Penulis: Assoc. Prof. Dr. Saidun Derani, MA.
OPINI, TRASBERITA.COM – Kata “belitan” semakna dengan kata melilit seperti lingkaran tali pada kumparan benang. Bisa diartikan dengan makna kusut atau rumit sekali (KBBI). Dengan demikian tulisan ini ingin menyampaikan bahwa perjalanan kebangsaan NKRI sejak pra dan pasca kemerdekaan selalu dalam belitan dan cenkraman kapitalisme global. Demikianlah gambaran perjalanan nasionalism kebangsaan NKRI sampai zaman reformasi pada awala abad ke-21 ini. Di bawah ini akan diuraikan kisah kapitalism global yang sampai sekarang tak mau melepaskan belitannya dari tubuh NKRI.
Kisah ini bersumber buku yang ditulis Gus Hasyim Wahid bin KH. Abdul Wahid Hasyim bin KH. Muhammad Hasyim Asy’ari dengan judul “Telikungan Kapitalisme Global Dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia” terbitan LKiS1999, Yogyakarta, membuka perspektif baru dalam memahami perjalanan nasionalisme Indonesia. Karya adik kandung Gus Dur ini ditulis satu tahun pasca kejatuhan Rezim Soeharto pada Mei 1998.
Kata “telikung” bermakna mengikat kedua kaki dan tangan dan bisa juga diartikan dengan membatasi gerak langkah untuk melakukan sesuatu (KBBI). Dengan demikian maka hakikat makna kata telikung adalah mengikat anaggota tubuh seseorang sehingga sangat terbatas geraknya dan bukan tak mungkin tak bisa bergerak. Jadilah kedua makna di atas, baik kata belitan dan telikung, saling berkelindan yang mengandung arti negative untuk sebuah bangsa ingin terbang bebas menjadi bangsa yang berdaulat dan merdeka dalam arti sesungguhnya.
Menurut Hasyim Wahid kata kuncinya bahwa keberadaan negara bangsa Indonesia (nation state) tidak bisa lepas dari konstalasi global international. Malahan dapat dikatakan sejarah Indonesia merupakan perpanjangan tangan pertarungan kepentingan sosial, politik, ekonomi dan wacana yang sedang berkembang (bermain) di dunia ternasional. Beliau menyebutkan sebagai contoh nama Indonesia saja hasil temuan linguistik-filologis Jerman A. Bastian. Sebab kata Wahid, setiap upaya untuk mendianogsa dan menterapi atas berbagai persoalan yang terjadi di Indonesia tanpa melihat keterkaitan dengan konstalasi global akan menemui kegagalan.
- Era Kebangkitan Nation State
Pra kemerdekaan penjajah asing mulai masuk Indonesia tahun 1596. Ini merupakan babak awal tertanamnya pengaruh Barat di bumi Indonesia. Berdirinya VOC 20 Mei 1602 M di Amsterdam menandakan jatuhnya Nusantara pada Belanda secara ekonomis dan politis. Era penjajahan negara-negara kapitalis Barat menanamkan pengetuhnya sekaligus mengendalikan kehidupan masyarakat Hindia Belanda sebagai cikal bakal nation state Indonesia.
Sampai akhir abad ke-19 tak ada peristiwa monumental yang dapat memengaruhi kehidupan sosial politik masyarakat Hindia Belanda walau pun terjadi berbagai gerakan perlawanan dan pemberontakan dengn intensitas yang berbeda-beda. Dan baru decade akhir abad ke-19 terjadi perubahan yang berarti dalam kehidupan masyarakat Hindia Belanda sebagai dampak dari adanya perubahan yang mendasar di kalangan berbagai negara bangsa Barat di Eropa, yang disebut dengan era “kebangkitan Nation State”
Era kebangkitan nation state ini dimulai Ernast Renan, pemikir Perancis tahun 1890, yang melemparkan idenya ke publik dalam kajian politik untuk menemukan konsep nasionalism berjudul “What is a Nation”. Karya ini memberikan pengaruh yang cukup besar di Eropa. Dengan konsepsi Renan ini lahir berbagai negara-bangsa di Eropa. Terjadinya perubahan di negara-negara Eropa ini berdampak pula kepada negara-negara jajahan termasuk di masyarakat Hindia Belanda.
Pada waktu bersamaan pemerintah kolonial Hindia Belanda menerapkan Politik Etis atas tanah jajahannya. Sejarah mencatat menjelang paruh kedua abad ke-19 terjadi persaingan yang menghebat antar berbagai kekuatan Eropa di Asia Tenggara. Inggris memperkuat kekuasaannya di Singapura, Semenanjung Malaya dan Birma, Perancis mendominasi di Laos dan Kamboja menyebabkan Thailand menjadi satu-satunya negara penyangga dan negara merdeka di Asteng. Perang Spanyol dan Amerika tahun 1898 memerdekan bangsa Philipina dan jatuh ke tangan AS. Jadilah Asteng mengalami penataan baru ketika terjadi perluasan kawasan pengaruh berbagai kekuatan dunia (Akira Nagazumi, 1989: 26).
Kejadian di Eropa ini dan perubahan kawasan Asia Tenggara ikut berdampak terhadap politik kolonial Belanda atas Hindia Belanda. Ini terlihat secara monumental kebijakan Politik Etis atas usul pengacara dan mantan pejabat peradilan kolonial yang menjadi anggota parlemen Belanda bernama C. Th. Van Deventer. Pada tahun 1899 dia menulis “Utang Budi” yang menyebutkan bahwa bangsa Belanda berutang kepada Hindia Belanda dari keuntungan yang diperolehnya selama dasawarsa yang lalu. Atas dasar ini, pidato Ratu Wilhelmina tahun 1901menetapkan bermulanya zaman baru dalam politik kolonial dikenal “Politik Etis”.
Dampak kebijakan ini yang paling nyata adalah terbukanya kesempatan makin luas di kalangan pribumi mendapat pendidikan modern ala Barat yang semula hanya diisi golongan priyayi. Karena kebutuhan tenaga birokrasi yang meningkat disebabkan perubahan peraturan pemerintah mengenai jabatan birokrasi (Burger, 1956), mendorong banyak anak priyayi rendah bahkan anak orang biasa masuk Pendidikan Barat. Kondisi dan situasi ini melahirkan perubahan struktur sosial masyarakat Hindia Belanda.
Tadinya struktur sosial masyarakat Hindia Belanda (khususnya Jawa) hanya golongan priyayi kraton dan rakyat jelata (Moertono, 1968). Lalu berubah karena adanya kelompok profesional baru (para birokrat) secara sosial disebut priyayi. Dengan masuknya pemerintah kolonial priyayi kraton tergeser kedudukan privasinya yang tinggi. Untuk mempertahankan kedudukannya di hadapan rakyat jelata dan masyarakat inilah priyayi kraton tak segan-segan menjadi alat pemerintah kolonial.
Konflik ini terlihat pada Budi Utomo (BO) berdiri tahun 1908, di mana golongan priyayi (Jawa) konservatif yang ingin tetap mempertahankan posisi di masyarakat maupun dalam jabatan pemerintahan dengan golonga priyayi muda yang lebih berorientasi Barat lebih modern, liberal dan terbuka (Robert v an Niel, 1984: 88). Kelompok muda ini dipimpin dr. Sutomo, dr. Gunawan Mangunkusumo, dr. Rajiman berhasil menggusur kelompok konservatif dalam tubuh BO. Mereka inilah yang berhasil mengkomunikasikan pemikiran Barat mengenai nasionalisme. Ormas BO menunjukkan pengaruh usaha-usaha Barat untuk mengubah kehidupan sosial dan ekonomi Hindia Belanda dengan berfikir dan bertindak secara Barat modern (van Niel, 1984: 88).
Demikianlah ada 2 faktor pendorong tumbuhnya semangat nasionalism berhasil memengaruhi wacana masyarakat Hidia Belanda. Pertama, pemikiran Barat yang dibawa kelompok kaum muda yang mendapat pendidikan modern ala Barat, kedua, perubahan-perubahan yang terjadi di negara Barat akibat munculnya negara bangsa.
Dampak lain dari kondisi politik international itu mendorong berdirilah ormas-ormas kepemudaan dan kemasyarakatan di Hindia Belanda walaupun semangat nasionalismnya bersifat atomis karena faktor keterbatasan jangkauan dan interaksi yang dapat diketahui dari bentuk dan corak organisasinya hanya bersifat etnis dan lokal. Jadi belum tumbuh luas semangat persatuan dan kesatuan dalam jiwa nasionalism kaum muda dan masyarakat Hindia Belanda.
Kesimpulannya bahwa pada era nation-state yang berkembang di Eropa dan didukung kebijakan Politik Etis pemerintah Kolonial Belanda terhadap masyarakat Hindia Belanda adalah lahirnya ormas-ormas yang bersifat lokal (island people) dan sektarian seperti Jong Java, Jong Sumatera, Jong Betawi, Jong Islamenten Bond, Jong Celebes, SDI, SI, Muhammadiyah, NU, PUI, Persis, dll.
Tahun 1917 muncul Blok Fakta Warsawa dari negara-negara komunis sebagai dampak dari Revolusi Bolsvik yang dikomando Lenin melahirkan ideologi komunism yang kemudian berkembang dengan berbagai variannya, termasuk di Indonesia. Revolusi ini juga yang mengilhami bangkitnya Gerakan komunis di Indonesia melakukan pemberontakan tahun 1926.
Dampak PD I
Konflik di negara-negara Barat mencapai puncaknya terjadi PD I tahun 1918. Rusia, Jerman, Perancis, dan Inggris terlibat dalam konflik ini. Peristiwa ini memberi dampak kepada derah jajahan di Asia, seperti India, Turki, Jepang, termasuk di Hindia Belanda sehingga melahirkan gelombang Revolusi Asia (Gedenboek 1908-1923, Indonesia Vereeniging; 53). Perlawanan rakyat India terhadap Inggris bagi bangsa Indonesia mendorong semangat nasionalism dalam suatu jalinan yang utuh.
Dampak PD I dan Revolusi Asia atas bangsa Hindia Belanda tercermin dari berita koran Indonesische Vereeniging yang menyebutkan bahwa api kebangkitan Asia sudah terus menyala dan masih terus berkobar di seluruh daerah Hindia Belanda. Bangun bangsa Hindia Belanda dan ini harus diinsyafkan para pemuda Indonesia. Bahwa cita-cita mulia dapat dicapa jika ada persatuan yang teguh bersendi pada kemauan dan kekuatan bangsa.
Dua hal di ats, proses komunikasi yang cukup lama dan dukungan kondisi politik dunia akibat PD I akhirnya bangsa Indonesia berhasil mengkonstruksikan paham kebangsaan secara utuh dan terpadu pada peristiwa Sumpah Pemuda tahun 1928, yang berujung pada melahirkan wacana negara-bangsa Indonesia. Ini menjelaskan bahwa bangsa Indonesia tertinggal puluhan tahun dari bangsa-bangsa Barat Eropa mengenai paham negara bangsa.
Demikianlah, kata Hasyim Wahid bahwa kondisi sosial politik dunia pasca PD I telah memberi dampak yang cukup berarti pada bangsa Indonesia mengenai konsep negara bangsa dan kesadaran nasionalisme (Hasyim Wahid, 1999: 9).
Era Konsolidasi Kapitalisme
Pasca PD I karena biaya perang yang cukup tinggi banyak negara kapitalis-imperialis mengalami kebangkrutan yang berujung pada resesi ekonomi dunia (malaise) pada awal tahun 1930-an. Meresponi masalah ini negara-negara kapitalis-imperislis melakukan konsolidasi membentuk blok-blok; imperislis-komunis (Sovyet), imperiaslis kapitalis (AS dan Inggris), imperialis-rasis (Jerman), imperialis totaliter (Jepang). Bidang ekonomi dilakukan restrukturisasi pada sektor moneter dan riil.
Bidang sosial mulai dilakukan proses rekayasa sosial (social engineering) melalui penyusunan beberapa konsep dan teori sosial. Yang terkenal adalah Teori Strukturalism Fungsional dari sosisolog AS, Talcott Parsons, yang mulai dibangun tahun 1937 diketahui dari artikelnya The Structure of Social Action, dan dikembang lebih jauh bersama Edward Shils dalam buku Toward a General Theory of Action; tahun 1951.
Pada Era ini terjadi polarisasi negara-negara imperialis; imperialis kapitalis dan komunis membentuk blok/Sekutu Allies (AS, Inggris, Uni Sovyet dll) Vs Imperialis rasis dan totaliter membentuk blok Axis (Jerman, Jepang, Italy dan Spanyol). Sebenarnya peristiwa polarisasi ini kelanjutan konflik yang terjadi pada akhir abad ke-19.
Kemajuan Jepang dalam politik dan ekonomi serta keberhasilan negeri Matahari ini menguasai China tahun 1895 dan menghancurkan Rusia tahun 1905 cukup mengkhawatirkan AS. Di lain pihak di Eropa terjadi pecah kongsi antara Rusia dan Inggris karena rebutan Afghanistan. Sedangkan Jerman dan Perancis konflik gara-gara masalah tanah jajahan di Afrika.
Bagaimana dengan Indonesia? Sama juga pada periode konsolidasi ini para tokohnya sudah terbentuk imajinatif kolektif mengenai negara Indonesia yang merdeka, hanya saja belum ketemu jalan untuk memproklamirkannya. Gerakan-gerakan organisatoris bersifat politis mulai dilakukan; HOS Cokroaminoto, Salim, Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Syahrir dkk membentuk konsep-konsep kebangsaan modern. Masalahnya karena faktor hegemoni negara imperialis kapitalis masih begitu kuat sehingga sulit mewujudkan kemerdekaan.
Konflik antar berbagai negara imperialis berpuncak pada PD II tahun 1939. Posisi Indonesia menjadi penting karena persoalan pangkalan meliter dalam mempertahankan kepentingan geo-politik dan geo-strategi masing-masing pihak. Misalnya konflik sengit AS dan Jepang memperebutkan pulau Sabang sebagai Pelabuhan yang strategis untuk hegemoni wilayah lautan Hindia, dan daerah Morotai untuk wilayah lautan Pasifik. Kasus ini harus diperhitungkan akar historis pertarungan untuk melihat gejolak yang terjadi di kedua daerah tersebut pada penghujung abad ke-21 sekarang.
Situasi dan kondisi (perang di Asia-Pasifik) dengan baik dimanfaatkan Soekarno, dkk “mencuri moment” sehingga melahirkan proklamasi. Caranya Soekarno cs berhasil berperan dengan baik mempermainkan kelompok negara-negara imperialis yang sedang terlibat dalam pertarungan “bermain mata” dengan Jepang yang mengalami kekalahan dari Blok Sekutu.
Lazim di kalangan negara-negara penjajah, mereka yang kalah perang harus menyerahkan negara jajahannya. Misalnya Philipina harus diserahkan kepada AS, yang berhasil mengalahkan Spanyol. Begitu juga Indonesia, seharusnya berada di bawah AS dan Inggris yang berhasil mengalahkan Jepang.
Kenyataannya kerena “kelicikan” Jepang dan kemahiran akrobatik politik Soekarno, dkk akhirnya lahir proklamasi NKRI tahun 1945. Dalam konteks ini jelas kemerdekaan Indonesia terjadi karena dampak situasi global dunia international (Hasyim Wahid, 1999; 13). Semua intrik antara kelompok nasionalis dan peran internasional periode ini dapat dilacak pada karya G. Mc. T. Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia” dan buku Ben Anderson “ Revolusi Pemuda”.
Dalam konteks inilah dapat dipahami perlawanan umat Islam dipelopori Ulama dan santri mempertahankan kemerdekaan NKRI karen ada upaya Inggris dan AS dipimpin Jend Mallaby membonceng tentara Belanda untuk menguasai kembali Indonesia. Dalihnya melucuti tentara Jepang yang kalah perang.
Mengapa justru yang melakukan perlawanan dipelopori para ulama dan santri dicerminkan dari Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 dikeluarkan Ulama NU atas permintaan Presiden RI Soekarno dan Hatta untuk perang suci karena tentara tak merespons secara serius kedatangan tentara Sekutu. Seruan jihad ini menggema di seluruh pulau Jawa dan puncaknya terjadi pada peristiwa 10 November 1945.
Pola ini sekarang terulang kembali meskipun dengan cara dan format yang berbeda. Awalnya negara imperialis melakukan penyerbuan fisik, kini upaya itu dilakukan melalui infiltrasi modal asing dan penguasaan asset industry oleh beberapa perusahaan keuangan AS dan Inggris. Semua ini dilakukan negara-negara imperialis kapitalis sebagai pengulangan penyerbuan yang beralih bentuk atas negara-negara berkembang sebagai upaya melestarikan hegemoni dan kekuasaannya.
Dalam kaitan ini kayaknya para agamawan Islam di Indonesia tak memahami hal ini sehingga tak siap secara struktural maupun konsepsional untuk menangkal penyerbuan dengan modus seperti ini.