Islam, Mistisisme dan Anti Kolonial

Assoc Prof Dr Saidun Derani MA. (ist)

Penulis: Assoc Prof Dr Saidun Derani MA

OPINI, TRASBERITA.COM — Tulisan kali ini kita akan mendiskusikan tentang Islam, Tasawwuf, dan Anti Kolonialisme. Topik ini perlu diketahui kaum muslim, terutama para gerasi mudanya  lebih-lebih pemuda Islam yang berstatus mahasiswa.

Bacaan Lainnya

Mengapa penting menstudinya karena ada anggapan di sebagian masyarakat Islam mendalami dan menjalani kehidupan tasawwuf abai terhadap kehidupan dunia. Padahal kenyataan   tidaklah demikian bagi seseorang yang mendalami tasawwuf akan abai terhadap kehidupan dunia.  Paparan di bawah  ini membuktikannya.

Dalam hadis Jibril, dari Umar ibnu Khattab Rasul berkata bahwa Islam terdiri dari syahadatain, solat, puasa, zakat dan melaksanakan haji jika mampu. Lalu Rasul juga menjelaskan makna iman; kepada Allah, para Malaikah, Kitab-kitab (termasuk kitab-kitab pra Alquran), para Rasul, qada dan qadar.

Dan terakhir Rasulullah menerangkan tentang makna ihsan, yaitu jika anda beribadah seakan-akan anda melihat Allah, dan jika anda tak melihatNya akan tetapi Allah melihat Anda.

Topik kita kali ini stresingnya adalah makna ihsan yang dalam perkembangannya berubah makna menjadi tasawwuf karena menyangkut seseorang yang ingin selalu dekat dengan Tuhannya.

Dalam buku Islam ditinjau dari berbagai Aspek Jilid 2, Harun Nasution, Guru Besar Islam,  mengatakan bahwa pengamal suluk  (tasawwuf) adalah adanya kesadaran berkomunikasi dan berdialog antara ruh manusia dengan Tuhan, Caranya dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi.

Lebih  lanjut dijelaskan bahwa kesadaran itu mengambil bentuk rasa dekat dengan Tuhan dalam arti bersatu dengan Tuhan yang dalam istilah Arab disebut ittihad (mystical union)

Munculnya kehidupan tasawwuf dalam Islam karena ada segolongan  umat Islam tidak puas dengan pendekatan diri kepada Tuhan melalui ibadah solat, puasa dan haji semata.

Mereka ingin lebih dekat lagi dengan Tuhan. Jalan untuk itu diberikan al-tasawwuf. Dengan demikian tasawwuf atau sufisme adalah istilah khusus dipakai untuk menggambarkan mistisisme dalam Islam.

Zahid terkenal dalam Islam yang pertama adalah al-Hasan al-Basri (w. 728 M) meninggal di Basrah. Kedua adalah Ibrahim Ibnu Adham (w. 777 M) anak dari Raja Balkh. Lalu ada Sufi Wanita Robiah al-Adawiah (w. 801 M) dari Basrah, Abu Nasr Bisyr al-Hafi (w. 841 M) lahir di Khurasan dan meninggal di Bagdad. Dan masih ada lagi Zahid-zahid yang lain.

Dalam perkembangannya ada 2 golongan Zahid, yaitu meninggalkan kehidupan dunia dan kehidupan materiil karena didorong perasaan takut  masuk neraka di Akhirat. Sedangkan golongan yang lain karena didorong oleh perasaan cinta kepada Tuhan. Tokoh utama golongan kedua ini adalah Robiah al-Adawiah.

Tangga yang dilalui kehidupan Zahid adalah tobat, zuhud, sabar, tawakal, dan rida, yang disebut dengan al-maqamat. Di atas maqamat ada lagi mahabbah (cinta) al-ma’rifah (pengetahuan), al-fana dan al-baqa (kehancuran dan kelanjutan) dan al-ittihad (persatuan).

Sedangkan al-ittihad dapat mengambil bentuk al-hulul (pengambilan tempat) dan wahdah al-wujud (kesatuan wujud).

Selain al-maqamat ada lagi al-hal, yaitu keadaan mentality, seperti al-khauf (perassan takut) al-tawadu’(rasa rendah diri), al-taqwa (takwa), al-ikhlash (keikhlasan), al-uns (rasa berteman), al-wajd (gembira hati), dan al-syukur (syukur).

Kata Harun Nasution, bahwa al-hal tidak diperoleh atas usaha manusia akan tetapi didapat sebagai anugrah dan rahmat Tuhan. Sifatnya sementara, datang dan pergi dalam perjalanannya mendekati Tuhan.

Dalam dunia mederen sekarang ini apa kita bisa mengamalkan kehidupan zahid. Prof, Buya Hamka (w. 1981 M) mengatakannya bisa. Beliau menulis sebuah buku dengan judul “Tasawuf Moderen”, terbitan Pustaka Panjimas tahun 1990, menjelaskan bagaimana menjalankan kehidupan tasawuf dalam masyarakat modern sekarang ini.

Dan yang terbaru adalah karya Prof. Zulkifli Harni, Wakil Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2019-2023, seorang akademisi yang santun dan berdedikasi tinggi dalam mendidik mahasiswanya, menulis dengan judul “Prakktik Sufi dalam Arena Keagamaan dan Kemodernan” terbitam UIN Press Jakarta, thun 2021.

Pertanyaan lain adalah bagaimana hubungan tasawwuf dengan anti kolonialisme? Dalam masalah ini ada empat buku yang dapat membantu menjelaskannya yaitu Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat”,  karya Martin van Bruinessen, Mizan, Bandung, tahun 1995, “Gerakan Politik Kaum Tarekat”, karya Ajid Thohir, Pustaka Hidayah, Bandung, 2002, “Pemikiran Neo-Sufisme Abd al-Shamad al-Palembani”, karya Wan Jamaluddin, Pustaka Irfani, Jakarta, 2005, “Doktrin Agama: Syaikh Abd al-Karim al-Batani dalam Pemberontakan Petani Banten 9 Juli 1888”, karya Hendri F. Isnaini, terbitan Kreasi Cendikia Pustaka, Jakarta, tahun 2012.

Keempat buku ini menjelaskan proses-proses dan doktrin-doktrin tasawwuf mengapa menjadi aktor intelektual perlawanan terhadap kolonialisme di Nusantara yang sangat militan dalam membela kebenaran dan anti kezaliman.

Sebab itulah Ridwan Saidi, sejarahwan dan Budayawan Betawi, menyebutkan bahwa Prof. Sartono Kartodirdjo yang menulis dalam bukunya “Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonialism Sampai Nasionalism”  terbitan Gramedia, Jakarta, tahun 1990, keliru (salah) menyimpulkan bahwa pemberontakan petani melawan Belanda tahun 1859 sampai dengan 1926 (Ridwan Saidi, Republika, 18 November 2021).

Sebenarnya sepanjang tahun-tahun itu di Jawa adalah seri pemberontakan atas inisiatif dan dipimpin para Guru Tarekat (Guru Sufi) melawan penindasan petani oleh Belanda.

Diawali dengan pemberontakan di wilayah Kendal sekitarnya dipimpin Guru Tarekat KH. Ahmad Rifai (w. 1870 M), yang  dijuluki Belanda dengan “Setan Kalisasak” dan “Ulama Sesat” julukan yang diberikan ulama pendukung Belanda.

Sedangkan di Banten 12 November tahun 1926 perlawanan rakyat dipimpin Tubagus Alipan (w. 1972 M) dan pada era kemerdekaan beliau ini aktif di PSI yang dipimpin Syahrir.

Dalam konteks inilah setelah peristiwa Perang Jawa (1824-1830) dan Perang Banten dikenal dengan Geger Cilegon tahun 1888 M yang kedua pemberontakan ini aktor intelektualnya adalah para pengamal suluk (sufi-tasawwuf) serta pemberontakan lainnya yang ada di Indonesia.

Perlawanan rakyat terhadap Belanda ini, terutama kasus Perang Jawa dan Perang Aceh (1873-1904 M), sangat menguras APBN Kerajaan Protestan Belanda.

Latar belakang inilah mengapa penjajah Belanda mengeluarkan kebijakan anti Islam dan Tanam Paksa di Hindia Belanda, yang aktor intelektualnya adalah Prof. Dr. Christian Snouck Horgronje (w. 1936 M) sebagai konseptornya, dikenal denghan istilah “Politik Islam Hindia Belanda” (Lihat Husnul Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1984/1985).

Selamat mendalami dan melacaknya lebih jauh secara mendetail. Allah ‘Alam bi shawab. (tras)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *