Penulis: Andri Yanto
Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung
TRASBERITA.COM — Ubi societas ibi ius. Dimana ada masyarakat disana ada hukum. Hukum adalah segenap tatanan nilai, asas dan norma yang dibentuk sebagai sebuah kontemplasi filsafat guna membawa keadilan, kebermanfaatan dan kepastian demi kebaikan umat manusia.
Sepanjang sejarah dialeksi pembentuknya, hukum menyertai kehidupan manusia layaknya sebuah produk komplementar sosial.
Satu hal yang pasti dan merupakan prinsip fundamental, adalah bahwa hukum itu diciptakan untuk manusia dan bukan sebaliknya, juga hukum tidak diciptakan untuk dirinya sendiri.
Menjalankan hukum di Indonesia kini kita berhadapan dengan diskursus kedangkalan berfikir, karena masih tegaknya pandangan para penafris hukum yang lebih banyak membaca undang-undang daripada berusaha menjangkau dimensi makna dan nilai yang lebih dalam.
Pernyataan ini kiranya adalah juga sebuah rumusan kualitatif dan empiris sebagai sisi kritisme terhadap penegakan hukum di Indonesia, yang seringkali diwarnai dengan rasa kekecewaan masyarakat, dan dalam beberapa ekstrem kasus, dinilai tidak mencerminkan keadilan.
Upaya-upaya penegakan kasus korupsi baru-baru ini yang terjadi ditengah pandemi COVID-19, pemidanaan pelaku protes terhadap pemerintah dan kriminalisasi aktivis hingga masyarakat, lantaran UU ITE mencerminkan bahwa “virus” formalisme hukum masih menjadi epidemi yang merancukan rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat.
Merenungkan makna keadilan, sebagai salah satu tujuan hukum, selain kebermanfaatan dan kepastian, kiranya kita tidak boleh melepaskan diri dari mazhab hukum yang dianut di Indonesia saat ini.
Seperti kita ketahui bersama, kajian hukum di Indonesia yang secara geneologis berasal dari trasidi hukum Eropa Kontinental melalui asas konkordansi di era Kolonialisme, hingga kini berkembang dibawah bayang-bayang paradigma positivisme.
Positivisme yang berkembang dari filsafat Auguste Compte dan diteruskan oleh banyak ahli, termasuk Hans Kelsen dan Nawiasky, menuntut perlakuan subjek terhadap hukum sebagai sebuah realitas objektif yang terlepas dari unsur metafisis.
Bahkan, ajaran Teori Hukum Murni Kelsen memisahkan antara dimensi hukum dengan filsafat sosial dan nilai-nilai diluar lingkup yuridis.
Akibatnya, positivisme menghasilkan produk dan penegakan hukum yang kering, dan sulit terintegrasi dengan nilai-nilai sosial-telologis yang sejatinya, adalah norma dasar (grundnorm) dari hukum itu sendiri.
Dampak negatif dengan probabilitas tinggi yang kerap terjadi dalam penerapan hukum berparadigma positivisme adalah diskrepansi orientasi hukum dari yang seharusnya menitikberatkan pada keadilan teleologis menjadi keadilan yang sifatnya prosedural.
Keadilan diukur dari terlaksana atau tidaknya suatu aturan perundang-undangan, dan dalam kasus tertentu, positivisme membenarkan pidana dalam delik formil, bahkan jika dalam pertimbangan materiil tidak seharusnya demikian.
Sejenak, mari kita lihat bagaimana UU ITE, sebagai contoh paripurna akan positivisme telah menemukan “mangsa-mangsanya” sepanjang ditetapkan hingga saat ini.
Pasal karet UU ITE pada 15 Agustus 2018 silam, menjerat Prita Mulyasari yang mengirimkan email berisi keluhan dirinya dan teman-temanya terkait pelayanan salah satu rumah rumah sakit di Tangerang.
Secara tidak sengaja, email tersebut tersebar ke dunia maya dan dianggap mencemarkan nama baik rumah sakit terkait.
Akibatnya, Prita dijerat dengan pasal 310 dan 311 KUHP juntco pasal 27 ayat 3 UU ITE.
Akibatnya, ia divonis awal dengan 4 tahun penjara, sebelum kasasi MA mengubah ganjaran perbuatanya menjadi pidana penjara 6 bulan dengan masa percobaan satu tahun.
Apa yang dialami oleh Prita juga secara similar terjadi bagi banyak kasus lainya, termasuk Muhammad Arsyad, Ervani Hndayani, Florence Sihombing Fadli Rahim, dan yang cukup mengemuka, Baiq Nuril Maknun.
Sekarang, mari kita kaji posisi kasus di atas dalam paradigma teleologis. Penetapan bersalahnya seseorang dengan mengedepankan ketentuan undang-undang sejatinya adalah sifat dasar positivisme, guna memberi jaminan kepastian hukum.
Namun, tentu saja, beresiko mengorbankan rasa keadilan dan kebermanfaatan yang ada di masyarakat.
Di pidananya seorang atas delik formil kiranya memang juga berkaitan dengan segi materiilnya, namun dari keduanya, yang diutamakan haruslah materiil dan bukan formilnya.
Dengan kata lain, penafsiran hukum terhadap kasus-kasus yang demikian itu haruslah terbuka, dengan perspektif yang luas termasuk pada nilai-nilai sosial masyarakat, dan bukanya hanya mencorongkan mata pada teks undang-undang belaka.
Dalam kajian filsafat hukum, tidak kurang literatur yang membahas mengenai formalisme sebagai salah satu penyebab ambruknya penegakan hukum yang ontologis.
Saat undang-undang dianggap sebagai muara hukum, dan semua tindakan manusia diukur dengan logika undang-undang itu, maka tidak lagi relevan adegium hukum untuk manusia, malah sebaliknya manusia untuk hukum.
Nenek Minah, seorang tua renta berusia 55 tahun yang mencuri 3 buah kakao untuk ditanam di lahan garapanya dengan sedikit harapan membantu mengisi perutnya nanti, malah diganjar dengan 1 bulan 15 hari penjara.
Apakah hal demikian bisa dituntut? Tentu saja bisa, lantaran mencuri adalah salah satu delik kejahatan (mala in see).
Namun, sependek itukah mata hukum diarahkan? Apakah hukum tidak memperlihatkan nilai-nilai moralitas untuk sekadar “mengasihani” dan memberi keringanan atau penyelesaian tanpa harus memenjarakan orang tua renta yang tidak berdaya itu?
Mirisnya, dikala hukum begitu tegas dicambukan bagi kalangan bawah yang melakukan kesalahan dengan tujuan sedikit memperpanjang kehidupan, para pelaku White Collar Crime, termasuk para koruptor dan penyalahguna hak jabatan, malah mendapat berbagai hak-hak privilege yang mengasyikan.
Sebut saja, kasus suap bernilai Rp.7 miliar yang dilakukan oleh jaksa Pinangki “hanya” diganjar dengan 10 tahun penjara, dan malah kemudian mendapat diskon besar-besaran 60% menjadi 4 tahun.
Korupsi bansos yang dilakukan pejabat sekelas Juliari Batubara sekalipun, dengan nilai kerugian lebih dari Rp 30 miliar, diganjar dengan 12 tahun penjara dengan pertimbangan yang meringankan lantaran ia sudah banyak dicaci maki masyarakat akibat perbuatanya.
Jika 3 buah kakao yang nilainya tak lebih dari Rp10.000 itu dihargai 1 bulan 15 hari, berapa abad seharusnya Pinangki dan Juliari bersemedi di penjara?
Memang, logika komparasi tidak bisa digunakan dalam hukum acara pidana. Satu kasus dengan kasus lain tidak mungkin dikait-kaitkan, karena berada dalam delik hukum yang berbeda , kecuali jika keduanya memang berhubungan.
Namun, sejatinya, rasa keadilan dalam masyarakat tidak bisa dibohoni dengan tutupan kalimat “undang-undang mengatur demikian”.
Apa gunanya undang-undang itu jika tidak bisa memenuhi tuntutan keadilan masyarakat? Untuk siapa undang-undang itu diciptakan dan di tegakan? Apakah untuk rakyat atau untuk “rakyat”?.
Demikianlah kerisauan dan kegalauan yang menyelimuti positivisme, saat keadilan dinilai secara prosedural dan mengesampingkan hakikat keadilan yang teleologis.
Dan hal ini, sebagaimana juga terjadi dibanyak negara, kini menyelimuti sistem hukum di Indonesia.
Tentu, masalah ini tidak mudah, namun bukan berarti tanpa solusi juga.
Salah satu ikhtiar yang diteruskan untuk memperjuangkan perbaikan, adalah dengan mengupayakan penegakan hukum progresif sebagaimana yang digagas oleh Satjipto Rahardjo, salah seorang punggawa hukum Indonesia.
Setidaknya keadilan progresif yang berlandaskan pada tujuan teleologis itu dapat didekati dengan tiga cara secara integratif.
Pertama, menempatkan hukum sebagai kekuatan “pembebasan” yaitu membebaskan kajianya dari tipe, cara berfikir, asas dan teori hukum yang legalistik-dogmatis, serta analitik-positivistik.
Dengan pembebasan itu, maka keadilan dapat dimaknai dengan lebih mengutamakan “tujuan” dan bukanya “prosedur”.
Kedua, logika hukum harus mempertimbangkan asas kepatutan sosial, tidak terbatas pada peraturan belaka.
Sehingga dalam penegakanya, hukm menjunjung tinggi moralitas dan pertimbangan-pertimbangan sosial.
Ketiga, hukum harus ditegakan dengan dukngan kualitas dan kemampuan sumber daya manusia sebagai penegak hukumya.
Penegakan hukum harus didukung oleh manusia yang memiliki pandangan progresif, terbuka, dan terlepas dari konflik kepentingan poliik praktis. Faktor modalitas inilah, yang menjadi kunci penting dalam menjalankan tujuan hukum dengan “hati” dan bukan mekanistis-linear. Viva Justisia! (TRAS)