Kritik Agama dalam Tinjauan Filsafat Karl Marx

Andri Yanto. Mahasiswa Fakultas Hukum UBB. (ist)

Penulis: Andri Yanto
Fakultas Hukum UBB

OPINI, TRASBERITA.COM — Agama memiliki kedudukan dan peranan yang sentral dalam perkembangan sejarah manusia sejak era prasejarah hingga era post-truth saat ini.

Bacaan Lainnya

Tanpa disadari, eksistensi agama telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam setiap segi kehidupan manusia, seluruh aspek yang berkaitan dengan manusia, akan bersentuhan dengan agama.

Agama adalah sistem nilai, asas dan norma yang mengakar kuat dengan doktrin ketuhanan, sebagai satu sentra kemahakuasaan yang universal, abadi, dan spiritual.

Pemikiran-pemikiran sosiologi agama, sepanjang dialektika filsafat, telah diisi oleh banyak pakar yang dilatarbelakangi oleh kondisi sosial kemasyaratan dan idealisme pragmatis, beberapa catatan penting seputar pemikiran agama diantaranya ditorehkan oleh Karl Marx, rekan sejawat Friedrich Engels, pemikir terkemuka abad modern.

Sebagai tokoh kontroversial dan pencetus paham Marxisme, dengan kritik tajam terhadap konsep ekonomi-politik Eropa pada masanya, Marx memandang agama secara sinis sebagai sebuah konsep alienasi dalam masyarakat.

Dalam pengertian ini, alienasi diatribusikan sebagai kondisi keterasingan atau keterbatasan keinginan manusia untuk secara kreatif memanfaatkan segala potensi demi kebaikan hidupnya.

Agama menawarkan alternatif kebahagiaan lain, dengan konsep pahala dan dosa, surga dan neraka.

Hal ini bagi Marx, telah memenjarakan manusia dalam keterasingan dari masyarakat dan dunianya.

Marx mengatakan, “religion is the sign of an oppressed creature, the heart of a heartless world and the soul of soulless conditions. It is the opium of people”.

Pernyataan Marx di atas sesungguhnya ingin menggambarkan bahwa agama membuat manusia kehilangan kontrol atas dirinya untuk melakukan tindakan kreatif.

Melalui manipulasi dan ilusi yang ditawarkan agama manusia menjadi makhluk yang hidup bukan pada dunia realitas tetapi dunia semu.

Situasi lepas kontrol inilah yang memberi implikasi keterasingan kepada manusia. Pekerjaan yang dilakukan manusia dipahami sebatas bertahan hidup (subsisten) dan tidak sebagai alat bagi manusia mengembangkan atau menyatakan kemampuan yang kreatif.

Kritik Marx terhadap agama ini merupakan langkah pertama yang kemudian dilanjutkan dengan mengidentifikasi kondisi materiil dan sosial yang merupakan sumber alienasi dan ilusi.

Dari hal ini kemudian memicu tindakan revolusioner yang akan menghapus kebutuhan ilusi dengan membiarkan manusia bertindak kreatif untuk dirinya sendiri.

Sejarah manusia adalah sejarah pertentangan kelas. Bagi Karl Marx, kritik terhadap agama ialah gerbang dalam menemukan problematika akar dalam kritik masyarakat.

Agama, dalam konsep implementasi sosialnya tidak jauh sebagai sebuah produk yang mengekspresikan kepentingan kelas, sebagai bagian “infrastruktur sosial” yang dimanfaatkan demi kepentingan praktis tertentu.

Lebih dari itu, agama juga berpotensi digunakan menjadi alat untuk memanipulasi, membenarkan tindakan, dan menindas kelas bawah dalam masyarakat.

Agama secara sederhana dapat digunakan sebagai iming-iming yang diperjualbelikan demi kepentingan politik, hal yang senyatanya terjadi dan dapat diamati bahkan hingga saat ini.

Setipis kacamata Marx, idealnya agama menjadi alat tunggangan bagi kepentingan kelas (yang termanifestasi dalam kepentingan politis) muncul dari adanya sifat taklid (tunduk) dan feodalisme dogmatis, sehingga secara mutatis mereduksi muatan kritis dalam pemikiran manusia.

Sejatinya, memang kepercayaan agama dibangun dengan logika yang demikian. Bukan hal yang lazim untuk mempertanyakan hakikat ketuhanan, mencari pembenaran secara empirik dan rasional untuk meyakini entitas yang bernama Tuhan, sebaliknya, agama menyurutkan semua itu dalam ruang bernama “iman”, yang berarti pula mengarah pada penerimaan, pembenaran dalam hati, dan perwujudan keyakinan dalam kehendak perilaku.

Penundukan inilah, yang di kompleksasi dengan instrumen dosa-pahala, menjadikan agama dapat dimanfaatkan untuk “menarik hidung” kelas-kelas bawah.

Dengan mengatasnamakan agama, seorang (kelas tertentu) dapat menggerakan massa, membenarkan tindakan-tindakan represif, hingga mencapai kedudukan politis strategis serta mengatur harga pasar, dan membentuk strata-strata sosial yang mengajarkan ketidaksetaraan derajat manusia.

Sebagai contoh, atas pembenaran agama, seorang budak tidak memiliki hak keperdataan.

Semua pekerjaan, perbuatan, bahkan harga dirinya adalah milik tuan-nya, orang yang menjadi gembala bagi dirinya.

Konsep-konsep keagamaan yang memberi ruang bagi perbudakan, atau membagi kelas-kelas berdasarkan tinggi-rendah dan melekatkan hak-hak yang berbeda, dari yang terhina hingga yang memiliki privilege tertinggi, adalah pembenaran atas dehumanisasi, dalam kritik Marx.

Pemikiran kritis Mar dalam memahami keberadaan dan pengaruh agama terhadap manusia tersebut, tidaklah berdiri sendiri.

Pada 1841, terbit suatu karya Feurbach yang berjudul Das Wesen Des Christentums (Hakikat Agama Kristiani), buku yang kemudian mengkotakan pemikiran Marx dan mengawalli diskursusnya tentang kritik agama.

Marx demikian mengagumi Feurbach, sebagaimana ia juga mengagumi Hegel, namun yang membedakan diantaranya ialah kritik Marx tidak hanya berlaku bagi agama, namun secara lebih luas mengelolanya menjadi sebuah kritik masyarakat.

Konsep kritik agama Feuerbach

Tuhan tidak menciptakan manusia, tapi manusialah yang menciptakan Tuhan.

Feuerbach memandang bahwa sejatinya bukan Tuhan yang menjadi pengada bagi seluruh kehidupan, sebaliknya Tuhan sendiri adalah sebuah konsep abstrak yang muncul dalam angan-angan manusia.

Sepanjang sejarah, lebih dari 2000 tuhan telah “memerintah”, dengan 4000 agama yang eksis.

Namun, era modern menandai kematian sebagian besar diantaranya, dan tinggal beberapa agama besar yang berhasil bertahan, lantaran digunakan pula dalam pragmatisme politik, ekonomi, dan sosial, selain kemurnian unsur religiusitasnya.

Pemikiran “sinting” yang muncul dalam kepala Feurbach barangkali memang menemui banyak falsifikasi, namun tidak pula tanpa argumentasi baku.

Feuerbach menunjukan bahwa karakteristik ketuhanan yang dilekatkan pada semua yang dinamai sebagai Tuhan, tidaklah beranjak dari proyeksi diri manusia.

Sifat-sifat yang dimiliki oleh Tuhan, tidak lain adalah sifat manusia yang dilebih-hebatkan, atau sifat-sifat semacam superpower yang bisa diimajinasikan oleh pemikiran manusia.

Mulai dari dewa-dewa Yunani, Mesir, hingga agama Samawi, dalam pandangan Feuerbach, eksponenya terbangun sempurna dari persepsi manusia, bahkan beberapa agama yang memberi wujud pada Tuhan-nya, juga melekatkan wujud yang dikenali manusia, baik memang berwujud manusia yang sempurna (atau humanoid, setidaknya) maupun berwujud menyerupai hewan-hewan tertentu.

Manusia, lantas menganggap hasil proyeksi itu sebagai sesuatu yang eksklusif, yang menjadi bagian dari dirinya sendiri.

Hal ini, tentu adalah potensi yang positif di satu sisi, lantaran realitas intersubjektif yang terbangun melalui agama dapat membentuk unifikasi pemikiran, yang melahirkan kesamaan identitas, mencegah perpecahan, dan menjadi landasan bagi kerjasama dalam perbedaan latar belakang sosial.

Namun, Feuerbach secara sinis melihat perkembangan masyarakat (yang dimaksud adalah masyarakat Eropa abad 18-19, tempat dia menjalani masa hidup), cenderung membentuk fetisisme agama.

Fetisisme agama menjadikan manusia bertindak keluar dari tujuan agama yang semula.

Dari yang berkehendak menghadirkan kedamaian dan kebaikan bagi semua, agama malah menjadi simbol identitas yang diferensial, sehingga menjadi lahan konflik dalam klaim kebenaran dengan agama lain.

Pertikaian atas nama kebenaran agama telah melahirkan perpecahan berlarut yang mewarnai sepanjang sejarah manusia, perang yang semula tersentralisasi dalam perebutan kekuasaan, hak, atau wilayah, mulai menjangkau satu dimensi lain yang lebih luas, perang antar agama.

Titik temu antar agama seringkali menjadi zona berdarah yang tak berkesudahan, manusia saling membunuh atas nama Tuhan-nya, dibumi tempat seharusnya ia menciptakan kerukunan dan kedamaian.

Urgensitas Kritik Agama Marx

Kendati kritik Marx, yang berangkat dari paradigma Feuerbach banyak menuai kontroversi, dan barangkali panen cacian kalangan religius, bukan berarti kritik tersebut tidak berarti.

Memang, sebagai seorang yang juga berkeyakinan atas realitas ketuhanan, penulis turut membalik tangan atas apa yang dituliskan Marx, juga Feuerbach.

Namun, arah pemikiran kritis Marx sendiri sebenarnya tidak digunakan untuk mendelegitimasi agama, melainkan memberi tinjauan teoritik tentang bagaimana seharusnya manusia menjalankan kehidupan beragamanya.

Saat Marx menegaskan bahwa agama adalah candu rakyat, apa yang menjadi paradigma berfikir baginya bukanlah aspek objektivitas bagi agama itu, melainkan aspek implementasi dan fungsi agama serta pemanfaatannya oleh masyarakat.

Agama tidak seharusnya menjadi pelarian atas keterasingan manusia, mengajarkan penerimaan terhadap kondisi-kondisi yang menimbulkan penderitaan, penindasan, dan penyalahgunaan hak-hak individu, juga kelas masyarakat.

Marx berpendapat bahwa selayaknya manusia bekerja, berfikir, dan berbuat dengan orientasi untuk menghasilkan kebaikan di dunia, bukan berpengharapan atas kebaikan di akhirat, dengan menerima penderitaan di dunia secara pasrah. Surga, harus diciptakan di dunia.

Demikian, Marx dengan semu memandang kedudukan agama.

Sebagai filsuf yang juga seorang revolusioner, Marx tidak berhenti dengan menguraikan teori dan mengeluh akan masalah, melainkan memberi landasan solusi yang implementatif.

Penciptaan surga di dunia, dalam konsepsi Marx itu, diantaranya diwujudkan dengan mematikan kapitalisme, sistem parasit yang menghisap hasil kerja rakyat (proletar) demi kepentingan sepihak kaum borjuis.

Kapitalis yang mengakar dalam sistem ekonomi menguatkan hegemoninya melalui instrumen politik, pasar, dan (juga) agama.

Untuk itu, pemurnian hakikat manusia harus dimulai dengan membongkar sistem kapitalisme secara radikal, dan secara bertahap menggantinya dengan komunisme.

Mimpi-mimpi Marx, masih demikian jauh, jika bukan dikatakan sebagai utopia, ditengah supra-hegemoni kapitalisme yang menguburnya dalam-dalam, di bawah tumpukan jerami idealisme. (tras)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *