Jika Saja Duit Korupsi Rp 271 Triliun Itu Dibagi Rata

Oleh: Ichsan Mokoginta Dasin

OPERASI ‘sapu jagad’ tindak pidana korupsi tata niaga timah oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) RI yang menyita perhatian publik di seantero tanah air, agaknya masih menjadi tema menarik untuk kita diskusikan.

Bacaan Lainnya

Sambil menunggu kemungkinan bakal ada lagi tersangka baru dan jumlah uang yang dirampok bisa saja akan bertambah, saya mencoba menawarkan diskusi yang ringan-ringan sajalah, dan tentu masih menggunakan ‘manhaj‘ berandai-andai (jikalau, seandainya, umpamanya, sekiranya).

Andai saja Prof Bambang Hero Saharjo tak melakukan hitung-hitungan, boleh jadi seberapa besar kerugian akibat korupsi ‘mega bintang‘ ini tidak diketahui oleh kita.

Untung saja Guru Besar dan ahli lingkungan Institut Pertanian Bogor (ITB) itu menyempatkan diri hanya sekadar membantu kita untuk menghitung dan menguak kasus yang terjadi sejak tahun 2015-2022 itu ternyata merugikan negara sebesar Rp 271.069.740.060.

Saya tidak begitu perlu untuk mengutak-atik bagaimana Prof Bambang menyimpulkan jika korupsi berjamaah itu merugikan negara dengan angka yang fantastis (konon kabarnya merupakan angka terbesar yang sempat terkuak dalam sejarah korupsi Indonesia). Cukuplah saya memahami jika angka sebesar itu (sebagaimana kesimpulan Prof Bambang) diperoleh dari hitung-hitungan kerugian akibat penambangan timah di kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan, yang meliputi kerugian lingkungan ekologis, kerugian ekonomi lingkungan, dan biaya pemulihan lingkungan.

Jika semua nominal kerugian di dalam hutan dan di luar kawasan hutan di total, hasil kerugian akibat kerusakan yang harus ditanggung oleh negara adalah Rp 271,06 triliun.

Tetapi nilai kerugian ini bisa saja akan bertambah. Sebab, menurut Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung RI, Kuntadi, menyatakan bahwa hasil penghitungan ekologi yang disampaikan Prof Bambang, sejatinya harus ditambahkan dengan kerugian keuangan negara yang muncul dalam perkara yang sedang diusut Kejagung itu.

Kembali ke judul tulisan ini, Jika Saja Duit Korupsi Rp 271 Triliun Itu Dibagi Rata, bagaimana hitungannya?

Badan Pusat Statistik Provinsi Bangka Belitung tahun 2022 mencatat jumlah penduduk Provinsi Kepulauan Bangka Belitung berjumlah 1.494 621 jiwa. Jika saja duit korupsi Rp 271 triliun itu dibagi rata kepada setiap penduduk di Provinsi Bangka Belitung, maka masing-masing akan mendapatkan duit sebesar Rp 181.316.868 perjiwa (Rp 271.000.000.000.000 : 1.494.621 jiwa), suatu nilai yang sudah barang tentu cukup fantastis dan sangat bermanfaat bagi masyarakat Bangka Belitung di tengah karut marut himpitan ekonomi saat ini.

Andai saja Rp 181.316.868 digunakan untuk membangun rumah hunian, cukuplah menjadi naungan permanen buat keluarga kecil yang masih ngontrak sana-sini.

Jika diinvestasikan untuk berkebun sawit, sudah sangat cukup untuk memiliki kebun sawit dengan luasan 2 hektar bahkan lebih.

Lantas bagaimana jika di dalam satu keluarga terdapat enam anggota keluarga seperti saya (saya, istri dan empat orang anak) yang masing-masing mendapat bagian Rp 181.316.868? Bukankah saya dan keluarga akan ketiban duit Rp 1.087.901.208? Bagaimana jikalau dalam satu keluarga terdiri dari belasan orang? Tentu akan kaya mendadak.

Lantas bagaimana pula kalau Rp 181.316.868 dibelikan dengan beras? Jika Rp 181.316.868 ini dibelikan dengan beras (dengan asumsi 1 kg Rp 15.000) maka hasilnya setara dengan 12.087,7912 kg beras atau dibulatkan menjadi 12,087 ton beras.

Sementara itu, Badan Pusat Statistik Nasional mencatat konsumsi beras per kapita di Indonesia mencapai  114, 6 kg per orang per tahun. Artinya satu orang Indonesia menghabiskan beras seberat 114,6 kg dalam setahun atau seberat 3,14 ons perhari. Jika masing-masing orang memiliki 12,087 ton beras, maka beras tersebut baru habis dikonsumsi dengan kurun waktu selama 105 tahun, 1 bulan, 17 hari. Demikianlah jika duit mega korupsi tata niaga timah dibagi rata. (*)

Ichsan Mokoginta Dasin adalah seorang penulis sekaligus jurnalis yang pernah bekerja di sejumlah media, baik cetak maupun online (1991 – sekarang).

Pemilik nama pena Amang Ikak ini juga sudah menulis sejumlah buku biografi sejumlah tokoh, sastra budaya, serta buku sejarah perjuangan di Pulau Bangka (Palagan 12: Api Juang Rakyat Bangka).

Pos terkait