Kelakar Gebeng

Oleh Rusmin Sopian
( Penulis yang tinggal di Toboali)

Narasi menjadi bagian penting dari seorang pemimpin untuk mengabarkan sesuatu persoalan ke ruang publik hingga dipahami publik secara utuh.

Bacaan Lainnya

Seorang pemimpin sangat perlu pula bernarasi panjang lebar untuk menjelaskan suatu persoalan sehingga masalah menjadi jernih dihadapan warga masyarakat.

Namun tidak semua narasi harus disuarakan lewat suara pemimpin.
Tak heran bila kini banyak pemimpin negara (baca : Presiden) menggunakan juru bicara (Jubir) sebagai pengejawantahan suara dirinya kepada publik.

Sementara untuk di tingkat daerah, para Kepala Dinas dan Kepala Badan tentu bisa menjadi bagian dari suara pemimpin kepada publik mengingat persoalan pada tingkat tehnis, para Kepala Dinas / Badan lebih menguasai persoalan dan permasalahan.

Narasi seorang pemimpin itu sungguh bernilai tinggi. Bernutrisi tinggi.
Setiap ucapannya menjadi terasa penting dan selalu diingat publik ramai.

Oleh karena itu seorang pemimpin tidak bisa mengumbar narasi seenak perutnya. Tidak bisa mengumbar ” kelakar gebeng “. Apalagi menyangkut hajat publik dan khalayak ramai.

Tak heran bila saat menjadi pemimpin, para Pemimpin Negara terasa sangat berhati-hati mengeluarkan narasi dan pandangannya. Bahkan terkadang pelit bernarasi.

Kondisi ini adalah sebuah upaya untuk menjaga kewibawaan seorang pemimpin di mata publik.

Apalagi menyangkut keberhasilan sebuah daerah dimana yang menjadi indikator keberhasilan Pemerintah Daerah adalah di antaranya kenaikan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), indeks pemerataan penghasilan, angka pengangguran rendah, dan angka kemiskinan rendah.

Fenomena ini memfaktakan kepada kita sebagai warga masyarakat, bahwa seorang pemimpin apakah pemimpin negara hingga pemimpin publik dalam lingkup tugas terkecil sekalipun, tak bisa berbicara ” sekenek-kenek ” ( Seenak- enak ) perutnya.

Semua itu untuk menjaga martabat dan kewibawaannya sebagai pemimpin dihadapan khalayak ramai.

Terlalu banyak bernarasi di publik tidak berarti membuat publik simpati dan mengeskalasi figur seorang pemimpin di hadapan masyarakat. Apalagi narasi itu terlalu berlebihan.

Justru narasi pemimpin yang berlebihan menjadi santapan khalayak ramai yang tercatat dalam otak publik.

Dan narasi dari seorang pemimpin itu akan menjadi sebuah persoalan baru ketika narasi itu gagal terimplementasi dengan baik sesuai harapan publik.

Narasi yang terpublikasi dalam ruang publik dan belum dapat terealisasi dengan benar pada porsi yang sesuai dalam benak publik, membuat citra seorang pemimpin merosot.

Dan bukan tak mungkin pemimpin tersebut digelari omdo. Cuma bisa omong doang atau ” kelakar gebeng”.

Seorang pemimpin yang baik, tentunya lebih baik banyak bekerja untuk kepentingan publik dibandingkan terlalu banyak bernarasi kepada khalayak ramai.

Terkhawatirkan bila terlalu banyak bernarasi akan membuat khalayak ramai jenuh dan menganggap narasi seorang pemimpin itu bagian dari pencitraan. Bahkan bisa dianggap sebagai ” kelakar gebeng” yang bisa dianalogikan sebagai besar bicara semata.

Apalagi bila narasi yang terucap ke publik tak sesuai harapan publik yang berujung tentunya merugikan pemimpin itu sendiri. Publik menganggap narasi pemimpin hanya sekedar kelakar semata tidak sesuai dengan kenyataan.

Kepercayaan publik kepada pemimpin menjadi minus.
Dan mendapat kepercayaan dari khalayak ramai itu sangat sulit, bahkan teramat sulit.
Sejarah telah membuktikannya. (*/Tras)

Nah Lo…

Yo kita joget.

Toboali, Juli 2024

Pos terkait