Penulis: Andri Yanto
Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung
TRASBERITA.COM — Pasca hari kebebasan SJ, seorang mantan seniman peran yang semula terjerat kasus kejahatan seksual terhadap anak dibawah umur, media televisi nasional seolah kembali terjangkit dengan ‘penyakit’ lawas yang terus menerus terjadi sepanjang waktu, yakni glorifikasi selebriti.
Bukan hal baru, pasalnya, nyaris tiap stasiun penyiaran mainstream di tanah air tidak pernah absen dalam menyajikan santapan berita berupa kabar-kabar selebriti dan artis tanah air, tentu dengan kapasitas peminat publik yang juga tinggi di Indonesia.
Kabar berita dan kejadian-kejadian miring adalah gunjingan sehari-hari yang tidak pernah selesai dibahas, dari perkelahian antar selebriti, berita perceraian, perkawinan, putus cinta, sampai makan dengan tangan tanpa sendok pun menjadi tayangan yang diolah sedemikian rupa guna dinikmati oleh publik tanah air.
Sejatinya, merunut pada sistem kerja dari stasiun penyiaran itu sendiri, yang sebagian besar (dengan rating dan kapasitas jam tinggi) adalah Lembaga Penyiaran Swasta (LPS), bukan hal mengejutkan jika tayangan cenderung sekadar menjaring perhatian publik.
Hal demikian bertujuan menggaet jumlah penonton, menarik masuknya klien untuk menayangkan iklan berbayar dan mempertebal pundi-pundi penghasilan. Rasional.
Namun sayangnya, hal demikian juga berdampak pada kualitas tayangan yang ditawarkan, lantaran kerapkali mengeksploitasi hal-hal yang seharusnya tidak menjadi konsumsi publik secara berlebihan.
Glorifikasi terhadap SJ (Bang Ipul) dihari pembebasanya adalah salah satu contoh yang paripurna.
Pemberitaan dan penyambutan si pelaku kejahatan seksual yang baru lepas dari hukuman pidana bak pahlawan menunjukan bahwa stasiun pertelevisian agaknya menjauh dari segi idealis visioner yang seharusnya diemban sebagai sebuah media publik.
Tidak jauh ke belakang, fenomena serupa bukan sekali dua kali ada, penyiaran pernikahan pasangan muda-mudi hingga berhari-hari, laporan harian terkait kisah-kisah pemain peran di layar kaca, dan bahkan cuitan-cuitan saling sindir antara satu artis dengan lainya terus menerus merajai laman-laman digital.
Glorifikasi kehidupan selebriti adalah peredupan visi dari sistem pertelevisian dan penyiaran di tanah air.
Sejenak, mari mengkaji ulang bagaimana ketentuan terkait hukum penyiaran di Indonesia.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menggarisbawahi visi besar yang diemban oleh setiap stasiun penyiaran tanah air dengan frasa dalam Pasal 3, yakni “Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia”.
Sejatinya, ketentuan Pasal 3 UU No.32 Tahun 2002 telah mewakili sederet panjang regulasi yang mengatur tentang penyiaran, termasuk Pedoman Penyelenggaraan Penyairan (P3), Standar Program Penyiaran (SPP), dan lain ketetapan yang diteken oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga negara yang bertanggungjawab melakukan pengawasan dan pengelolaan terhadap penyiaran di Indonesia.
Namun sayangnya, berhadapan dengan pragmatisme ekonomis dan profit ekspoitasi minat publik, stasiun televisi masih kerap mencuri peluang dengan pengabaian terhadap visi tersebut.
Lantas bolehkah pelaku kejahatan seksual seperti dalam awal pembahasan itu mendapat ‘sambutan’ di media televisi?
Merujuk pada Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 03 Tahun 2007 tentang Standar Program Penyiaran, Pasal 20 ayat 2 secara tegas melarang setiap lembaga penyiaran untuk menyajikan program dan tayangan yang isinya memuat pembenaran bagi terjadinya pemerkosaan dan menganggap bahwa pemerkosaan bukanlah kejahatan yang serius.
Secara sederhana, tidak ada privilege apapun bagi pelaku kejahatan seksual untuk mendapat tempat ‘terhormat’ sebagaimana yang terjadi saat ini.
Apa yang terjadi baru-baru ini, terlebih dengan penyambutan bak pahlawan bagi seorang yang baru keluar dari penjara, terlepas dari statusnya sebagai seorang mantan selebritis, adalah tidak dapat dibenarkan untuk dilakukan di depan ruang publik.
Hal yang demikian seolah memberi kesan bahwa kejahatan seksual yang dilakukanya sudah berlalu, ia menang melewati hukuman, dan selayaknya diangkat kembali untuk menarik minat publik.
Apa yang salah? Tindakan ini selain bentuk pembenaran tersirat atas perbuatanya, juga sekaligus secara langsung menindas nurani masyarakat, terlebih korban yang hak asasinya tercemari oleh perbuatan pelaku.
Dalam Peraturan KPI tentang Standar Program Penyiaran, Pasal 6 ayat 1 luas menetapkan 8 standar yang menjadi pedoman, diantaranya adalah penghormatan terhadap nilai-nilai agama, norma kesopanan dan kesusilaan, perlindungan anak-anak, remaja dan perempuan, pelarangan dan pembatasan adegan seks, kekerasan dan sadisme, penggolongan program menurut usia khalayak, rasa hormat terhadap hak pribadi, penyiaran program dalam bahasa asing, serta ketepatan dan kenetralan program berita.
Dua dari delapan standar pedoman tersebut, yakni norma kesopanan dan kesulisaan, dan perlindungan anak-anak, remaja dan perempuan, adalah dua poin minimun yang dilanggar dengan maraknya glorifikasi yang dilakukan oleh stasiun televisi terhadap pelaku kejahatan seksual.
Stasiun pertelevisian sebagai bagian dari lembaga penyiaran sudah seharunya melakukan filterisasi program dan acara yang akan ditayangkan dengan penyesuaian terhadap P3 dan SPP serta ketentuan dalam UU Penyiaran.
Penyajian tayangan harus berorientasi pada mutu dan kemanfaatan, bukan sekadar komoditas praktis yang berpotensi surplus namun berkebalikan dengan visi fundamental dari konsep penayangan itu sendiri.
Sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 27 ayat 2 UUD 1945, setiap orang memang memiliki hak untuk bekerja dan memenuhi hajat hidup dan kehidupanya, termasuk mereka para pelaku kejahatan yang telah menyelesaikan hukumanya.
Namun, pembatasan akses terhadap pekerjaan tertentu, yang memiliki dampak luas terhadap masyarakat, perlu untuk dilakukan.
Seperti halnya seorang koruptor yang dicabut hak politiknya sehingga tidak lagi bisa memegang jabatan, mengapa selebriti tidak bisa ditolak untuk tidak tayang agar tidak menimbulkan kericuhan opini di masyarakat?
Peran penting dan posisi strategis lembaga penyiaran terhadap pembentukan persepsi publik adalah suatu potensi, laman yang luas sebagai media pencerdasan kehidupan berbangsa (sebagaimana dalam visi Pasal 3 UU Penyiaran).
Namun, jika potensi yang demikian disalahartikan sebagai komoditas, maka bencana logika akan melanda seantero konsumen televisi, dengan pengkultusan kedudukan seorang selebriti seolah dibenarkan menggaet sekian privilege hanya lantaran status sosialnya sebagai seniman peran.
Mirisnya, jika budaya yang demikian terus dibiarkan terjadi, akan sampai pada dialektika kulmuniasi disaat privilege atas pelaku tindak pidana dari kalangan selebritis menjadi sebuah kelaziman dan bisa saja dibenarkan.
Oleh karenanya, lembaga penyiaran harus kembali berbenah, menyandarkan visi dan konsepsi program tayangan pada tata hukum penyiaran yang berlaku di Indonesia. (TRAS)