas warna-warni.

Sepeda ini khusus untuk setiap peserta besunat yang telah disiapkan oleh orang tuanya.

Ada sepeda yang telah dimodivikasi mirip bentuk becak dengan rumbai-rumbai daun kelapa muda dan kertas berwarna, indah dan semarak sekali.

Ada juga sepeda yang dibagian depannya dibuat seperti bentuk kepala unggas, gagah dan seperti akan terbang.

Sungguh pemandangan dan pengalaman yang langka bagi penulis.

Prosesi besunat belum dimulai, sebentar lagi begitu infonya.

Lalu tampak seorang dukun besunat berjalan melewati para peserta, menuju ke sepeda paling belakang.

Sang dukun memakai celana warna agak gelap, baju koko, berkopiah hitam, membawa tas kulit yang sudah agak lusuh dan tua.

Sesampai di sepeda terakhir terlihat dia berdiri menghadap ke Kiblat, menengadahkan tangan, berkomat-kamit dengan doanya, lalu mengusap mukanya, tanda doanya telah selesai.

Lalu dia melangkah mendekati sepeda peserta besunat yang pertama.

Peserta ini posisinya duduk di atas kursi kayu yang telah dipersiapkan sebelumnya.

Dengan agak berjongkok, sang dukun membuka tas tepat di depan peserta pertama, mengeluarkan isinya, ada isok cukur (pisau cukur), bambu kecil yang berwarna agak kekuning-kuningan, bonglai/bangle, obat sunat (biasanya olahan getah jelutung), dan kain perban.

Isok cukur berguna untuk mengiris, bambu kecil untuk menjepit kulop (kulit ujung kemaluan laki-laki), bonglai sebagai media pengobatan tradisional, obat sunatnya juga tradisional (made in sang dukun), dan kain perban untuk membalut lukanya.

Di kursinya, peserta pertama telah membuka celana panjangnya, tampaklah si burung kecil miliknya (maaf menyebut anunya).

Tidak tampak perasaan takut di wajahnya, santai dan mantap menunggu pemotongannya.

Sang dukun menggigit sedikit bonglae dan menyemburkannya ke arah atas kepala peserta besunat.

Lalu memegang dan seperti mengurut perlahan sang burungnya.

Secara perlahan memasang buluh untuk menjepit kulopnya, tampak wajah meringis menahan sakit peserta ini.

Lalu dengan cekatan diiris menggunakan isok cukur, putuslah ujung kulitnya.

Ada sedikit darah keluar, dibersihkan dengan kain yang telah disiapkan sebelumnya dan buluh penjepit dilepaskan.

Diolesi obat sunat terus dibungkus dengan kain perban. Prosesi besunat untuk peserta pertama pun klar (selesai).

Peserta besunat diangkat untuk menempati kursi di atas sepedanya. Sang dukun pun berpindah ke sepeda peserta kedua.

Di sini pun prosesinya sama dengan yang pertama tadi. Berlangsung cukup lama untuk menyelesaikan semua prosesi besunat ini.

Para penonton seperti penulis mengamati dengan seksama, melihat momen unik dan langka ini.

Setelah semua peserta selesai disunat, ada suara komando dari sang pemimpin acara, agar sepeda mulai berjalan perlahan-lahan.

Sepeda tidak dinaiki sang driver/sopirnya tetapi ditinten/dituntun saja agar masyarakat di kiri-kanan jalan leluasa menyaksikannya.

Ada yang bertepuk tangan, ada juga melambaikan tangannya, ada yang bersuat-suit mengomentari para peserta, malah ada yang mengolok-oloknya sambil tertawa dengan bahasanya yang penulis kurang paham maknanya.

Semua peserta pun membalas dengan lambaian tangannya, jadi ramailah pagi ini.

Sepeda terus berjalan menyusuri jalan kampung yang bertanah puru ini.

Setelah tiba di depan masjid kampung, sang komandan bersuara memberikan aba-aba agar para peserta berbaris teratur menghadap ke masjid.

Di depan masjid telah menunggu kepala desa, penghulu, dan sesepuh desa lainnya, serta jamaah masjid.

Penghulu desa memimpin doa yang cukup panjang dengan bahasa Arab yang fasih, semua jamaah dan hadirin mengaminkan dengan khusyuk berharap agar segala doa dan pinta diijabah oleh Allah swt. Doa pun selesai.

Terdengar lagi komando dari sang pemimpin acara besunat, semua sepeda dipersilahan mengitari serta menyusuri jalanan kampung, dan acara pun selesai.

Semua peserta boleh kembali ke rumah masing-masing, menyatap makanan yang telah disediakan di rumah.

Maklum sepagi ini belum meneger (makan pagi) perut pun sudah keroncongan.  (*/tras)

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *