Penulis: Andri Yanto
Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung
TRASBERITA.COM — Ketika Aristotales menulis tentang bentuk-bentuk negara dalam bukunya “Politika”, ia memberi catatan bahwa setiap bentuk pemerintahan pada hakikatnya adalah sebuah sistem yang abstrak, sedang bagaimana kemanfaatan dari sistem itu bergantung pada kontemplasi orang-orang yang menjalankanya.
Setiap bentuk negara, dalam pandangan Aristotales, senantiasa disejajarkan dengan bentuk antitesisnya.
Monarki adalah pemerintahan yang ideal, namun jika diperintah oleh orang yang salah maka akan berubah menjadi tirani.
Hal yang sama juga bagi aristokrasi, politeia dan demokrasi yang bisa saja teracuni oleh segelintir kepentingan elit sehingga memuat ciri oligarki.
Berbicara tentang konsep demokrasi yang dijalankan di Indonesia, pluralnya konflik kepentingan politik memang bukan hal ringan yang mampu disimplifikasi.
Namun, jika dipandang dari perspektif filsafat, menyimpang atau tidaknya suatu kebijakan politik itu secara general dapat diamati dengan pendekatan teleologi-ontologis.
Kiranya, sebagaimana yang didengungkan dalam definisi populernya, demokrasi dijalankan oleh dan untuk rakyat, dan dalam konsep modern ini umumnya digunakan sistem representasi, termasuk yang dijalankan di Indonesia.
Konsep demokrasi representatif dengan sistem perwakilan yang mewakili suara rakyat memiliki berbagai probabilitas sintesis yang berbeda, baik dan buruk.
Bila wakil rakyat menjalankanya dengan sepenuh hati sebagaimana tanggung jawab dasarnya, maka demokrasi akan menghasilkan bentuk pemerintahan yang ideal, begitupun sebaliknya.
Kembali pada teori Aristotates, hal demikian bergantung dari komitmen dan orientasi kinerja para wakil rakyat yang menjalankan pemerintahan.
Fluktuasi pandemi COVID-19 yang hingga saat ini masih belum teratasi mencerminkan berbagai kondisi seputar politik demokrasi bangsa yang kian banyak menuai tanda tanya publik.
Selain langkah-langkah penanggulangan pandemi, termasuk kebijakan pembatasan dan program-program ekonomi kesehatan, akrobat elit politik di pemerintahan juga menjadi pertunjukan yang mencolok di sepanjang perjalanan waktu.
Mulai dari lomba pemasangan baliho yang membanjiri seantero negeri sebagai “bukti” kinerja untuk Indonesia, pembungkaman kritik yang dilakukan berbasis seni dan mural, hingga ketimpangan penegakan hukum para pelaku korupsi yang membuat rakyat mengernyitkan dahi.
Di Bangka Belitung, salah satu problematika baru yang menarik untuk dikaji adalah kenaikan tiba-tiba anggaran tunjangan anggota dewan hingga dua kali lipat, ditengah-tengah tingginya gelombang pandemi.
Kenaikan Tunjangan Fantastis
Gubernur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Erzaldi Rosman, pada 18 Juni 2021 menekan Peraturan Gubernur Bangka Belitung Nomor 41 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Gubernur Nomor 50 Tahun 2017 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Legalnya peraturan tersebut menjadi justifikasi berkekuatan hukum tetap atas penambahan Tunjangan Perumahan dan Transportasi bagi Anggota DPRD Babel hingga dua kali lipat.
Adapun nilai besaran tunjangan yang dimaksud, adalah terinci sebagai berikut;
Tunjangan Perumahan Ketua DPRD, sebesar Rp 32.352.941,00