Hamidah, Pujangga Baru Asal Mentok, yang Tak Suka Penyakit Romantik

Hamidah, seorang pengarang perempuan Indonesia Angkatan Pujangga Baru, mempunyai nama sebenarnya, yakni adalah Fatimah. (foto: dokumen istimewa)

Laporan: AKA

TRASBERITA.COM — Hamidah, seorang pengarang perempuan Indonesia Angkatan Pujangga Baru, mempunyai nama sebenarnya, yakni adalah Fatimah.

Bacaan Lainnya

Suaminya bernama Hasan Delais. Hamidah lahir di Muntok, Pulau Bangka, Sumatra Selatan, 13 Juni 1915, meninggal di rumah sakit Charitas, Palembang, 8 Mei 1953.

Pendidikan terakhir Hamidah adalah Meisjes Normaalschool (Sekolah Normal Putri) di Padang Panjang, Sumatra Barat.

Setelah tamat dari Sekolah Normal Putri, Hamidah kembali ke Muntok dan mengajar di Sekolah Rakyat (SR) Muntok, kemudian ia mengajar di Palembang Institut mengambil mata pelajaran “Bahasa Inggris” dan “Pegang Buku”.

Hamidah gemar membaca karangan Shakespeare. Setelah itu, ia bekerja di perguruan Taman Siswa sampai Jepang datang.

Saat revolusi berlangsung, ia membuka sekolah sendiri yang pada tahun 1949 diserahkan kepada pemerintah.

Dia pernah menjadi pengurus P4A, Parnawi. Akhirnya, ia menjadi anggota Coerwis (diambil dari catatan dengan tulisan tangan yang tersimpan di PDS H.B. Jassin).

Ia juga menjadi pembantu tetap Poedjangga Baroe di Palembang.

Selain menulis novel, Hamidah juga menulis puisi. Karya puisinya “Berpisah” (Poedjangga Baroe No.10 Th.2, 1935)—puisi ini dengan judul yang sama juga dimuat dalam Pandji Poestaka No. 44 Th.13, 1935, “Kekalkah?” (Pujangga Baru, No. 12 Th.2 1935).

Kumpulan puisi bersama yang memuat puisi-puisi karya Hamidah, antara lain, adalah Pujangga Baru: Prosa dan Puisi (H.B. Jassin, 1963), Seserpih Pinang Sepucuk Sirih (Toeti Heraty, 1979), Tonggak 1 (Linus Suryadi AG, 1987), dan Ungu: Antologi Puisi Wanita Penyair Indonesia (Korrie Layun Rampan).

Karya-karya Hamidah dinilai sebagai karya yang menggunakan bahasa sederhana, seperti bahasa sehari-hari.

Caranya bercerita setapak demi setapak, wajar, dan tak membosankan.

Penyakit romantik yang selalu berlebih-lebihan tidak terasa.

Selain itu, novel Kehilangan Mestika, yang merupakan satu-satunya karya Hamidah yang ditulisnya saat berumur 19 tahun, dinyatakan mengandung unsur-unsur biografis (lihat H.B. Jassin dalam Pengarang Indonesia dan Dunianya: Kumpulan Karangan).

Hamidah sebenarnya ingin membuat satu buku lagi, tetapi tidak kesampaian.

Hal ini disampaikan oleh Hasan Delais, suami Hamidah dalam suratnya kepada Balai Pustaka tanggal 2 Juni 1954. (*/TRAS)

Sumber: Ensiklopedia Sastra Indonesia

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *