Marwah Urang Bangka

Oleh: Saidun Derani
Pada acara Halal Bi Halal Musyawarah Kekeluargaan Masyarakat Bangka (MKMB) Jaya tahun 1446 H bertempat di Gedung Serba Guna Keluarga Haji Soeprapto Soeparno, Seorang Taipan di bidang pengiriman barang (TIKI-JENE) Jakarta Timur, DKI Jaya, penulis berkesempatan mendampingi Pinisepuh Masyarakat Bangka, HE. Pangkapi ketika diwawancarai jurnalis TVRI.

Point penting dari substansi wawancara itu adalah bahwa orang-orang rantau Bangka harus menjaga Marwah dan martabat diri di manapun mereka berada. Dengan mengutip Emron mengatakan di mana bumi dipijak di sana langit dijungjung. Demikianlah pepapatah Melayu mengatakan kata beliau dengan bersemangat.

Bacaan Lainnya

Menurut beliau pepatah dan petuah Melayu ini merupakan kristalisasi pengalaman hidup bangsa Melayu yan pernah berjaya di Asia Tenggara kemudian melahirkan negara bangsa seperti Bangsa Indonesia, Malaysia, Brunai Darussalam dan secara phenomenal menjadi pemersatu Nusantara. Dari embrio inilah menurut Prof Deliar Noor, Mantan Rektor IKIP Jakarta yang sekarang menjadi Universitas Negeri Jakarta melahirkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). (lihat bukunya Oleh-Oleh dari Negeri Kanguru, 1981)

Jadi statemen dan wawancara Tuk HEP di atas sangat relevam ketika rakyat Bangka sekarang ini hidup mereka umumnya pada nelangsa yang menurut Prof Razi, ahli perbankan, karena berbagai sebab dan faktor, terutama masalah perekonomian. Dalam konteks inilah perlunya digali kembali nilai-nilai dasar kebangkaan yang menjadi dasar hidup sejahtera secara ekonomi dan bahagia secara spiritual.

Makna Marwah
Kata marwah mengacu kepada makna sebuah kehormatan dan harga diri serta nama baik yang menjadi bagian dari pakaian sehari-sehari baik orang perorangan maupun kelompok masyarakat tertentu. Dalam pergaulan sehari-hari, kata marwah sering sekali dipadankan dengan istilah harkat dan martabat. Bahkan setiap profesi atau instansi memiliki marwahnya sendiri.

Dalam Islam ajaran yang memerintahkan untuk menjaga kehormatan diri dan orang lain disebut muru’ah. Istilah ini sering disamakan maknanya dengan kata marwah dalam Bahasa Indonesia. Dalam konteks tertentu kata marwah dapat diartikan sebagai kekuatan dan keberanian bagi perempuan untuk menghadapi berbagai tantangan hidup.

Marwah itu merupakan nama perempuan Arab yang berasal dari kata maru/maruw yang berarti mineral, batu api, kuarsa, atau batu keras yang hampir murni.

Sedangka makna harga diri (self-esteem) adalah suatu sikap atau perasaan dan atau nilai subjektif yang seseorang berikan pada dirinya sendiri. Hal ini mencakup bagaimana seseorang menilai dirinya baik secara positif maupun negative, dan memengaruhi bagaimana ia bertindak terhadap dirinya sendiri.

Kemudian harga diri yang tinggi dapat mendorong seseorang untuk mencintai dan menghargai dirinya, membuat sebuah keputusan yang bijak, dan percaya bahwa ia layak bahagia. Sebaliknya harga diri yang rendah bisa mendorong orang berfikir negative (buruk) tentang dirinya sendiri yang pada akhirnya dapat mengganggu kepercayaan diri dan prilaku positif.

Tentulah ada faktor yang membantu pembaentukan harga diri yang positif yaitu interaksi sosial, pencapaian prestasi, dan nilai-nilai pribadi bawaan sejak orok (lahir genetic).
Dapat diambil sebagai contoh kasus marwah ini adalah bagaimana sikap orang-orang Jepang sejak zaman Samurai sampai sekarang memegang teguh sikap harga diri ini jika melakukan kesalahan maka akan melaksanakan bunuh diri (Bushido).

Dan begitu juga bangsa Korea (Selatan) awal Abad 21 ditemukan ketika melakukan kesalahan sekalipun itu anaknya, maka orang tuanya atau dirinya meletakkan jabatan kalau hal itu dianggap sebuah meruah bangsanya.

Demikianlah marwah sebuah bangsa, misalnya Indonesia dapat digali dari pengalaman sejarah bangsa ini ketika para pemimpin di awal-awal kemerdekaan, sangat menjaga muruah dirinya sebagai pemimpin bangsa. Sebutlah sebagai contoh H Agus Salim sebagai pejabat negara Menteri Luar Negeri hidup bersama keluarganya berpindah-pindah tempat rumah kontrakan. Belum lagi pada diri Mohamamad Natsir, Menteri Penerangan Kesayangan Bung Karno, baju dinasnya sebagai Menteri Penerangan banyak tambalan. Kata Andrey Kahin, seorang Indonesianis asal Amerika, itulah sebabnya mengapa karyawan Kementerian Penerangan melakukan saweran secara diam-diam mebeli baju untuk tuan menterinya. Semu ini dilakukan untuk menjaga Marwah diri dan bangsanya. Luar biasa untuk ukuran zaman now apa ddicontohkan H. Agus salim dan Mohammad Natsir di atas.

Kenapa luar biasa, bukankah Presiden RI ke-8, Jend, Pur. Haji Prabowo Subianto, sedih karena ada Menteri dalam Kabinet Merah Putih belum mendapat mobil dinas baru. Sebab itu jangan disalahkan ada komentar miring dari netizen tentang masalah ini ketika dia membandingka begitu banyak rakyat NKRI yang masih siang makan dan malam hari menangis kelaparan.

Perubahan Nilai Budaya
Dari berbagai diskusi dengan Urang Bangka Rantau dan pengamatan di lapangan ada berapa temuan ahwa ada bperubahan budaya dan tradisi yang muncul akibat sistem mata pencaharian kehidupan di tengah masyarakat Babel yang berubah, terutama melihat timah sebagai panglima pusaran perekonomian masyarakat.

Dalam teori perubahan sosial ada beberapa hal yang menyebabkan mengapa terjadi perubahan sosial budaya, antara lain masalah migrasi penduduk karena berbagai sebab misalnya peperangan, sumber mata pencaharian, pendidikan, gempa bumi dan tsunami lalu adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan temuan teknologi. Dan perubahan sosial ini menyebabkan terjadi perubahan nilai karena tuntutan perubahan itu, misalnya ketika kapitalisme menjadi anutan maka sikap hidup gotong royong masyarakat kehilangan ruhnya.

Dari berbagai perubahan sosial di masyarakat Bangka itu kemudian diikuti dengan perubahan nilai sosial penulis hanya akan menyebutkan tiga (3) saja. Karena ketiga aspek itu memberi pengaruh terhadap gaya hidup Urang Bangka yang menimbulkan dampak yang sangat luas bagi jati dirinya yang bermarwah dan bermartabat.

Bagi Deliar Noer nilai adalah sebuah keyakinan yang relative stabil mengenai model perilaku dan keadaan akhir yang diinginkan lingkungan sosial. Dan nilai ini harus berlaku dan diperjuangkan hidup di tengah kehidupan masyarakat dan menjadi rujukan dalan berperilaku baik sebagai entitas pribadi dan sosial.

Beliau menyebutkan bahwa nilai ada dua: nilai yang bersifat fundamental dan nilai yang bersifat instrumental. Yang dimaksud dengan nilai fundamental adalah nilai yang bersifat ajek dan tetap tidak berubahn karena tuntutan zaman misalnya masalah keadilan, Kebutuhan spiritual akan Tuhan, hidup guyub dan bersama, dan rasa ingin dihargai antar sesama. Sedangkan nilai instrumental adalah lebih kepada cara hidup dan strategi serta metoda dalam mencapai dan menegakkan nilai-nilai fundamental itu.

Demikianlah kita melihat bahwa suku dan etnis manapun, lalu agama apapun yang dipeluk manusia beradab sudah pasti menginginkan kehidupan harmonis dalam tiga matra: Tuhan, manusia dan alam. Ada rasa menyatu sehingga alam akan memberikan yang terbaik bagi umat manusia. Lalu hidup guyub bersama dalam naungan nilai fundamental akan melahirkan keberkahan bagi alam sementa. Rahmatan lil alamin.

Demikianlah kita melihat bahwa suku dan etnis manapun, lalu agama apapun yang dipeluk manusia beradab sudah pasti menginginkan hidup yang harmonis dalam tiga mantra Tuhan, manusia dan alam. Ada rasa menyatu dengan alam sehingga alam akan memberikan yang terbaik bagi umat manusia. Lalu hidup guyub bersama dalam naungan nilai-nilai fundamental akan melahirkan keberkahan bagi alam sementa. Rahmatan lil alamin.

Budaya Maling
Kata maling bermakna mengambil milik orang lain tanpa izin atau dengan tidak sah. Biasanya dengan sembunyi-sembunyi. Istilah maling senada dengan kata rampok Hanya ada perbedaannya. Jika seseorang mencuri barang yang dipajang di toko, hal itu dikatakan pencurian. Sedangkan yang masuk ke gudang dan mencuri sesuatu dikatagori sebagai perampokan.

Bagimana pula dengan makna korup. Ya perbuatan yang melanggar hukum dan merugikan negara. Pelakunya bisa orang perorang dan atau organisasi yang berwenang. Jadi penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi dan atau orang lain, atau uang negara atau perusahaan untuk kepentingn pribadi atau orang lain. Sebuah perbuatan curang yang merugikan negara, bisa berbentuk penyuapan, manipulasi, dan melawan hukum lainnya.

Maka itu orang Latin bilang corruptus dan corruptio adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dan penyimpangan dari kesucian. Pemainnya ada pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri sipil.

Dalam konteks korup, maling, dan rampok di atas, belakangan urang Bangka dan jagad nasional dikejutkan terjadi maling Timah Bangka potensi kerugian negara 300 Triliun melibatkan berbagai pihak. Tentulah di sana dalam proses malingisasi ini ada kolusi mulai dari tingkat bawah sampai atas. Mulai dari pembuat kebijakan dan penegak hukum.

Demikianlah budaya maling sejak zaman VOC Belanda diawetkan lalu diwariskan terus menerus kepada anak bangsa yang busuk dan bejat ini. Jadilah bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya ber-Pancasila ini menjadi buram ibarat peyem (tapai) dilempar kemuka diri sendiri. Bangsa yang kehilangan tuah, bangsa yang kehilangan harga diri dan kehilangan keberkahan dalam hidup berbangsa dan bernegara.

Sebab itulah sebuah kesimpulan diskusi dari berbagai elemen Bangsaa Muhammadiyah, NU, Gerakan Nasional Pemberantasan Maling, Pembaharuan Tata Pemerintahan tahun 2010 salah satu kesimpulannya adalah bahwa maling (koruptor) itu kafir. (lihat Koruptor itu Kafir, 2010, Mizan, Bandung).

Kita sedih mengapa karena kita bela merah putih. Hanya simbolik saja. Ketika sumber daya alam (SDA) dikuras dan dijarah korporasi asing, sektor-sektor vital ekonomi seperti perbankan dan industry dikuasai asing, bahkan ketika kekuatan asing sudah dapat mendikte perundang-undangan serta keputusan-keputusan politik, kita diam membisu (khususnya kalangan DPR RI). Ada kesan kita sudah kehilangan harga diri dan martabat sebagai sebuah bangsa (Nations State).

Demikianlah, wahai Urang Bangka dampak yang luar biasa daya rusak ditimbulkan akibat perbuatan maling, rampok, dan korupsi ini bagi keutuhan dan kelangsungan sebuah bangsa. Sudah sepatutnya budaya maling ini diputuskan sampai ke akar-akarnya dengan pasal memiskinkan palakunya atau hukuman mati sebagaimana hasil keputusan muzakarah matra sivil bangsa Indonesia di atas.

Gaya Hidup
Gaya hidup dimaknakan dengan pola tingkah laku sehari-hari yang menggambarkan bagaimana seseorang membelanjakan uang, dan mengalokasikan waktu. Gaya hidup juga mencerminkan keseluruhan diri seseorang berinteraksi dengan lingkungannya.

Dalam Kitab Nashoihul Ibad (Nasehat-Nasehat Untuk Para Hamba) karya Imam Nawawi (w. 676) kelahiran Damaskus, Suria, dan kitab ini disyarahkan oleh Imam Nawawi al-Banteni (w. 1897), menyebutkan bahwa gaya hidup (kaslan-pemalas) adalah salah satu sebab mengapa seseorang mengalami kebuntuan rezeki. Sekali lagi rezeki bukan hanya harta, tetapi juga berupa kesehatan, dimudahkan urusan, dilapangkan pemikirannya kea rah yang positif.
Selain itu yang penyebab ketertutupan rezeki ini adalah tidur pasca solat subuh, tidak menghisab (intropeksi) diri, dan suka berkhianat. Keempat perilaku inilah yang menjadi sebab mengapa seseorang tamak (tertutup) rezekinya, kata Imam Nawawi dengan mengutip sabda Nabi Saw.

Memperhatikan para maling dan melihat gaya hidup mereka sehari-hari sangatlah hedon. Hal ini dapat diketahui dari instrument property yang mereka miliki seperti kasus Dewi Sandra dan Moeis yang maling Timah di mana rumahnya ibarat istana Raja Bolkiah, sultan Brunai. Hidup boros dan pemborosan itu untuk memenuhi rasa syahwatnya (tuntutan gaya hidup). Bukan sebaliknya memberi kebaikan untuk investasi sosial antara sesama yang memang membutuhkan. Ada benar juga candaan pergaulan sehari-hari bahwa uang Iblis dimakan setan.

Gaya hidup ini juga pernah penulis temukan ketika berinteraksi langsung dengan pengusaha Timah kelahiran Bangka. Waktu itu beliau ingin meneruskan studi anaknya di Jakarta. Sejauh pengamatan penulis (mungkin tidak semua lah) sikap perilakunya sangat angkuh dan kurang atau tidak menghargai orang yang ada di lingkungan sekitar. Baik dalam kata, sikap, dan perbuatannya yang menjadi ukuran kebenaran adalah ketebalan dompet dan ATM yang dimilikinya.

Budaya adi luhung yang diwariskan nenek moyang Urang Bangka kehilangan tuah ketika hasil Timah berada di tangan orang-orang tamak, rakus dan serakah. Bukankah sebagai manusia harus selalu menjunjung tinggi mertabat kemanusiaan. Jadilah manusia Bangka dikenal kasar dan berprilaku homo-homonicus yang melihat dunia adalah segala-galanya berdasarkan ukuran kebendaan.

Dan hal ini juga pernah dikisahkan Pegawai Timah di Kota Pangkal Pinang (tak disebutkan Namanya) kepada penulis masalah gaya hidup yang hedon sebagai dampak dari Budaya Timah ini. Beliau mengisahkan bahwa ada teman penjual sayur di Pasar Pagi ketika beralih priofesi menjadi pengusaha Timah dan dalam waktu singkat assetnya naik mendadak memiliki 4 mobil dan property rumah yang menurut ukuran Urang Bangka cukup mewah.

Yang menjadi masalah adalah sikap dan gaya hidupnya pun ikut berubah 180 %. Kita tahu umumnya Urang Bangka dikenal familiar dan smiling face kepada sesama teman, apalagi yang old friend. Sikap tinggi diri muncul ditandai dengan menutup diri kecuali dianggap selevel kepada orang yang ukuran kebendaannya sama. Tak lama teman itu jatuh terpuruk lebih buruk dari kehidupan semula.

Budaya Miras
Survey di Kecamatan Jebus dan Parit Tiga, Kabupaten Bangka Barat,-mungkin juga di tempat lain-penulis menemukan perubahan sikap Angkatan muda Bangka, setengah tua dan ada yang tua, dalam hal minuman keras.

Pada awalnya mereka memandang bahwa minuman keras ini khususnya arak memang menjadi tradisi dan budaya kalangan orang Tionghoa. Akan tetapi karena Budaya Timah masalah ini mulai masuk dan menjadi bagian dari budaya hidup sebagian Angkatan Muda Urang Melayu di sana dengan ikut menenggak miras (bisa arak, topi miring dan sejenisnya). Pertanyaan mengapa sampai terjadai demikian?

Argumentnya sederhana. Bukankah mencari biji timah terutama yang di dalam air laut melalui menyelam membutuhkan pemanasan badan. Dan untuk memanas badan inilah dopingnya tidak lain dan tidak bukan dengan menenggak miras (minuman keras). Jadilah menenggak miras kebiasaan yang baru di tengah masyarakat Melayu Bangka yang umumnya pemeluk agama Islam.

Sudah bisa diduga bahwa Islam demikian keras melarang minuman keras, malahan disebutkan sebagai induk kejahatan. Akan tepai apa lacur tuntutan perut ini membuat urang Melayu Bangka kehilangan akal sehat dan kehilangan pula jiwa agama. Benarlah kata pepatah nenek moyang Urang Bangka hilang agama maka hilang pula budi bahasanya.

Penutup
Mencermati dari awal paparan narasi di atas dengan mengutip petuah pinisepuh Urang Bangka Haji Emron Pangkpi di mana bumi dipijak maka di sana langit dijunjung, Urang Bangka sebenarnya sudah kehilangan Marwah diri ketika terjadi perubahan nilai akibat dari berbagai sebab perubahan sosial, terutama sosial ekonomi.

Ada pesan Ali bin Abi Thalib (w. 661) bahwa kefakiran (ekonomi) mendekatkan orang kepada kekufuran. Sebuah pesan yang sangat visioner yang menjangkau zaman dan etnis di manapun berada.

Pesan “Pintu Ilmu” Nabi Muhammad Saw ini perlu menjadi perhatian dan dicermati secara mendalam para tokoh agama dan masyarakat Urang Bangka dan bahkan tokoh Nasional dampak dari perubahan nilai di tengah masyarakat terutama menyangkut kehagian hidup di dunia (perekonomian).

Marwah Urang Bangka yang menjunjung tinggi harga diri kejujuran, malu, sikap hidup bersahaja dan menabung, lalu tergerus akibat dari adanya perubahan nilai yan menuhankan kebendaan, kedisinian, dan menjauh dari sikap hidup asketis sebagaimana diwariskan para leluhur mereka.

Penulis berharap sudah waktunya para tokoh agama dan adat Urang Bangka untuk merevitalisasi nilai-nilai kebangkaan sehingga generasi mudanya mampu menjawab perubahan sosial di tengah persaingan hidup yang semakin ketat dan brutal.

Penulis adalah Dosen Pasca di UM-Saurabaya dan UIN Syahid Jakarta

Pos terkait