Penulis: Tumenggung Saidun Derani
OPINI, TRASBERITA.COM — Tulisan ini dinspirasi karya Dr. Nurudin, Dosen Univeritas Muhamadiyah Malang, bidang Komunikasi Politik dengan judul “Andai Pemerintah Mau”, November tahun 20021.
Saya mencoba mengelaborasi tulisan beliau itu dari aspek teos sehingga akan terasa lebih lengkap memaknai buzzer yang sekarang menjadi trending topik dalam konteks Sistem Politik Oligarki periode Orde Reformasi dan semakin terasa masa Pemerintah Ir Joko Widodo-KH. Ma’rud Amin sekarang ini sepak terjangnya.
Lihat beberapa tulisan saya masalah Oligarki ini dengan dampaknya bagi Demokrasi Pancasila dan kehidupan rakyat serta umat Islam Indonesia dalam konteks berbangsa dan bernegara.
Siapa sebenarnya Buzzer ini dan bagaimana cara kerjanya? Sekelompok orang yang mencari hidup dengan cara memfitnah (kamus Bahasa Babel “Bebulek”; tukang bohong yang cara kerjanya sistemik terstruktur dan terukur) dan menyerang kelompok yang dianggap “musuh” oleh pihak yang membayarnya.
Medianya adalah elektro dengan beragam bentuknya. Mulai dari model WhappsApp, Facebook, Twitter dan seterusnya.
Ada dua model buzzer dilihat dari aspek fulus. Pertama yang memang memberi nafkah anak istri dan dirinya dengan memakan “daging” saudaranya sebangsa.
Menjadi orang upahan dan centeng Oligark baik adalam arti ekonomi dan politik. Kedua ada buzzer yang tak tampak hanya karena persoalan “mengidolakan” tuannya (junjungannya).
Kelompok ini tak kalah garang bin ganas membela induk semangnya. Bahkan jika dirasa perlu dengan melawan setiap wacana atau perilaku yang merugikan junjungannya.
Mereka hanya mau mengkhobarkan informasi yang menguntungkan atau yang bisa melawan kelompok yang “bermusuhan” dengan sang junjungan.
Bukti ini dikuatkan temuan dua Ilmuwan Universitas Oxford, Inggris, Samantha Bradshaw dan Philip N. Howard, yang menyebutkan bahwa politisi dan orsospol di Indonesia sengaja (terstruktur) mengerahkan dan membayar buzzer untuk memanipulasi (berbohong) opini publik.
Mereka menyebarkan proganda pro pemerintah/partai, menyerang lawan politik dan menyebarkan khobar memecah publik.
Para buzzer tersebut menggunakan akun-akun palsu yang sengaja dioperaionalkan (Nurudin; 55).
China menjadi negara yang paling aktif melakukan propaganda yang didukung buzzer ini.
Dengan demikian bisa dipahami bahwa bahaya dari pada system ekonomi oligark dan system politik oligark ini bagi masa depan bangsa yang berfalsafah Pancasaila dan UUD 1945.
Mengapa karena dapat menimbulkan disharmonis dan perpecahan anak bangsa yang dengan susah payah dibangun para pendiri NKRI.
Jadi aktor intelektual dibalik kelompok buzzer ini adalah para pemilik modal dan politisi orsospol yang sedang berkuasa mengendalikan asset dan jiwa rakyat NKRI.
Mengapa hal ini dilakukan para pemilik modal dan politisi partai yang sedang berkuasa dan mengendalikan asset dan “jiwa” rakyat NKRI? Hanya satu kata menjawabnya yaitu tidak siap berbagi kepada anak bangsa yang lain.
Bahasa lainnya, nafsu serakah muncul karena ingin memiliki dunia di luar batas kepatutan dalam ukuran berbangsa dan bernegara sehingga melahirkan semangat “sapu bersih” terhadap yang berbeda pendapat, kata Nurudin.
Dengan kata lain, Nabi menyebutkan dalam hadis sohih perilaku orang/kelompok orang yang demikian karena “cinta dunia dan takut mati”.
Padahal mati adalah sebuah kepastian dan akan diminta pertanggungjawaban apa-apa yang dilakukan di dunia ini.
Apakah non-muslim, Nasrani, Yahudi, Kong Hucu, Shinto, tak percaya adanya hukum Akhirat?
Bagaimana pula orang Atheis kayak RRC dan beberapa negara yang menganutnya, misalnya hampir 50% penduduk Korsel Atheis.
Sia-siakah ke hadiaran buzzer? Allah menyebutkan dalam Alquran bahwa tak ada yang Aku ciptakan sia-sia. Surah Ali Imran, ayat 191;
“Ya Allah, Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia, Mahasuci Engkau, dan lindungan kami dari azab neraka”.
Begittu kehadiran buzzer yang sekarang terang benderang muncul dari kuburannya. Pasti ada manfaatnya bagi orang yang berakal waras.
Pertama, Buzzer telah membuat rakyat NKRI yang berakal sehat bersatu untuk melawannya.
Masalahnya kelompok ini bukan saja ada di masyarkat kebanyakan akan tetapi juga “dipelihara” mesin kekuasaan.
Sejauh buzzer itu menguntungkan kekuasaan maka mereka akan dilindungi negara. Bagaimana jika yang dia melakukan kesalahan? Jika menginduk pada kekuasaan mereka akan aman.
Kedua, buzzer menyadarkan rakyat NKRI yang berakal waras bahwa akhlaknya sangat buruk dan merugikan phisis (mental) serta masa depan anak bangsa.
Kalau lah buzzer ini akhlaknya buruk dan bahkan lebih buruk dari pada pembunuhan mengapa dibiarkan saja?
Hemat penulis sudah waktunya para buzzer ini ditertibkan dengan memakai “alat-alat” negara.
Istilah-istilah yang dilempar ke public serem-serem seperti istilah “Taliban”, “khilafah”, “radikal”, “antek asing” “ekstreem kiri”. “ekstreem kanan”, “intolerance” dan sebangsa.
Celakanya kalangan pelajar, ustad, kiai, guru, dosen, mahasiswa percaya begitu saja lagi.
Ketiga, buzzer ini membuat manusia Indonesia berakal sehat lebih berhati-hati.
Bukan kah hadis Nabi juga telah mengingatkan kepada ummat Islam bahwa jika datang khobar kepada kalian hendaklah “tabayyun”, “check and recheck”, “ selective”, “tanya kiri kanan”, jangan main kunyah dan langsung ditelan saja.
Padahal yang ditelan racun sianida lagi. Yang menjadi masalah sekarang ini masyarakat NKRI kemaruk informasi di mana semua yang sampai kepadanya harus disebar.
Gatal jari tangan kalau tak ng-eshare, “I share therefore I am (aku sebar maka aku ada)”.
Keempat, benar lah akhlak buzzer tak beradab maka dengan demikian manusia Indonesia yang berakal waras dapat belajar dari orang yang tak beradab ini.
Jadilah orang NKRI yang berakal waras supaya beradab, sebagaimana digambarkan dalam dialog Iblis dengan para penghuni neraka.
Surah Ibrahim ayat 22 menjelaskan, “Gara-gara lho, bro, kami masuk neraka,” tegur mereka kepada Iblis.
Dijawab dengan santai ama Iblis, “lho napah nyalahin ana? Bukankah ana tak pernah memaksa kalian? Ya, karena kebodohan kalian saja mau mengikuti rayuan gombal ana. Terimalah akibatnya. Ana sendiri tak percaya apa yang ana sampaikan kepada kalian.”
Demikianlah paparan di atas untuk diambil hikmahnya dengan adanya kesadaran bahwa ada musuh bersama yang dihadapi orang-orang Indonesia yang berakal waras.
Sebab itu masalah ini harus terus menerus digaungkan dan dihutbahkan sebagai hak konstitusi warga negara yang cinta kepada NKRI, “Ana Pancasila, ana Indonesia”, “Indonesia harga Mati”.
Jangan sampai laknat Allah turun kepada orang-orang yang berakal sehat yang tak peduli kepada adanya “mafsadat” di sekitarnya.
Demikian sabda Nabi, bala bencana bukan saja akan menimpa orang yang berakhlak buruk dan jahat, akan juga menimpa orang-orang yang baik-baik akan tetapi cuek bebek saja terhadap kejahatan di hadapannya.
Semoga manafaat. Aamiin ya Allah Yra. Afwan. Allah ‘alam bi Shawab. (*/tras)