Penulis: Luna Febriani
Dosen Sosiologi UBB
OPINI, TRASBERITA.COM — Kasus pembunuhan seorang istri yang diduga dilakukan oleh pasangan atau suaminya sendiri di Toboali kemarin, semakin menegaskan kepada masyarakat bahwa ranah domestik atau rumah tangga yang seharusnya menjadi tempat berlindung yang aman bagi perempuan, justru berbalik menjadi ranah yang mengancam dan berbahaya bagi kaum perempuan itu sendiri.
Jika benar pelaku pembunuhan perempuan muda ini adalah pasangan atau suaminya sendiri, maka kasus ini akan semakin menambah jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dalam ranah privasi atau dalam ranah rumah tangga.
Catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2020 yang dikeluarkan pada Maret 2021 kemarin menunjukkan bahwa kekerasan dalam ranah personal (termasuk di dalamnya kekerasan dalam rumah tangga, hubungan pacaran dan kekerasan yang dilakukan oleh orang terdekat dalam ikatan keluarga) menjadi kekerasan yang paling beresiko bagi perempuan dibanding dua kekerasan lain menurut Komnas Perempuan, yakni kekerasan dalam ranah komunitas dan kekerasan dalam ranah negara.
Di tahun 2021, kekerasan dalam ranah personal mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya, yang mana di tahun 2019 jumlah kekerasan di ranah personal sebanyak 75% sedangkan di tahun 2020 meningkat 4% menjadi 79% atau sebanyak 6480 kasus.
Angka-angka kekerasan terhadap perempuan ini berpotensi mengalami kenaikan mengingat akhir-akhir ini kasus kekerasan seksual mulai banyak terekspos ke permukaan dan dilaporkan yang diikuti dengan mulai bermunculan dukungan dari kelompok masyarakat untuk mendampingi korban kekerasan terhadap perempuan dalam upaya mendapat keadilan.
Kasus pembunuhan istri yang terjadi di Toboali ini menjadi viral karena selain diduga dibunuh oleh pasangan sendiri, pun pasangan suami istri tersebut baru menjalani masa pernikahan selama satu bulan.
Tentu saja, seharusnya masa awal satu bulan pernikahan menjadi masa-masa paling indah dan penuh dengan suka cinta.
Namun ironisnya masa satu bulan pernikahan ini justru menjadi titik penghabisaan yang mencekam bagi korban dan keluarganya.
Pemberitaan yang beredar di mediapun acapkali menyebutkan kesaksian orang-orang terdekat bahwa selama satu bulan pernikahan mereka dipenuhi dengan cekcok.
Kita semua tentu tidak meragukan bahwa ikatan pernikahan yang dibuat pasangan ini dilandasi dengan cinta, meskipun diperjalanannya banyak menimbulkan ketidakcocokan hingga pembunuhan yang terjadi.
Perlu keterangan mendalam yang dapat mengurai akar penyebab ketidakcocokan hingga tragedi pembunuhan.
Tapi, setidaknya kisah ini mengajarkan pengalaman kepada kita semua bahwa ikatan pernikahan yang dibangun dengan cinta tidak serta merta menjamin kebahagian atau kelanggengan.
Ikatan pernikahan dengan cinta juga dapat menciptakan relasi kuasa yang tidak seimbang antara pasangan suami dan istri yang menjadi salah satu penyebab banyaknya terjadi kekerasan dalam rumah tangga, terutama kekerasan terhadap perempuan atau istri.
Apa yang ditegaskan sebelumnya bukan berarti menafikan makna dan fungsi cinta itu sendiri, namun saat ini terdapat transisi tentang makna cinta itu sendiri.
Dalam sosiologi pernikahan, seorang filsuf Ben Zeev mengatakan bahwa pada hari ini percintaan menjadi dasar dan prioritas pernikahan, hanya saja level cintanya berada pada level cinta romantika.
Yang dimaksud cinta romantika adalah cinta yang didasarkan pada ketertarikan fisik semata dan memiliki durasi waktu serta tidak akan menggebu-gebu terus.
Pernikahan yang terjadi dalam level cinta romantika ini dapat menjadikan keluarga mengalami penurunan level secara gradual.
Dari ikatan pernikahan tersebut berada pada posisi vital, kemudian turun menjadi harmonis dan hanya butuh waktu sebentar menjaadi tingkat konvensional, hingga terjadi konflik berkepanjangan yang pada akhirnya menjadikan ikatan pernikahan itu menjadi level devitalized.
Selain persoalan cinta romantika, hal lain yang perlu menjadi perhatian dalam ikatan pernikahan adalah adanya relasi kuasa.
Relasi kuasa dalam hal ini merupakan hubungan yang tidak setara antara pasangan dalam kehidupan atau ikatan pernikahan.
Relasi kuasa yang tidak seimbang biasanya diawali karena adanya pembentukkan konstruksi gender antara laki-laki dan perempuan, yakni: laki-laki sebagai sosok maskulin dan kuat serta perempuan sebagai sosok feminine dan lemtuk.
Konsekuensi, menjadikan laki-laki atau suami sebagai orang yang dominan dan subyek sedangkan perempuan atau istri sebagai posisi objek.
Konstruksi dan relasi kuasa ini kemudian dapat berdampak pada dominasi dari subyek ke objek.
Tak jarang, kontruksi dan relasi kuasa ini justru dibalut dengan bungkusan cinta, yang kemudian menutupi bentuk-bentuk kekerasan dan menjadikan ketidaksadaran bagi pihak obyek bahwa mereka telah terdominasi.
Maka, untuk menghilangkan kekerasaan terhadap perempuan dan melanggengkan ikatan pernikahan perlu dibangun relasi yang setara antara suami dan istri.
Berkaca dari dua hal ini maka ada pembelajaran yang dapat dipetik bahwa cinta bukan merupakan landasan satu-satunya dalam membangun pernikahan mengingat cinta pada hari ini berpotensi memiliki durasi pendek dan bertahan sebentar.
Maka, untuk menopang ikatan pernikahan dalam pernikahan faktor cinta harus dibarengi dengan tiga kunci utama, yakni; komunikasi yang baik, rasa saling menghormati dan kepercayaan dengan pasangan.
Selain melanggengkan ikatan pernikahan tiga kunci tersebut yang dibarengi dengan rasa cinta dapat berkorelasi dalam menciptakan relasi yang ideal dan setara antara suami dan istri.
Sehingga dengan relasi yang setara ini mampu meminimalisir kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. (TRAS)