Indonesia dalam Belitan Kapitalisme Global

Assoc. Prof. Dr. H. Saidun Derani, MA. (ist)

Penulis: Assoc Prof Dr Saidun Derani MA

TRASBERITA.COM — Kata “belitan” semakna dengan kata melilit seperti lingkaran tali pada kumparan benang.

Bacaan Lainnya

Bisa diartikan dengan makna kusut atau rumit sekali (KBBI).

Dengan demikian tulisan ini ingin menyampaikan bahwa perjalanan kebangsaan NKRI sejak pra dan pasca kemerdekaan selalu dalam belitan dan cenkraman kapitalisme global.

Demikianlah gambaran perjalanan nasionalism kebangsaan NKRI sampai zaman reformasi pada awala abad ke-21 ini.

Di bawah ini akan diuraikan kisah kapitalism global yang sampai sekarang tak mau melepaskan belitannya dari tubuh NKRI.

Kisah ini bersumber buku yang ditulis Gus Hasyim Wahid bin KH Abdul Wahid Hasyim bin KH Muhammad Hasyim Asy’ari dengan judul “Telikungan Kapitalisme Global Dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia” terbitan LKiS1999, Yogyakarta, membuka perspektif baru dalam memahami perjalanan nasionalisme Indonesia.

Karya adik kandung Gus Dur ini ditulis satu tahun pasca kejatuhan Rezim Soeharto pada Mei 1998.

Kata “telikung” bermakna mengikat kedua kaki dan tangan dan bisa juga diartikan dengan membatasi gerak langkah untuk melakukan sesuatu (KBBI).

Dengan demikian maka hakikat makna kata telikung adalah mengikat anggota tubuh seseorang sehingga sangat terbatas geraknya dan bukan tak mungkin tak bisa bergerak.

Jadilah kedua makna di atas, baik kata belitan dan telikung, saling berkelindan yang mengandung arti negative untuk sebuah bangsa ingin terbang bebas menjadi bangsa yang berdaulat dan merdeka dalam arti sesungguhnya.

Menurut Hasyim Wahid kata kuncinya bahwa keberadaan negara bangsa Indonesia (nation state) tidak bisa lepas dari konstalasi global international.

Malahan dapat dikatakan sejarah Indonesia merupakan perpanjangan tangan pertarungan kepentingan sosial, politik, ekonomi dan wacana yang sedang berkembang (bermain) di dunia ternasional.

Beliau menyebutkan sebagai contoh nama Indonesia saja hasil temuan linguistik-filologis Jerman A Bastian.

Sebab kata Wahid, setiap upaya untuk mendianogsa dan menterapi atas berbagai persoalan yang terjadi di Indonesia tanpa melihat keterkaitan dengan konstalasi global akan menemui kegagalan.

A. Era Kebangkitan Nation State

Pra kemerdekaan penjajah asing mulai masuk Indonesia tahun 1596. Ini merupakan babak awal tertanamnya pengaruh Barat di bumi Indonesia.

Berdirinya VOC 20 Mei 1602 M di Amsterdam menandakan jatuhnya Nusantara pada Belanda secara ekonomis dan politis.

Era penjajahan negara-negara kapitalis Barat menanamkan pengetuhnya sekaligus mengendalikan kehidupan masyarakat Hindia Belanda sebagai cikal bakal nation state Indonesia.

Sampai akhir abad ke-19 tak ada peristiwa monumental yang dapat memengaruhi kehidupan sosial politik masyarakat Hindia Belanda walau pun terjadi berbagai gerakan perlawanan dan pemberontakan dengn intensitas yang berbeda-beda.

Dan baru dekade akhir abad ke-19 terjadi perubahan yang berarti dalam kehidupan masyarakat Hindia Belanda sebagai dampak dari adanya perubahan yang mendasar di kalangan berbagai negara bangsa Barat di Eropa, yang disebut dengan era “kebangkitan Nation State”

Era kebangkitan nation state ini dimulai Ernast Renan, pemikir Perancis tahun 1890, yang melemparkan idenya ke publik dalam kajian politik untuk menemukan konsep nasionalism berjudul “What is a Nation”.

Karya ini memberikan pengaruh yang cukup besar di Eropa. Dengan konsepsi Renan ini lahir berbagai negara-bangsa di Eropa.

Terjadinya perubahan di negara-negara Eropa ini berdampak pula kepada negara-negara jajahan termasuk di masyarakat Hindia Belanda.

Pada waktu bersamaan pemerintah kolonial Hindia Belanda menerapkan Politik Etis atas tanah jajahannya.

Sejarah mencatat menjelang paruh kedua abad ke-19 terjadi persaingan yang menghebat antar berbagai kekuatan Eropa di Asia Tenggara.

Inggris memperkuat kekuasaannya di Singapura, Semenanjung Malaya dan Birma, Perancis mendominasi di Laos dan Kamboja menyebabkan Thailand menjadi satu-satunya negara penyangga dan negara merdeka di Asteng.

Perang Spanyol dan Amerika tahun 1898 memerdekan bangsa Philipina dan jatuh ke tangan AS.

Jadilah Asteng mengalami penataan baru ketika terjadi perluasan kawasan pengaruh berbagai kekuatan dunia (Akira Nagazumi, 1989: 26).

Kejadian di Eropa ini dan perubahan kawasan Asia Tenggara ikut berdampak terhadap politik kolonial Belanda atas Hindia Belanda.

Ini terlihat secara monumental kebijakan Politik Etis atas usul pengacara dan mantan pejabat peradilan kolonial yang menjadi anggota parlemen Belanda bernama C. Th. Van Deventer.

Pada tahun 1899 dia menulis “Utang Budi” yang menyebutkan bahwa bangsa Belanda berutang kepada Hindia Belanda dari keuntungan yang diperolehnya selama dasawarsa yang lalu.

Atas dasar ini, pidato Ratu Wilhelmina tahun 1901menetapkan bermulanya zaman baru dalam politik kolonial dikenal “Politik Etis”.

Dampak kebijakan ini yang paling nyata adalah terbukanya kesempatan makin luas di kalangan pribumi mendapat pendidikan modern ala Barat yang semula hanya diisi golongan priyayi.

Karena kebutuhan tenaga birokrasi yang meningkat disebabkan perubahan peraturan pemerintah mengenai jabatan birokrasi (Burger, 1956), mendorong banyak anak priyayi rendah bahkan anak orang biasa masuk Pendidikan Barat.

Kondisi dan situasi ini melahirkan perubahan struktur sosial masyarakat Hindia Belanda.

Tadinya struktur sosial masyarakat Hindia Belanda (khususnya Jawa) hanya golongan priyayi kraton dan rakyat jelata (Moertono, 1968).

Lalu berubah karena adanya kelompok profesional baru (para birokrat) secara sosial disebut priyayi.

Dengan masuknya pemerintah kolonial priyayi kraton tergeser kedudukan privasinya yang tinggi.

Untuk mempertahankan kedudukannya di hadapan rakyat jelata dan masyarakat inilah priyayi kraton tak segan-segan menjadi alat pemerintah kolonial.

Konflik ini terlihat pada Budi Utomo (BO) berdiri tahun 1908, di mana golongan priyayi (Jawa) konservatif yang ingin tetap mempertahankan posisi di masyarakat maupun dalam jabatan pemerintahan dengan golonga priyayi muda yang lebih berorientasi Barat lebih modern, liberal dan terbuka (Robert v an Niel, 1984: 88).

Kelompok muda ini dipimpin dr. Sutomo, dr. Gunawan Mangunkusumo, dr. Rajiman berhasil menggusur kelompok konservatif dalam tubuh BO.

Mereka inilah yang berhasil mengkomunikasikan pemikiran Barat mengenai nasionalisme.

Ormas BO menunjukkan pengaruh usaha-usaha Barat untuk mengubah kehidupan sosial dan ekonomi Hindia Belanda dengan berfikir dan bertindak secara Barat modern (van Niel, 1984: 88).

Demikianlah ada 2 faktor pendorong tumbuhnya semangat nasionalism berhasil memengaruhi wacana masyarakat Hidia Belanda.

Pertama, pemikiran Barat yang dibawa kelompok kaum muda yang mendapat pendidikan modern ala Barat.

Kedua, perubahan-perubahan yang terjadi di negara Barat akibat munculnya negara bangsa.

Dampak lain dari kondisi politik international itu mendorong berdirilah ormas-ormas kepemudaan dan kemasyarakatan di Hindia Belanda walaupun semangat nasionalismnya bersifat atomis karena faktor keterbatasan jangkauan dan interaksi yang dapat diketahui dari bentuk dan corak organisasinya hanya bersifat etnis dan lokal. Jadi belum tumbuh luas semangat persatuan dan kesatuan dalam jiwa nasionalism kaum muda dan masyarakat Hindia Belanda.

Kesimpulannya bahwa pada era nation-state yang berkembang di Eropa dan didukung kebijakan Politik Etis pemerintah Kolonial Belanda terhadap masyarakat Hindia Belanda adalah lahirnya ormas-ormas yang bersifat lokal (island people) dan sektarian seperti Jong Java, Jong Sumatera, Jong Betawi, Jong Islamenten Bond, Jong Celebes, SDI, SI, Muhammadiyah, NU, PUI, Persis, dll.

Tahun 1917 muncul Blok Fakta Warsawa dari negara-negara komunis sebagai dampak dari Revolusi Bolsvik yang dikomando Lenin melahirkan ideologi komunism yang kemudian berkembang dengan berbagai variannya, termasuk di Indonesia. Revolusi ini juga yang mengilhami bangkitnya Gerakan komunis di Indonesia melakukan pemberontakan tahun 1926.

Dampak PD I

Konflik di negara-negara Barat mencapai puncaknya terjadi PD I tahun 1918. Rusia, Jerman, Perancis, dan Inggris terlibat dalam konflik ini.

Peristiwa ini memberi dampak kepada derah jajahan di Asia, seperti India, Turki, Jepang, termasuk di Hindia Belanda sehingga melahirkan gelombang Revolusi Asia (Gedenboek 1908-1923, Indonesia Vereeniging; 53). Perlawanan rakyat India terhadap Inggris bagi bangsa Indonesia mendorong semangat nasionalism dalam suatu jalinan yang utuh.

Dampak PD I dan Revolusi Asia atas bangsa Hindia Belanda tercermin dari berita koran Indonesische Vereeniging yang menyebutkan bahwa api kebangkitan Asia sudah terus menyala dan masih terus berkobar di seluruh daerah Hindia Belanda.

Bangun bangsa Hindia Belanda dan ini harus diinsyafkan para pemuda Indonesia. Bahwa cita-cita mulia dapat dicapai

jika ada persatuan yang teguh bersendi pada kemauan dan kekuatan bangsa.

Dua hal di ats, proses komunikasi yang cukup lama dan dukungan kondisi politik dunia akibat PD I akhirnya bangsa Indonesia berhasil mengkonstruksikan paham kebangsaan secara utuh dan terpadu pada peristiwa Sumpah Pemuda tahun 1928, yang berujung pada melahirkan wacana negara-bangsa Indonesia.

Ini menjelaskan bahwa bangsa Indonesia tertinggal puluhan tahun dari bangsa-bangsa Barat Eropa mengenai paham negara bangsa.

Demikianlah, kata Hasyim Wahid bahwa kondisi sosial politik dunia pasca PD I telah memberi dampak yang cukup berarti pada bangsa Indonesia mengenai konsep negara bangsa dan kesadaran nasionalisme (Hasyim Wahid, 1999: 9).

Era Konsolidasi Kapitalisme

Pasca PD I karena biaya perang yang cukup tinggi banyak negara kapitalis-imperialis mengalami kebangkrutan yang berujung pada resesi ekonomi dunia (malaise) pada awal tahun 1930-an.

Meresponi masalah ini negara-negara kapitalis-imperislis melakukan konsolidasi membentuk blok-blok; imperislis-komunis (Sovyet), imperiaslis kapitalis (AS dan Inggris), imperialis-rasis (Jerman), imperialis totaliter (Jepang). Bidang ekonomi dilakukan restrukturisasi pada sektor moneter dan riil.

Bidang sosial mulai dilakukan proses rekayasa sosial (social engineering) melalui penyusunan beberapa konsep dan teori sosial.

Yang terkenal adalah Teori Strukturalism Fungsional dari sosisolog AS, Talcott Parsons, yang mulai dibangun tahun 1937 diketahui dari artikelnya The Structure of Social Action, dan dikembang lebih jauh bersama Edward Shils dalam buku Toward a General Theory of Action; tahun 1951.

Pada Era ini terjadi polarisasi negara-negara imperialis; imperialis kapitalis dan komunis membentuk blok/Sekutu Allies (AS, Inggris, Uni Sovyet dll) Vs Imperialis rasis dan totaliter membentuk blok Axis (Jerman, Jepang, Italy dan Spanyol).

Sebenarnya peristiwa polarisasi ini kelanjutan konflik yang terjadi pada akhir abad ke-19.

Kemajuan Jepang dalam politik dan ekonomi serta keberhasilan negeri Matahari ini menguasai China tahun 1895 dan menghancurkan Rusia tahun 1905 cukup mengkhawatirkan AS. Di lain pihak di Eropa terjadi pecah kongsi antara Rusia dan Inggris karena rebutan Afghanistan.

Sedangkan Jerman dan Perancis konflik gara-gara masalah tanah jajahan di Afrika.

Bagaimana dengan Indonesia? Sama juga pada periode konsolidasi ini para tokohnya sudah terbentuk imajinatif kolektif mengenai negara Indonesia yang merdeka, hanya saja belum ketemu jalan untuk memproklamirkannya.

Gerakan-gerakan organisatoris bersifat politis mulai dilakukan; HOS Cokroaminoto, Salim, Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Syahrir dkk membentuk konsep-konsep kebangsaan modern. Masalahnya karena faktor hegemoni negara imperialis kapitalis masih begitu kuat sehingga sulit mewujudkan kemerdekaan.

Konflik antar berbagai negara imperialis berpuncak pada PD II tahun 1939.

Posisi Indonesia menjadi penting karena persoalan pangkalan meliter dalam mempertahankan kepentingan geo-politik dan geo-strategi masing-masing pihak.

Misalnya konflik sengit AS dan Jepang memperebutkan pulau Sabang sebagai Pelabuhan yang strategis untuk hegemoni wilayah lautan Hindia, dan daerah Morotai untuk wilayah lautan Pasifik.

Kasus ini harus diperhitungkan akar historis pertarungan untuk melihat gejolak yang terjadi di kedua daerah tersebut pada penghujung abad ke-21 sekarang.

Situasi dan kondisi (perang di Asia-Pasifik) dengan baik dimanfaatkan Soekarno, dkk “mencuri moment” sehingga melahirkan proklamasi.

Caranya Soekarno cs berhasil berperan dengan baik mempermainkan kelompok negara-negara imperialis yang sedang terlibat dalam pertarungan “bermain mata” dengan Jepang yang mengalami kekalahan dari Blok Sekutu.

Lazim di kalangan negara-negara penjajah, mereka yang kalah perang harus menyerahkan negara jajahannya.

Misalnya Philipina harus diserahkan kepada AS, yang berhasil mengalahkan Spanyol.

Begitu juga Indonesia, seharusnya berada di bawah AS dan Inggris yang berhasil mengalahkan Jepang.

Kenyataannya kerena “kelicikan” Jepang dan kemahiran akrobatik politik Soekarno, dkk akhirnya lahir proklamasi NKRI tahun 1945.

Dalam konteks ini jelas kemerdekaan Indonesia terjadi karena dampak situasi global dunia international (Hasyim Wahid, 1999; 13).

Semua intrik antara kelompok nasionalis dan peran internasional periode ini dapat dilacak pada karya G. Mc. T. Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia” dan buku Ben Anderson “ Revolusi Pemuda”.

Dalam konteks inilah dapat dipahami perlawanan umat Islam dipelopori Ulama dan santri mempertahankan kemerdekaan NKRI karen ada upaya Inggris dan AS dipimpin Jend Mallaby membonceng tentara Belanda untuk menguasai kembali Indonesia.

Dalihnya melucuti tentara Jepang yang kalah perang.

Mengapa justru yang melakukan perlawanan dipelopori para ulama dan santri dicerminkan dari Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 dikeluarkan Ulama NU atas permintaan Presiden RI Soekarno dan Hatta untuk perang suci karena tentara tak merespons secara serius kedatangan tentara Sekutu.

Seruan jihad ini menggema di seluruh pulau Jawa dan puncaknya terjadi pada peristiwa 10 November 1945.

Pola ini sekarang terulang kembali meskipun dengan cara dan format yang berbeda.

Awalnya negara imperialis melakukan penyerbuan fisik, kini upaya itu dilakukan melalui infiltrasi modal asing dan penguasaan asset industry oleh beberapa perusahaan keuangan AS dan Inggris.

Semua ini dilakukan negara-negara imperialis kapitalis sebagai pengulangan penyerbuan yang beralih bentuk atas negara-negara berkembang sebagai upaya melestarikan hegemoni dan kekuasaannya.

Dalam kaitan ini kayaknya para agamawan Islam di Indonesia tak memahami hal ini sehingga tak siap secara struktural maupun konsepsional untuk menangkal penyerbuan dengan modus seperti ini.

B. Masa Awal Kemerdekaan
Intrik Negara-negara Kapitalis-Imperialis

Pasca PD II terjadi perubahan mendasar dalam bidang sosial, ekonomi dan politik.

Banyak negara jajahan menuntut kemerdekan baik cara fisik maupun diplomatik.

Melihat situasi ini negara-negara kapitalis-imperialis meresponsnya dengan mengadakan pertemuan tahun 1944 di Bretton Woods AS merumuskan strategi baru menghadapi negara-negara yang baru dan akan merdeka .

Penguasaan secara fisik negara-negara yang baru dan akan merdeka kecil kemungkinan dilakukan karena kondisi dan situasi sudah berubah.

Hasilnya di bidang ekonomi membentuk World Bank dan IBRD beroperasi tahun 1946.

Lembaga ini memberi pinjaman kepada negara-negara baru merdeka atau hancur akibat PD II dengan syarat model pembangunan tertentu, kedua mendirikan IMF beroperasia tahun 1947 tupoksinya memberi pinjaman yang kesulitan dalam neraca pembayaran luar negeri dan memasukkan disipilin financial tertentu, ketiga mendirikan GATT beroperasi tahun 1947 berfungsi mengatur dan memajukan perdagangan dunia agar sesuai dengan kepentingan negara kapitalis.

Di Eropa merestrukrisasi pasca PD II dikenal dengan Marshall Plan dengan tupoksi yang sama.

Lembaga-lembaga ini secara ekonomis mengendalikan negara-negara yang baru merdeka.

Di bidang politik mendirikan PBB tahun 1945 dan melahirkan declaration of human rights.

Pada sisi lain blok negara-negara komunis membentuk fakta kerja sama di bawah payung CAMECON.

Hasil keputusan di atas memberi dampak yang sangat luas bagi perkembangan dunia international dan menjadi titik akhir penjajahan fisik.lPengaruh negara-negara kapitalis imperialis berubah melalui pengendalian di bidang ekonomi dan politik, selain faktor “cuci tangan” atas kejahatan mereka selama melakukan penjajahan.

Pertarungan menanamkan pengaruh terhadap negara-negara bekas jajahan antara Blok Barat (AS bosnya) dan Blok Timur Komunis (Sovyet bosnya) semakin tajam pada pase perang dingin.

Misalnya ketika Blok Komunis berhasil menanamkan pengaruhnya di Asteng (Vietnam, Korea, dan Kamboja) maka Blok Barat segera melakukan langkah-langkah politik untjuk membendungnya.

Sebab itu tahun 1948 Presiden AS Truman meminta advice para pakar dan intelektual terkemuka AS bertemu di MIT membahsa strtategi membendung komunism.

Hasilnya melahirkan ideologi developmentalism sebagai sebuah kewajiban yang harus disebarluaskan di negara-negara yang baru merdeka (dikenal dengan istilah negara dunia ketiga).

Jelas ide ini untuk menangkal paham komunis selain bentuk baru dari kapitalisme-modernism-imperialism dan propaganda politis (Mansour Faqih, 1996).

Dapat dilihat peta di atas ada beberapa kekuatan yang sedang bermain dalam percaturan politik di Indonesia.

Bidang ideologi ada 2 kekuatan besar yaitu Blok Komunis dan Blok Kapitalis ujungnya melahirkan perang dingin. Bidang ekonomi ada tiga blok negara yang bermain, yaitu Fakta Warsawa (komunis), kedua, blok Kapitalis NATO, dan ketiga, negara ex-Axis (Jepang).

Pergeseran geo-politik di Eropa menyebabkan kapitalisme berubah menjadi Sosial Demokrat (Jerman) melahirkan konsep welfare state dengan system ekonomi bertumpu pada pola socialmarkt wirstchaft (pasar yang masih mengakomodasi etika), yang sekarang tergabung dalam blok mata uang Euro.

Penerapan developmentalisme sebagai kebijakan di negara-negara berkembang menyebabkan perusahaan-perusahaan besar negara kapitalis bebas beroperasi sehingga muncul MNC (multinational corporation) dan TNC (transnational corporation) yang pusat pengendaliannya di negara-negara kapitalis.

Dengan kata lain, terjadi di negara-negara berkembang termasuk Indonesia eksploitasi SDA dengan gaya baru.

Semua ini dapat dibaca dalam buku Anthony Sampson “The Seven Sisters”
Contohnya adalah perusahaan minyak AS (Standard Oil) berubah menjadi EXXON melakukan ekspansi ke seluruh dunia termasuk di Indonesia melalui anak perusahaannya CALTEX, di Saudi Arabia ARAMCO.

Dampak negative penerapan developmentalism di negara-negara berkembang dijelaskan Bjonn Hattne “Ironi Pembangunan di Negara Berkembang”.

Dampak Perang Dingin
Jadi apa yang terjadi di dunia international segera saja memberi pengaruh terhadap konstalasi sosial politik di Indonesia.

Mengapa demikian karena posisi Indonesia memiliki arti strategis secara geografis dan ekonomis (SDA).

Periode ini Indonesia menjadi ajang pertarungan kepentingan negara-negara yang sedang berkonflik, baik ideologis, politis dan ekonomis.

Amerika mengambil inisiatif lebih intens menanamkan pengaruhnya di Indonesia dengan baragam cara, terutama bantuan ekonomi selain alasannya untuk membendung pengaruh komunis (Tribuna Said, Indonesia dalam Politik Global Amerika, 1983).

AS juga mengganggu pemerintahan Soekarno karena dianggap tak “CS” dengan negara-negara kapitalis Barat. Lihat laporan Truman 30 Desember 1949 dengan Kode NCS 48/2 “Posisi Amerika terhadap Asia”, diperkuat pernyataan Menlu AS Dean Acheson tentang komitmen AS berhubung adanya ancaman komuis international terhadap NKRI dan pentingnya Indonesia bagi AS.

Langkah yang diambil AS adalah meningkatkan pembangunan meliter di negara-negara non-komunis dan meningkatkan operasi rahasia CIA seperti di Philipina, Indochina dan Indonesia (Tribuana Said, 76).

Dalam konteks ini AS membiayai pemberontakan yang menuntut berdirinya negara federal di Indonesia. Informasi keterlibatan AS dalam pemberontakan di Indonesia lihat G. Mc. T. Kahin “Sub-version as a Foreign Policy, 1996” terlihat jelas peran kakak adik John Foster Dulles dan Allan Dulles sebagai Menlu AS dan Direkrur CIA.

Bukti kuat pengaruh pertarungan kepentingan negara-negara luar atas Indonesia pada era ini adalah:

Pertama, perdebatan yang alot bentuk negara kesatuan atau federal,

Kedua, alotnya perjanjian-perjanjian yang berlangsung antara Indonesia dan Belanda (wakil negara kapitalis) terutyama masalah Irian Barat yang sampai sekarng masih diawetkan negara-negara Barat Kapitalis terutama AS dan sekutunya.

Ketiga, melakukan destabilitasasi di Indonesia melalui berbagai macam pemberontakan, misalnya lahir Gerakan saparatis dimulai tahun 1950 sd 1958 (Mulai dari Gerakan negara Pasundan sampai PRRI/Permesta)

Perlawanan Soekarno

Kondisi dan situasi ini disadari betul RI I Soekarno dengan menetapkan konsistensinya tak memihak salah pihak apakah itu blok komunis atau blok kapitalis Barat.

Beliau melakukan manover politik untuk membuat keseimbangan; mengadakan Konferensi Asia -Afrika tahun 1955, kedua, membuat poros Jakarta-Peking tahun 1962, ketiga, ke luar dari PBB.

Menurut Hasyim Wahid, bisalah dipahami mengapa Soekarno tak membubarkan PKI sejak kasus Madiun 1948 walaupun ada yang mengusulkan dibubarkan dengan tujuan mengeleminir pengaruh capitalism international.

Soekarno melawan masalah ini dengan merangkul 3 kekuatan: PNI, NU dan PKI.

Icon yang digaungkannya adalah dengan semboyan “Nasionalism dengan semangat Revolusioner”.

Melihat kegigihan perlawanan ini semakin mendorong negara-negara kapitalis-imperialis menyerang Soekarno.

Beberapa skenario sosial dan proyek rekayasa sosial (social engeneering) di Indonesia oleh blok Barat mengalami kegagalan.

Sedangkan Soekarno melakukan aliansi dengan Blok COMECON; mendirikan pabrik baja Krakatau Steel, pengadaan alutsista berupa kapal selam, pesawat tempur MIG dan senjata AK, yang semuanya buatan Sovyet.

Maka Blok Barat mencari jalan kerja sama dengan kekuatan meliter (TNI AD) dan beberapa kelompok intelektual modernis menghancurkan Soekarno, selain mengunakan teori domino.

Melalui rekayasa politik yang maha canggih menurut Hasyim Wahid tahun 1965 terjadi “Drama Politik” menjatuhkan Soekarno pasca PKI dihancurkan.

Celakannya penghancuran kekuatan PKI ini menggunakan tangan NU.

Karena kanaifan dan kebodohannya (ini bahasa Hasyim Wahid; 24), NU melakukan semua itu dengan segala kebanggaan dan ketulusan.

Meninggalnya tokoh muda NU, Subhan ZE, dalam kecelakaan mobil yang mulai curiga adanya keterlibatan AS dalam pendirian Orba menimbulkan pertanyaan.

Apakah peristiwa ini dapat digolongkan sebagai “kecelakaan yang terukur pada saat yang sempurna”.

Singkat kisahnya bahwa semua ini menandakan kemenangan kelompok kapitalis-modernis di Indonesia melalui bangkitnya pemerinthan Orba di bawah rezim Soeharto.

Terlihat jelas dari uraian di atas pertarungan politik yang terjadi pada era Soekarno tidak semata karena perbedaan kepentingan dari berbagai kelompok internal bangsa.

Akan tetapi yang perlu juga dipahami, konflik-konflik tersebut pada hakikatnya adalah perpanjangan tangan dari berbagai kepentingan ekonomi-politik masyarakat international.

C. Era Orde Baru Memperkokoh Pengaruh

Sebenarnya bahwa pemerintah Orba adalah agen kepentingan kapitalis international modern dipimpin AS. Strategi pembangunan sosial, politik dan ekonomi Indonesia di bawah payung ideologi developmentalism dimulai tahun 1968 diperkuat UU No.2/1968 tentang penanaman modal asing. Dipakailah konsepsi W.W. Rostow (pesanan negara donor) Stages of Growth; Five Stages Scheme.

Iconnya Orba adalah ekonomi sebagai panglima.

Yang dimaksud ekonomi adalah konsep pembangunan yang berideologi developmentalism yang kebijakannya mengamankan pertumbuhakan ekonomi walaupun harus mengorbankan kepentingan bangs dan mengabaikan Amanah rakyat sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 dan semangat Pancasila (detail masalah ini lihat Mochtar Mas’oed, Richard Robinson, Dwight Y King dll).

Kebijakan ini berhasil dijalankan karena dibantu para intelektual dan ekonom yang telah dididik di AS tergabung dalam Mafia Berkeley.

Untuk menjalankna kebijakan sosial ekonomi dibentuk sebuah Dewan Penasehat Ekonomi (Economic Advisory Group) terdiri dari Consultan Warburg & Co, Lehman Brothers, dan Lazard Freres. Mereka inilah yang menyiapkan pembiayaan-antara (bridging-finance) bagi pemerintah Orba sembari menunggu lahirnya IGGI (Inter Governmental Group on Indonesia) sampai pemerintahan transisi BJ. Habibie.

Bidang sosial diterapkan konsep Talcott Parson strukturalisme fungsional sebuah upaya mengubah masyarakat Indonesia menjadi modern.

Semua infrastruktur sosial harus diubah dengan bentuk dan struktur formal lebih efisien dan professional.

Akibatnya kekuatan lain yang dianggap tak sesuai dengan kaidah modernitas harus disingkirkan atau diubah menjadi modern.

Dalam konteks ini terjadilah penyingkiran besar-besaran tehadap kekuatan tradisional di antaranya adalah NU dan umumnya yang bersifat agama (Islam) dan PNI (nasionalis).

Yang naik dan bermain dipentas nasional adalah ABRI, PSI/Katholik/Kristen sedangkan berbau agama (Islam) dan PNI (kelompok Soekarno) digusur dari panggung politik.

Jadi developmentalism ini lebih kepada gaya hidup (life style), bukan cara pandang, pola pikir dan bukan sebuah paradigma.

Partai-partai pada tahun 1971 mulai dikontrol dengan berbagai fusi. Semua ini dilakukan untuk kepentingan negara-negara kapitalis Barat.

Ketika Jepang dianggap mendominasi modalnya di Indonesia maka dilakukan makar misalnya peristiwa Malari tahun 1974, yang dapat diketahui dari beberapa tokoh mahasiswa pelakunya dapat beasiswa di berbagai universitas terkemuka di AS pasca menjalani hukuman.

Pada 5 Januari 1975 misalnya Presiden AS Gerald Ford dan Menlu AS Henry Kissinger meninggalkan Indonesia.

Sabtu pagi, 6 Januari 1975 Timor Leste atas restu dan permintaan AS untuk alasan membendung pengaruh komunis dianeksasi Indonesia karena memandang Timor Leste s salah satu pintu masuknya komunism.

Kalau masa Soekarno sangat bergantung kepada COMECON untuk pasokan alutsista, periode Soeharto alutsistanya kepada NATO. MIG diganti dengan F-5 dan F-16 produk AS.

Senjata infanteri AK diganti dengan M-16 dan FN, buatan AS dan Belgia. Pabrik baja Kiev diganti dengan pabrik baja FERRO-STAAAHL dari Jerman, yang operasinya di Indonesia dikendalikan dari sebuah kantor bernama FERROSTA GRAHA Jl. Warung Buncit Jakarta Selatan di bawah pimpinan adik Presiden Habibie.

Data ini dapat dibaca karya Vandana Shiva “Bebas dari Pembangunan”.
Shiva menarasinya dengan kata-kata:

“pembanguna tak lain adalah sebuah proyek besar pasca zaman penjajahan bangsa asing dari negeri-negeri Utara atas bangsa-bangsa di negeri Selatan. Proyek ini ditawarkan sebagai sebuah model yang berlaku universal.; bahwa kemajuan gaya Barat dapat pula dicapai di semua bidang negara-negara berkembang cukup dengan mengembangkan kaidah-kaidah ekonomi yang dikembangkan di Barat”
Semua ini dilakukan Blok Barat untuk 2 kepentingan, yaitu:”

Berakhirnya Perang Dingin

Tahun1989 negara Uni Soyet komunis runtuh penanda berakhirnya perang dingin.

Dengan demikian AS tak perlu lagi ada buffer (tameng), yang berdampak besar terhadap negara dunia ketiga, khususnya yang memiliki hubungan dengan Amerika termasuk Indonesia di bawah Orba.

Dalam konteks inilah mengapa Orba menjadi rapuh dan kropos sendi-sendi pemerintahaannya.

Dengan demikian kepentingan Blok Barat di Indonesa hanya kepentingan ekonomis semata. Jika tak menjalankan ekonomi pasar maka negara itu harus disingkirkan.

Kedua selama 32 tahun timbul satu segmen masyarakat yang memiliki harapan-harapan berlebihan (rising expectations) atas kehidupan material yang bercorak konsumtif (gaya hidup) yang gagal dipenuhi pemerintah Orba.

Dua hal inilah menjadi pemicu proses gejolak sosial politik di Indonesia yang berujung pada lengsernya Soeharto, secara euphoria digembar-gemborkan sebagai reformasi.

Jadi lahirnya reformasi bukan semata perjuangan rakyat Indonesia akan tetapi ada tangan-tangan gaib yang ikut bermain sehingga kekuatan sosial politik Soeharto yang begitu kuat dan mengakar runtuh hanya dalam waktu 3 bulan.

Tangan-tangan gaib dimaksud adalah kekuatan kapitalism global international (lihat Francis Fukuyama; The End of History dan Kenichi Ohmae “Borderless Capital” memprediksi akan terjadi Nation of Corportion (bangsa perusahaan) dan State of Markets (negara pasar).

Menggusur Orde Baru

Strategi Mempertahankan Kepentingan
Karena Indonesia tak dibutuhkan lagi negara-negara Blok Barat kapitalis sebagai negara “Buffer” atau negara tameng maka dibuatlah proyek sosial baru untuk kepentingannya.

Caranya dengan menghancurkan struktur dan fondasi ekonomi Indonesia.

Pertama, Indondesia harus melakukan liberalisasi ekonomi sektor perbankan tahun 1988 dengan lahirnya puluhan bank swasta.

Tahun 1992 pengusaha swasta melakukan pinjaman devisa besar-besaran menggunakan bank swasta sebagai kendaraan.

Akibat semua ini tahun 1997 terjadi gejolak moneter yang dahsyat karena pengusaha tak mampu mengembalikan utangnya yang berdampak merosostnya nilai rupiah.

Dalam konteks ini Managing Director IMF Michael Camdessus, “memaksa” Soeharto menandatangani letter of intent terkait restrukturisasi perekonomian Indonesia.

Hal ini disambut sorak sorai para birokrat moneter dan para pakar ekonomi Indonesia yang berideologi developmentalism modernism.

Senada tetapi lain iramanya sama persis kasus sejarah ketika priyayi birokrat berpayung kapital Belanda antusias menyambut runtuhnya priyayi kraton peridoe awal bangsa ini.

Jadi benar bahwa sejarah akan berulang kejadiannya.

Sebenarnya persoalan inilah terjadinya “Operaa Sabun Reformasi” yang menurunkan Soeharto dari tahta kekuasaannya selama 32 tahun (lihat C. Geezrt “Negara: The State and Theatre in Bali”)

Kedua, negara-negara Barat kapitalis melakukan ekspansi wacana dan rekayasa sosial. Tahun 1994 misalnya intelektual AS Samuel P. Huntington (Samuel Bahasa Bibel dan Ismail dalam Bahasa Alquran) menulis Clash of Civilizition yaitu pertarungan peradaban Barat dan Timur (Islam dan Confucian).

Dampaknya adalah salah satu muncul sentimen anti China berlebihan di kalangan masyarakat Indonesia yang memakan korban jiwa pada peristiwa kerusuhan 13-15 Mei 1988, termasuk juga kerusuhan Ambon tahun 1999. Lalu tahun 1997, 2 sosisologi Inggris, A. Gidden dan R. Dahrendorf, memunculkan dan mensosialisasikan supremasi sivil yang berujung pada hujatan yang berlebihan terhadap TNI di Indonesia.

Mengapa ini terjadi karena TNI tak dibutuhkan lagi bahkan dianggap TNI sebagai faktor penghambat. Proses ini dah mulai dilakukan sejak awal tahun 90-an dan semakin terasa tahun 1996 khusus ketika bantuan meliter ke Indonesia dihentikan AS

Dalam konteks mempertahankan pengaruh kepentingan di Indonesia kapitalisme internasional tak melakukan perubahan mendasar atas system politik dan ekonomi Indonesia sekarang ini. Supaya berjalan sesuai keinginan mereka, maka dibuat skenario yang bisa mengganti aktor-aktor yang sedang bermain (Elite Penguasa). Untuk mewujudkan keinginan itu maka negara-negara Barat mendukung pemilu di Indonesia legal dan konstitusional.

Jadi harap maklum bangsa Indonesia kenapa Barat Kapitalis antusias mendukung pemilu yang terjadi di Indonesia.

Fakta lapangan menunjukkan bahwa pemenang pemilu selama ini didominasi mereka-mereka yang mempertahankan wacana developmentalism-modernism.

Jadi sebuah kewajaran para pangamat funding-agencies dan pemantau pemilu international pagi-pagi sudah bilang pemilu Indonsia Jurdil dan Luber.

Inidikasi ini menunjukkan adanya kenyataan buatan (virtual reality) yaitu penampakan semu demokrasi di mana terdapat partai-partai perserta pemilu, panitia pemilu (KPU), pengawas dan para pemilih malahan ada demontrasi menuntut diusutnya kecurangan-kecurangan pemilu, yang semua ini hanya melegimitasi demokrasi prosedural tanpa membahas substansi kedaulatan rakyat itu.

Jadilah pemilu untuk ritual “Pemutihan” politik dan pembaharuan aktor untuk mengukuhkan kebijakan kapitalisme global di Indonesia.

Jika sudah demikian maka kekuatan kapitalism global di Indonesia tak bisa dibendung.

Langkah selanjutnya sudah tentu untuk memperkokoh posisinya. Apa langkah-langkah yang dilakukan negara-negara kapitalis Barat di Indonesia?

Pertama, mengambil alih perusahaan-perusahaan Indonesia yang bangkrut dan tak mampu membayar utang melalui system debt-to-equity swap diwakili negara Inggris dan AS.

KeTangan-tangan Gaib di Balik Pemiludua, restrukrisasi di tubuh meliter yang bukan tidak mungkin akan dapat menghilangkan jabatan Panglima TNI diganti dengan jabatan Kastaf Gabungan yang digilirkan.

Ini artinya TNI tak akan memiliki kemampuan untuk melakukan konsolidasi kekuasaan politik.

Ketiga, tetap memberlakukan system demokrasi formal prosedural, sementara pendidikan untuk membangun demokrasi yang benar tampaknya belum akan dilakukan dalam waktu dekat.

Demikianlah melihat logika perjalanan NKRI di atas, maka kalau lah partai-partai politik dan TNI tak mampu melakukan konsolidasi politik kayaknya akan sulit bagi bangsa Indonesia untuk merumuskan kebijakan pengembangan masyarakat dan ekonomi yang baik, terpadu dan berkesinambungan jangka Panjang dan menengah.

Maka sifatnya kebijakan sosial politik dan ekonomi NKTI hanya bersifat adhoc. Maka yang terjadi menjadi seterusnya seluruh aspekk kehidupan negara bangsa Indonesia akan didikte aktor-aktor kapitalism global yang bergerak di pasar modal, pasar financial, pasar komoditi dan pasar informasi/media.

Membangun Masyarakat Indonesia Baru

Karena Indonesia sudah menandatangani APEC dan masuk perdagangan WTO kayaknya agak sulit NKRI ke luar dari cengkraman kapitalism global.

Barangkali yang agak memungkinkan dilakukan adalah menerima kapitalism global secara sadar, kritis dan cerdas. Kedua, yang dilakukan adalah merumuskan kepentingan kolektif nasional dengan melihat potret besar konstalasi politik international sebagai acuan dengan tetap menjadikan kepentingan cita-cita kemerdekaan NKRI yang dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945 sebagai titik pijak.

NKRI tinggal memilih atau mengkombain beberapa model pembangunan sosio-ekonomi-politik yang now berkembang di dunia:

Bentuk welfare state ala Eropa Barat daratan

Sosialisme Pasar ala RRC fdengan pola satu negara dua sistem

Kapitalisme-industrial-progresif ala AS
Kapitaslisme Retail ala India
Tentulah semua ini dengan mempertimbangkan dan memperhitungkan keberdaan SDA dan SDM Indonesia, keadaan geografis, demografi, kultur, system nilai, kondisi sosial dan infrastruktur yang ada.
Sejak zaman “reformasi” terdapat 4 Presiden NKRI pasca BJ. Habibie (KH. Abdurrahman Wahid,

Megawati Soekarno Putri, Soesilo Bambang Yudoyono (2 periode), dan sekarng dinakhodai Ir. Joko Widodo-Drs. Yusuf Kalla (2014-20219), Ir. Joko Widodo-KH. M. Ma’ruf Amin (2019- 2024) kondisi NKRI.

Sedangkan jagad politik Indonesia seperti pernah penulis katakan di lapangan sekarang ini berjalan mesin politik oligarki.

Terlihat memang periode kedua pemerintahan Ir. Joko Widodo-KH. M. Ma’ruf Amin “kecendrungan” kerja sama ekonomi dan politik NKRI dengan Peking (RRC) ada peningkatan.

Ini indikasinya diketahui antara lain misalnya saling “pemahaman” PDI-P dan Golkar dengan Partai Komunis China. Tentu peningkatan kerja sama kedua bidang ini memiliki alasan-alasan untuk kepentingan kamajuan dan kesejahteraan NKRI.

Jadi ada semacam pengulangan politik Soekarno sebelumnya-sebagaimana telah penulis katakan di atas-dalam menghadapi negara-negara kapitalis Barat sehingga terjadi keseimbangan.

Bagimana akhir game permainan politik ini akan terlihat pada tahun 2024 nanti. (Tras)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *