Demonstrasi Di Era Pandemi: Antara Kebebasan Berekspresi dan Egoisme Mahasiswa

Andri Yanto, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung. (ist)

Penulis: Andri Yanto
Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung

TRASBERITA.COM — Demonstrasi bersama yang melibatkan ribuan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Kantor DPRD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada Selasa, 6 Juni 2021 lalu, telah menimbulkan berbagai pro kontra.

Bacaan Lainnya

Selain substansi demo yang krusial, jumlah massa yang hadir dengan kerumunan besar juga menarik atensi publik ditengah merebaknya pandemi COVID-19 di Bangka Belitung.

Gerakan mahasiswa yang dikomandoi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari Universitas Bangka Belitung (UBB), IAIN SAS Babel, Polman Pangkalpinang, Univeritas Muhammadiyah Babel, STISIPOL Pahlawan 12 Sunagiliat, Poltekkes Pangkalpinang dan mahasiswa dari perguruan tinggi lainya ini, mengusung substansi protes terhadap langkah pemerintah dalam perkembangan politik akhir-akhir ini yang dinilai melemahkan integritas dan instansi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Demonstrasi berjalan secara damai dan diterima langsung oleh ketua DPRD Provinsi Kepulauan Babel, Herman Suhadi SSos di halaman depan kantor DPRD.

Meski tujuan utama dari gerakan ini tercapai, yakni kesetujuan pimpinan DPRD Provinsi untuk menandatangani pernyataan sikap yang diusung mahasiswa, namun berbagai pertanyaan publik turut mencuat terutama terkait dengan esensi dari demonstrasi yang dilakukan di tengah tingginya persebaran COVID-19.

Apakah langkah yang dilakukan mahasiswa dengan demonstrasi “besar-besaran” ini adalah bijak?

Pandemi dan Kebebasan Bereskspresi

Hingga pertengahan tahun kedua sejak pandemi merebak di Indonesia, pemerintah terus berupaya keras menekan angka persebaran, meski statistik lapangan menunjukan COVID-19 tetap memenangkan momentum.

Pada saat demonstrasi dilaksanakan, provinsi Babel berhadapan dengan peningkatan angka pandemi yang mencapai lebih dari 23.000 jiwa dan 370 kematian.

Untuk dapat menangani penyebaran wabah, pembatasan aktivitas masyarakat secara umum terus digalakan, termasuk digitalisasi dalam pendidikan, penutupan sebagian pasar dan penundaan berbagai aktivitas yang dinilai dapat menimbulkan kerumuman. Secara sederhana dapat dikonklusikan bahwa aktivitas berkerumum adalah bentuk kontradiksi terhadap kebijakan pemerintah dan kondisi konktit saat ini.

Gerakan besar yang diorganisir mahasiswa ditengah pandemi ini memang dilengkapi dengan protokol kesehatan.

Namun tidak dapat dipungkiri, bahwa formalitas protokol ini hanya berjalan sebatas pengguaan masker, dan selebihnya unsur terpenting, yakni physical distancing tidak terpantau dilaksanakan dengan baik.

Sebelumnya, pihak aparat yang menerima pemberitahuan dan permintaan keamanan dari mahasiswa jauh hari sebelum demo juga tidak memberikan respon karena menilai bahwa demonstrasi tidak seharusnya dilakukan saat ini.

Namun bagaimanapun, pandemi tidak dapat menjadi alasan untuk menjustifikasi penolakan kebebasan berekspresi yang merupakan hak setiap warga negara dan dijamin dalam konstitusi.

Kondisi politik bangsa Indonesia yang terus bergejolak mendorong setiap komponan bangsa untuk menyuarakan aspirasinya melalui berbagai media, mulai dari BEM UI yang mengkritik presiden Jokowi hingga aliansi mahasiswa Bangka Belitung yang mempertanyakan komitmen pemerintah dalam penguatan KPK.

Hal ini adalah hak konstitusional yang perlu digunakan untuk memastikan terjaminya kepentingan rakyat dalam kebijakan-kebijakan pemerintah.

Urgensi Problematika KPK

Substansi utama yang mendorong gerakan mahasiswa diberbagai wilayah Indonesia, termasuk di Bangka Belitung selasa silam berkaitan erat dengan problematika kompleks yang diaktori oleh pemerintah pusat yakni terkait isu pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dimulai dengan revisi UU No.30 Tahun 2002 menjadi UU No.19 Tahun 2019 hingga pengalihan status pegawai KPK melalui filter TWK, indikasi-indikasi pelemahan instansi penegak integritas politik ini semakin banyak dipertanyakan.

Poin penting yang menjadi perhatian utama dalam revisi UU KPK adalah alih status dari lembaga independen menjadi lembaga negara dibawah pemerintah, hal ini berkaitan erat dengan independensi KPK yang sejatinya adalah unsur penting dalam upaya penegakan korupsi di Indonesia.

Lebih dari itu, alih status instansi ini juga menjustifikasi alih status pegawai KPK menjadi ASN yang dalam prosesnya menyisipkan ketentuan Test Wawasan Kebangsaan (TWK) dengan hasil mengeliminasi 51 pegawai KPK termausk beberapa penyidik senior yang menangani kasus-kasus besar dan sedang berjalan.

Protes terhadap upaya pelemahan KPK adalah hal yang wajar, konstitusional, dan perlu dilakukan.

Mulai dari mantan pimpinan KPK, mantan pegawai, akademisi, praktisi hukum hingga mahasiswa melakukan berbagai upaya untuk mengembalikan marwah KPK sesuai dengan tupoksinya yang urgentif.

Putusan MK pada Mei yang mengamputasi sebagian pasal UU No.19 Tahun 2019 dinilai belum mampu mengatasi kepincangan KPK saat ini sehingga adalah wajar jika mahasiswa turut mengambil peran dengan protes berkelanjutan dan turun kejalan sebagai “DPR jalanan” yang mengemban amanah rakyat tanpa orientasi kepentingan politis praktis.

Kritik mahasiswa dalam format demonstrasi ditengah pandemi ini menunjukan betapa pentingnya masalah yang diusung.

Adalah suatu data a priori bahwa korupsi di tanah air adalah salah satu faktor yang membuat kepincangan ekonomi dan pembangunan tak kunjung menemui titik akhir.

Hingga tahun ini, Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia masih terpuruk dipoin 37 (urutan 102 dari 180 negara), angka yang cukup memalukan bagi sebuah bangsa yang selalu meneriakan slogan “anti-korupsi” disetiap sudut negeri.

Mirisnya, pagebluk yang berdampak pada resesi ekonomi tidak lekas membuat para calon koruptor terketuk nuraninya, masalah memanfaatkan situasi untuk menyunat bantuan sosial yang harusnya disalurkan pada masyarakat kecil yang sangat membutuhkan.

Tidak mengherankan, bahwa banner “Negara Tidak Sedang Baik-Baik Saja” dan “Mosi Tidak Percaya” menjadi semakin mengudara.

Memang, perkembangan politik dewasa semakin kompleks dan memincingkan mata siapapun yang mencoba memahaminya.

Sebagai mahasiswa yang pendidikanya difasilitasi (atau dibantu) dari pajak rakyat, nurani kaum muda yang bersih dari kepentingan politik ini sudah seharunya diperhatikan oleh pemerintah.

Oleh karenanya, penulis berhemat bahwa langkah yang dilakukan mahasiswa memang beresiko, namun demikian adanya untuk memastikan terlaksannanya demokrasi yang berkeadilan dengan orientasi kepentingan rakyat.

Siapa pemilik kedaulatan di negeri ini? Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 menjawab dengan tegas bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dijalankan menurut UUD. Viva  Justitia! (TRAS)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *