Bujoi, Teladan Urang Kampong

Kenangan Ahmadi Sopian bersama Almarhum Tarmizi Desember 2024. Foto istimewa

Oleh: AHMADI SOFYAN

BANYAK orang kehilangan akarnya ketika ia sudah menjadi seseorang, tapi tidak dengan Tarmizi Saat alias Bujoi.
================

Bacaan Lainnya

SEJAK masa kanak-kanak, saya mengenal sosok Bujoi. Maklumlah, selain sekampung, kami masih memiiki ikatan keluarga. Kekeluargaan itu sangat erat, karena H. Saat Asir (Orangtua Bujoi/Tarmizi) dengan H. Supian Azhari (orangtua penulis) hingga akhir hayat keduanya sahabat kental, bahkan pernah saya melihat mereka berdua menangis bareng ketika sedang pembangunan Masjid Rahmatuddin Desa Kemuja. Seringkali saya melihat keduanya duduk berdua diteras rumah kami di samping Masjid besar itu. Ketika orangtua saya meninggal dunia pada Januari 2024, Bujoi pula yang saya minta untuk memberikan sambutan.

Saat Bujoi menjadi Bupati, ia kerapkali datang ke kediaman orangtua saya untuk sekedar ngobrol atau menjenguk kala sakit. Ia datang sebagai Bujoi, bukan sebagai Bupati. Tanpa ajudan, tanpa sopir ia berjalan kaki dari rumah orangtuanya menuju kediaman orangtua saya.

Pernah suatu ketika, saya pulang ke rumah yang rada sepi. Tapi didalam kamar orangtua saya terdengar obrolan kecil, saya melewati begitu saja kamar orangtua saya dan langsung ke dapur menemui kakak perempuan saya di dapur. Kepada kakak perempuan, saya menanyakan siapa didalam kamar Bak (Bapak), kayak ada yang ngobrol sama Bak? Lantas kakak saya menjawab: “Bupati, Bujoi”. Begitulah sosok Bujoi yang sangat bersahaja dan tidak pernah kehilangan akar sebagai orang kampung yang tetap berkarakter kampung alias sama sekali “dak taipau” apalagi “taipau begereng”.

Mengenal Bujoi sejak masa kanak-kanak, kala itu ia adalah salah satu pemuda Desa Kemuja yang menjadi sorotan orang kampung. Ia baru bertitel Insinyur dari Yogyakarta, ramah, pandai bergaul, berasal dari keturunan terpandang, aktif berkegiatan di Masjid, Pesantren Al-Islam dan kegiatan-kegiatan Desa, namun tetap bekerja sebagaimana orang kampung, yakni menyadap karet, berkebun, kuli (kernet truk ngangkut karet) dan lain sebagainya. Ketika bulan Ramadhan seperti sekarang ini, saya teringat, Bujoi kerapkali sahur bersama di kediaman kami. Saya tidak pernah ngobrol sebab berbeda umur yang cukup jauh. Hanya sekilas lalu saja berinteraksi dengan sosok Bujoi yang hampir tiap malam ada di kediaman orangtua saya.

Bujoi selanjutnya menjadi PNS (ASN), sesuai dengan bidangnya yaitu pertanian. Sosoknya yang bicara blak-blakan dengan bahasa kampung yang kental tidak merubah dirinya baik sebelum maupun saat menjadi PNS. Bujoi tetaplah Bujoi, urang Kemuje yang tetap pada akarnya. Bersama kawan-kawannya, ia pernah membuat heboh desa Kemuja yakni membuat sebuah drama yang menyindir tentang Desa Kemuja kala itu. Sampai-sampai ia dan kawan-kawannya di demo dan disidangkan di kediaman Kades, H. Nasruddin yang rumahnya berhadapan dengan rumah orangtua Bujoi.

Bagi kami masyarakat Desa Kemuja, sosok Bujoi sejak masa muda hingga akhir hayatnya adalah sosok teladan yang menjadi inspirasi. Bagaimana tidak, sejak masa muda hingga akhir hayatnya, Bujoi begitu banyak dan besar jasanya bagi berbagai perkembangan di Desa.

Hampir semua persoalan yang tidak bisa diselesaikan di Desa Kemuja, kemana lagi larinya kalau bukan ke sosok Bujoi yang dipanggil oleh kawan-kawannya sebagai Pak Haji. Dari persoalan sosial kemasyarakatan, persoalan Desa, persoalan Pondok Pesantren Al-Islam, persoalan Masjid, persoalan Musholla, persoalan Yayasan Lembaga Kesejahteraan Desa (LKD), sengketa ini itu, persoalan pendidikan anak, persoalan pekerjaan, dan lain sebagainya.

Dari sepengetahuan saya, belum ada satupun sosok urang Kemuja selevel dengan Bujoi dalam mendapatkan banyak laporan persoalan yang diadu kepada dirinya. Sosoknya benar-benar tempat mengadu banyak persoalan. Bahkan pembangunan Masjid Rahmatuddin Desa Kemuja, tidak jarang harus meminjam uang pribadinya guna menalangi pembayaran pembangunan.

Saat ia menjadi Sekda Kabupaten Bangka, Tarmizi Saat alias Bujoi semakin dikenal luas masyarakat. Panggilan “Pak Sekda” sangat melekat dalam dirinya. Saya rasa tidak ada semelekat itu nama jabatan pada diri seseorang selain Bujoi. Ia rutin mengudara di RRI mendengar langsung keluhan masyarakat Bangka dan menyelesaikannya. Gaya komunikasinya yang sangat kampung dan ciri khas ketawa ngakak menjadi salah satu yang sangat disukai oleh masyarakat. Sosok bersahaja ini tak jarang pada sore hari menggunakan sepeda motor di Kota Sungailiat walau dirinya sudah menjabat sebagai Bupati Bangka (periode 2013 – 2018). Bujoi tidak berubah, ia tetaplah orang yang bersahaja walau pangkat tinggi melekat dipundaknya.

Karena mungkin berasal dari Desa Kemuja yang dikenal sebagai Desa Santri, berasal dari keturunan yang agamis, Tarmizi Saat alias Bujoi tidak meninggalkan kesantriannya. Walau sudah menjadi Sekda maupun Bupati, ia kerapkali mengumandangkan azan di Masjid-Masjid, terutama di Masjid dekat rumahnya maupun Masjid Agung Sungailiat.

Kepeduliannya pada syiar agama, tidak hanya saat menjabat, tapi hingga akhir hayat. Sebagai Ketua Pembina Yayasan Pondok Pesantren Al-Islam Kemuja, Tarmizi Saat alias Bujoi sangat aktif dalam rapat maupun menyelesaikan persoalan dan berusaha maksimal dalam perkembangan untuk memajukan Pondok Pesantren yang didirikan oleh para alim ulama terdahulu di Desa Kemuja.

Dalam perjalanan politik, saya yang baru seumur jagung kerapkali bahkan selalu berbeda dengan Bujoi. Dari luar kami terlihat tidak akrab bahkan dianggap banyak orang berseberangan, padahal komunikasi dan bertemu cukup intens walau hanya sebentar-sebentar alias tidak pernah lama. Saya hanya intens bertemu dan diskusi dengan Bujoi saat ia meminta saya menulis buku biografinya yang saya beri judul “Tarmizi Saat: Santri Birokrat”. Setelah itu saya memang belajar “berseberangan” untuk mendapatkan jejak yang lebih mendalam terhadap Bujoi. Karena dalam pemahaman saya, belajar dari seseorang itu harus melulu mengakrabkan diri, tapi bisa melalui jalur seakan-akan “berseberangan”.

Terakhir kami diskusi lama dan cukup panjang saat sama-sama berangkat ke Yogyakarta pada akhir Desember 2024. Diskusi empat mata antara saya dengan Bujoi cukup serius berkaitan dengan banyak hal, terutama perkembangan Kabupaten Bangka yang penuh persoalan, Yayasan Lembaga Kesejahteraan Desa (LKD), persoalan pemerintahan Desa Kemuja dan juga Pondok Pesantren Al-Islam. Sebagaimana biasa, saya selalu selenge’an kalau sudah berhadapan dengan sosok teladan masyarakat kampung ini. “Kan agik ade Pok, santai bae lah...” biasanya saya jawab demikian.

Tarmizi Saat alias Bujoi selalu meminta saya turun tangan untuk banyak hal, terutama persoalan di Desa Kemuja, namun selalu saya bantah bahwa masih ada beliau. Bagi saya pribadi, belum ada sosok tempat mengadu masyarakat Desa Kemuja yang paling tepat kecuali Bujoi alias Tarmizi Saat.

Hari Jum’at ba’da Ashar, 28 Februari 2025, tepat akhir Sya’ban, awal Ramadhan, Tarmizi Saat tercinta dan dicintai semua masyarakat, terutama masyarakat kampung menghembuskan nafas terakhirnya dengan meninggalkan kenangan dan jejak kebaikan yang membuat semua orang kehilangan. Tidak hanya keluarga besar saja, sosok H. Tarmizi Saat alias Bujoi meninggalkan banyak kenangan dan cerita indah bagi masyarakat Kabupaten Bangka, bahkan Bangka Belitung. Sosok orang kampung yang benar-benar menjadi teladan dan tidak meninggalkan akarnya sebagai orang kampung.

Setelah kepergian sang tokoh teladan ini, sulit rasanya mencari padanan atau pengganti Tarmizi Saat alias Bujoi, terutama bagi masyarakat Desa Kemuja. Banyak tokoh, banyak yang bertitel, banyak yang jadi pejabat, banyak yang jadi Ulama, banyak yang menjadi orang hebat, tapi…., belum ada yang sepadanannya sama dengan Bujoi yang memiliki kepedulian tinggi terhadap kampung kelahirannya. Ia terbukti menjadi tempat mengadu semua orang, semua kegiatan, semua persoalan, dari rumah tangga, masjid, pesantren, desa, pekerjaan, ekonomi, dan lain sebagainya.

Selama jalan, Pamanda Tarmizi Saat…. insya Allah keberkahan Ramadhan telah engkau raih di sorga… kami bersaksi, engkau orang baik dan banyak membantu masyarakat kampung. Tak terasa air mata ini menetes kala merangkai kata tentang Bujoi yang begitu peduli dan menjadi tempat kami semua mengadu….
Salam Cinta!(*)

Pundok Kebun, 02 Ramadhan 1446 H.
========
Ahmadi Sofyan, populer dengan nama Atok Kulop. Disebut sebagai budayawan atau pemerhati sosial masyarakat di Bangka Belitung yang akhir-akhir ini banyak menghabiskan waktunya di kebun tepi sungai di Desa Kemuja.

Pos terkait