Dilematika Hukum Prostitusi dalam Perspektif Pidana di Indonesia

ilustrasi. (ist)

Penulis: Andri Yanto
Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung

TRASBERITA.COM — Prostitusi adalah salah satu permasalahan laten yang hampir selalu ada di segala zaman dan nyaris tanpa penyelesaian pasti.

Bacaan Lainnya

Sebagai sebuah praktik yang bertentangan secara langsung dengan hak asasi dan nilai-nilai sosial kemanusiaan, prostitusi telah menjadi sebuah dilema umum, antara pragmatisme manusia terhadap kebutuhan biologis, dan kepastian hukum akan penghormatan nilai-nilai sosial dan keagamaan yang berlaku.

Dalam perspektif agama, sebagai pedoman paling mendasar yang wajib diakui di Indonesia, tidak ada pembenaran apapun terhadap aktivitas prostitusi.

Bahkan, nilai-nilai dan keagamaan yang berlaku di Indonesia menetapkan prostitusi sebagai bentuk kejahatan (mala in see) dan dalam beberapa kategorisasi termasuk pelanggaran (mala in prohibita).

Apapun bentuknya, bagi masyarakat Indonesia, prostitusi dihadapkan dengan potensi ancaman sanksi, baik agama, adat maupun sanksi sosial.

Namun demikian, kita dapat menutup mata bahwa serangkaian tata aturan non-ligitasi yang berusaha melimitasi praktek prostitusi tidaklah berjalan secara efektif.

Terlebih, dengan tingkat perkembangan teknologi dan informasi yang merubah paradigma prostitusi menjadi berbasis digital sehingga semakin sulit untuk dideteksi.

Selain itu, globalisasi, westernisasi dan masuknya paham-paham asing dengan nilai hedonis dan berantitesis terhadap budaya Timur terakumulasi menjadi formula yang menyuburkan paham sekularisasi, degradasi keyakinan beragama dan perubahan sosial masyarakat.

Dengan kata lain, selain peningkatan populasi dan kemajuan teknologi yang memperluas potensi berlakunya prostitusi, melemahnya nilai-nilai sosial-teologis dalam masyarakat juga kian menyulitkan upaya untuk mengatasinya.

Dalam keadaan yang demikian, hukum sebagai entitas legal, mengikat dan berkapasitas yuridis, idealnya turut bereformasi dan menyediakan mekanisme ruang bagi perbaikan sosial kemasyarakatan.

Batasan dalam Hak Asasi dan Pekerjaan

Sebanding dengan jumlah populasi penduduknya, Indonesia adalah negara dengan angka prostitusi terbesar ke-12 di dunia.

Data global Havoscope- lembaga yang berfokus pada penyedilidikan ‘pasar hitam’ itu menerangkan bahwa nilai ekonomis yang berputar dari bisnis prostitusi di Indonesia mencapai USD 2,25 miliar per tahun.

Meski tentu ekonomi bukan satu-satunya alasan, namun ekonomi tetap menjadi faktor utama yang mempengaruhi banyaknya jumlah persebaran pelaku prostitusi.

Permasalahan lain yang juga perlu untuk menjadi perhatian adalah perihal banyaknya anak-anak dibawah usia yang turut dalam ‘bisnis’ tersebut.

Pada 2018, misalnya, UNICEF memberikan laporan yang memperkirakan sebanyak 30% pelaku prostitusi di Indonesia adalah anak-anak perempuan dibawah usia 18 tahun.

Memang, konstitusi di Indonesia sendiri memberi kebebasan setiap orang untuk memilih dan memperoleh pekerjaan demi mempertahankan hidup dan kehidupanya, sebagaimana ditetapkan secara normatif dalam pasal 27 ayat 2.

Hak dalam bekerja, termasuk dalam mempergunakan poteni diri adalah bagian dalam hak asasi yang dijamin secara konstitusional.

Namun, perlu menjadi catatan juga, bahwa kebebasan dalam memilih pekerjaan tersebut bukan berarti kebebasan mutlak tanpa limitasi, melainkan bentuk kebebasan bertanggung jawab yang dibarengi dengan nilai-nilai sosial kemasyarakatan.

Untuk itu, asalan ekonomi sekalipun, pada dasarnya tidak cukup relevan untuk membenarkan praktik prostitusi di Indonesia.

Kekosongan Hukum

Upaya penanganan dan pemberantasan praktik prostitusi di Indonesia masih menemui kebuntuan.

Selain lantaran jumlah kasus yang besar dan terbatasnya hak negara dalam melakukan pengawasan, lantaran termasuk dalam ranah hukum privat, kapasitas hukum positif yang saat ini mengangai permasalahan tersebut juga masih cukup mengambang dan layak untuk diperdebatkan.

Ditinjau dari aturan hukum, prostitusi dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran (mala in prohibita) yang dijerat dengan pasal 296 dan 506 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Pasal 296 menegaskan bahwa, “Barangsiapa yang mata pencaharianya atau kebiasaanya yaitu dengan sengaja mengadakan dan memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain diancam dengan pidana….”.

Sedangkan pasal 506 menegaskan bahwa, “Barangsiapa sebagai mucikari (soutener) mengambil keuntungan dari pelacuran perempuan, diancam dengan pidana….”.

Dari kedua ketentuan tersebut, secara umum dapat ditarik konkulsi bahwa hukum pidana positif di Indonesia hanya menjerat pelaku mucikari dan perantara yang mengambil keuntungan dari aktivitas protitusi.

Sementara itu, tidak terdapat dasar hukum yang tegas dan mengikat untuk pemidanaan pelaku prostitusi, yakni Pekerja Seks Komersial (PSK) maupun pelanggan yang melakukan praktik tersebut.

Dengan kata lain, negara tidak dapat mempergunakan hukum pidana dalam menghentikan aktivitas prostitusi yang dilakukan tanpa jaringan mucikari.

Padahal, bila disandingkan dengan nilai-nilai materiil masyarakat, unsur utama yang seharusnya menjadi titik perhatian dalam hukum adalah pelaku, yang dalam hal ini adalah PSK dan pelanggan sebagai pelaku aktif dari prostitusi itu sendiri.

Belum adanya dasar hukum yang tegas itu, juga merembet pada permasalahan lain yang lebih ekstensif, yakni menunjukan bahwa secara implisit negara tidak melarang praktik perzinahan selama itu dilakukan diluar perkawinan yang sah, dan tidak melalui perantara yang mengambil keuntungan.

Adanya kekosongan hukum (rechtvacuum) ini bukan saja mereduksi nilai sosio-normologis dari hukum itu sendiri, tetapi juga menjadi legitimasi bagi perbuatan yang sebenarnya telah jelas dilarang keberadaanya.

Pasal 417 RUU KUHP

Adanya kekosongan hukum terkait dengan pemidanaan terhadap pelaku dan pelanggan prostitusi dalam KUHP telah menjadi sorotan para sarjana hukum Indonesia sejak awal masa kemerdekaan.

Dengan semangat memperbaharui sistem hukum nasional, sejak 1963 draf Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP telah dibahas dan dikaji pada tahap legislasi.

Dalam RUU KUHP, pasal terkait dengan perzinaan dan prostitusi secara tegas diatur dalam Pasal 417 ayat (1) yang menegaskan bahwa: “Setiap orang yang melakukan peretubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidna karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama (1) tahun atau denda kategori II maksimal 10 juta rupiah”.

Pasal 417 RUU KUHP adalah jawaban bagi kekosongan dan problematika hukum prostitusi saat ini.

Dengan pasal tersebut, maka pemidanaan tidak hanya dapat dilakukan secara terbatas pada mucikari dan orang yang memiliki hubungan pernikahan, melainkan juga mencakup setiap orang yang melakukan, termasuk dalam hal ini adalah PSK dan pelanggan.

Meski demikian, kepastian hukum yang ditetapkan oleh negara dengan jaminan Pasal 417 (jika RUU telah disahkan) tidak berarti lantas mengharuskan negara mengusut tuntas semua praktik prostitusi secara keseluruhan tanpa terkecuali.

Sifat dari pasal ini tidak mengakhiri total, melainkan mereduksi angka prostitusi secara signifikan.

Untuk itu, dalam draf RUU KUHP yang dibahas pada September 2019, Pasal 417 dikategorikan sebagai delik aduan, dan negara hanya dapat hadir untuk memberi pelayanan hukum pidana apabila terdapat pengaduan dari orang tua, suami, istri dan atau anak pelaku.

Lantaran masih dalam tahap pembahasan, perluasan cakupan dari pihak yang berhak mengadukan delik prostitusi itu masih dimungkinkan untuk dilakukan.

Misalnya, dengan memasukan unsur masyarakat. Prostitusi adalah pelanggaran yang tidak seharusnya dibiarkan.

Peran negara dalam menekan angka persebaran prostitusi harus dijalankan secara dua arah, dengan langkah preventif untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat, mempromosikan kehidupan keluarga yang sehat, dan meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat.

Dilain sisi, negara juga harus menetapkan regulasi yang memberi jaminan hukum dan mekanisme kuratif bagi pelaku prostitusi, sehingga dengan kedua strategi tersebut, angka prostitusi dapat ditekan seminimal mungkin, seiring waktu bersamaan dengan visi pembangunan nasional yang berkarakter. (TRAS)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *