Penulis: Assoc. Prof. Dr. H. Saidun Derani, MA
OPINI, TRASBERITA.COM — Makin maraknya paham keagamaan yang dipandang Majelis Ulama Indonesia (MUI) sesat dan menyesatkan sebagaimana aliran Al-Qiyadah al-Islamiyah yang awalnya berpusat di desa Pamijahan, Cibungbulan, Bogor Barat, dengan rasulnya Ahmad Musaddeq dan aliran Al-Qur’an Suci di kota Bandung.
Dalam acara wisuda mahasiswa IAIN Jakarta (waktu itu belum menjadi UIN), 21 Maret 1998, Prof. Habib M. Quraish Shihab, Guru Besar Ilmu Tafsir Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan Mantan Menteri Agama RI menegaskan, bahwa setiap aliran keagamaan yang menyimpang dan meresahkan masyarakat harus ditolak.
Sebab itu masyarakat perlu mengetahui ajaran yang benar dalam Islam dan memahami paham keagamaan yang tidak menyimpang.
Dalam salah satu do’a disebutkan bahwa: ”Wahai Allah tunjukkan kepada kami bahwa yang benar itu adalah benar dan berikan kami kekuatan untuk melaksanakannya. Dan tunjukkan kepada kami bahwa yang batil itu adalah batil dan berikan kami kekuatan untuk menjauhkannya.”
Demikianlah tujuan mengetahui paham keagamaan yang menyimpang seperti diketahui dari do’a di atas adalah untuk menghindarinya. Bukan untuk dikembangkan akan tetapi dibuang jauh-jauh.
Sebab ketidaktahuan tentang paham keagamaan yang sesat dan menyesatkan bisa menjerumuskan kita ke dalam kehancuran.
Apalagi kalau paham keagamaan itu membawa atribut dan memakai nama Islam. Sudah tentu akan bisa rusak nama Islam.
Bagi orang awam (masyarakat yang rendah ilmu pengetahuan keagamaannya), sangat sulit mendeteksi penyimpangan dan kesesatannya paham keagamaan itu.
Tulisan ini ingin menjelaskan adalah apa kreteria paham keagamaan yang menyimpang dalam Islam, yang bathil lalu sesat dan menyesatkan menurut Alquran dan Sunnah.
Akan tetapi makalah tidak menjelaskan latar belakang mengapa lahir aliran atau paham keagamaan di masyarakat.
Benalu
Prof. Dr. KH. Ali Mustofa Yaqub (w. 2016 M), Guru Besar ‘Ulûm al-Hadits, Institut Ilmu Alquran (IIQ) Jakarta, Imam Besar Masjid Istiqlal dan Pengasuh Pondok Pesantren Dar- as-Sunnah, mengatakan bahwa paham yang menyimpang berawal dari sebuah interpretasi (penafsiran) terhadap teks-teks agama, baik teks Alquran maupun Hadits.
Ketika paham ini diajarkan kepada orang lain, maka ia disebut dengan ajaran. Dan ketika ajaran itu diturunkan dan mengalir dari generasi ke generasi, maka ia disebut dengan aliran.
Kemudian disebut dengn gerakan kalau ia berbentuk sebuah organisasi atau Lembaga yang tujuannya tertulis dalam Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART).
Jadi paham, ajaran, aliran, gerakan yang dianggap menyimpang adalah sebuah ajaran yang dipandang ke luar dari rel induknya, yaitu ke luar dari tuntunan Alquran dan Sunnh Nabi Muhammad Saw berdasarkan kesepakatan (Ijma’) Ulama yang sahih.
Dilihat dari sifatnya, ada sebagian orang menyebutnya sebagai paham sempalan dan kalau sudah menjadi gerakan disebut dengan gerakan sempalan. Tetapi ada juga sebagian lain menyebutnya semacam gerakan benalu.
Mengapa karena secara sosiologis aliran-aliran yang menyimpang itu terkadang dan bahkan membahayakan ajaran aslinya karena memakai atau mencatut nama orang lain.
Dalam hal ini, orang lain yang dimaksud adalah nama ajaran Islam. Sebab itu “Gerakan Benalu” ini bagaimana pun harus dibasmi atau dibuang jauh-jauh atau dihindarkan.
4 (Empat) Kreteria
Dalam kitabnya, “Islam Masa Kini”, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2001, hal. 111-116, Prof. Dr. KH. Ali Mustofa Yaqub menyebutkan bahwa sekurang-kurangnya ada empat kreteria sehingga sebuah ajaran, aliran, paham atau gerakan dapat disebut menyimpang dari ajaran asalnya, yaitu dari tuntunan Alquran dan Hadits
Pertama: Menutup diri (eksklusif).
Ciri pertama aliran semacam ini sifatnya yang tertutup. Orang-orang yang menyebarkan aliran yang menyimpang ini cenderung tidak terbuka untuk masyarakat.
Dalam mengajarkan ajarannya, mereka bersembunyi-sembunyi, padahal situasi keamanan baik-baik saja.
Jika pengajarannya berupa pengajian, diskusi, semiloka, dia tidak terbuka untuk umum, dan hanya khusus untuk anggota saja.
Bahkan tidak sedikit pengajian kelompok yang menyimpang ini dilakukan pada waktu tengah malam, saat orang lain sedang tidur nyenyak.
Dan apabila penyebaran aliran itu melalui buku, maka buku itu juga tidak dijual bebas dipasaran, melainkan hanya berlaku untuk ‘kalangan sendiri’.
Sedangkan Islam ajarannya untuk semua umat, maka siapa saja boleh ikut. Bahkan orang kafir apalagi orang munafiq pun juga boleh belajar bersama, karena diharapkan dapat memperoleh hidayah lewat pengajian itu.
Penyebaran ajaran Islam yang sifatnya tertutup bertentangan dengan firman Allah Swt, Surah Yusuf ayat 108 :
Artinya : “Katakanlah, ini adalah jalanku (agamaku). Aku menyeru orang-orang untuk taat kepada Allah secara jelas, aku dan orang-orang yang mengikuti aku”( Yusuf, 108).
Ayat ini menginformasikan bagaimana dakwah nabi Muhammad Saw itu jelas, tidak ada yang ditutup-tutupi, dan terbuka untuk semua orang. Memang benar bahwa pada masa-masa awal, Nabi pernah berdakwah secara sembunyi-sembunyi.
Akan tetapi masalahnya lain lagi karena kondisi dan situasi yang tak mendukung dan membahayakan keselamatan Nabi dan para pengikutnya akibat tekanan dan ancaman fisik Penguasa Quraish Makkah.
Pada waktu itu keamanan tidak memungkinkan karena orang-orang kafir menteror umat Islam khususnya Nabi apabila beliau berdakwah secara terbuka.
Prinsipnya bahwa dakwah beliau terbuka untuk siapa saja. Dan termasuk dalam pengertian jelas dan terbuka ini adalah kesediaan pelaku dakwah untuk berdiskusi, berdialog karena watak ajaran Islam memang begitu.
Kedua : Fanatik dan Radikal
Penyimpangan aliran dari ajaran Islam yang benar bisa diketahui dari watak orang-orangnya dalam menyikapi kelompok lain.
Di satu sisi mereka fanatik terhadap ajaran atau aliran mereka, namun di pihak lain sangat radikal (keras) terhadap kelompok lain.
Mereka hanya menganggap bahwa kelompok mereka sendirilah yang benar, kelompok lain adalah salah semua.
Mereka memandang bahwa kelompok mereka sendiri yang disebut pengamal ajaran Islam yang paling benar. Sementara kelompok lain sudah ke luar dari Islam.
Dan sebab itu halal darahnya, musyrik, dan tidak berhak masuk surga serta memperoleh jalan keselamatan.
Apabila mereka ingin menuju kepada ajaran Islam yang benar, tentu tidak semudah itu menuduh kelompok lain sebagai sudah ke luar dari Islam.
Sebab Nabi bersabda, “Siapa yang menuduh saudaranya (seagama) sebagai kafir, maka salah satu dari orang tadi adalah benar-benar kafir”.
Hadist yang diriwayatkan Imam Muslim ini bermakna bahwa apabila orang yang dituduh kafir itu bukan kafir, maka orang yang menuduh kafir justru benar-benar menjadi kafir.
Karenanya, sungguh sangat besar resikonya bila ada seorang Muslim menuduh Muslim yang lain sebagai kafir.
Ketiga: Mempersulit diri (tasyaddud).
Ajaran Islam itu banyak dengan kemudahan. Kalau terdapat hal-hal yang dianggap menyulitkan penganutnya, Islam memberikan jalan ke luar dengan prinsip rukhshah (dispensasi/kemudahan).
Dalam keadaan darurat misalnya babi yang haram dimakan justru boleh bahkan harus dimakan.
Namun demikian, Islam tidak membenarkan pemeluknya untuk mempermudah alias menyepelekan dalam menjalankan syariat Islam.
Dengan prinsip rukhshah ini kaum muslim diharapkan tidak akan mendapatkan kesulitan dalam menjalankan agamanya.
Dalam konteks inilah Allah Swt menjelaskan;
Artinya : “Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan Allah tidak menghendaki kesulitan bagi kalian” (Al-Baqarah, 185).
Apabila di satu sisi Islam melarang umatnya untuk mempermudah dalam menjalankan agamanya, maka di sisi lain Islam juga melarang umatnya untuk mempersulit diri.
Dalam sebuah hadist sahih yang diriwayatkan Imam Bukhari, nabi bersabda, “Aku diutus oleh Allah dengan membawa ajaran yang mudah.
Karenanya, tidak ada seorang pun yang mempersulit dalam agama ini kecuali dia akan terperosok ke dalam kesulitan itu”.
Sikap mempersulit diri antara lain tidak mau menggunakan kemudahan-kemudahan yang diberikan Allah, atau bahkan cenderung untuk mengharamkan hal-hal yang dihalalkan Allah Swt.
Misalnya seseorang mengharamkan dirinya untuk memakai atau menggunakan hal-hal yang bagus baik berupa pakaian, makanan, maupun tempat tinggal.
Padahal Allah tidak mengharamkan hal-hal itu. Perhatikan firman Allah berikut ini;
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, jangan kalian mengharamkan hal-hal yang baik dari apa yang telah dihalalkkan Allah kepada kalian. Dan janganlah kalian melampaui batas, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” (Surah Al-Maidah, 87).
Keempat: Berlebih-lebihan (ghuluw)
Islam melarang umatnya bersikap mempersulit diri. Maka dalam bidang akidah dan ibadah Islam juga melarang pemeluknya bersikap berlebih-lebihan yang disebut ghuluw.
Sikap ghuluw ini merupakan salah satu gejala dari pemahaman yang menyimpang dan hal ini pernah dilakukan orang-orang Nasrani di mana mereka berlebih-lebihan dalam menilai Nabi Isa As sehingga menganggapnya sebagai Tuhan.
Islam juga melarang umatnya untuk mengkultuskan seseorang sembari menganggapnya memiliki kekuasaan di luar kemampuannya sebagai manusia.
Para wali (auliya’ jamaknya) bahkan para Nabi adalah manusia biasa yang tidak memiliki kekuasaan adikodrati yang dimiliki Allah Swt misalnya menciptakan dunia ini.
Sekiranya para wali atau para Nabi itu memiliki keluarbiasaan dalam suatu hal, maka kejadian itu masih dalam batas-batas adanya izin Allah Swt.
Sebab itu aliran keagamaan yang beranggapan bahwa seorang ‘alim, wali, atau seorang imam memiliki kekuasaan seperti kekuasaan Allah jelas merupakan paham atau aliran yang menyimpang dari ajaran Islam.
Apalagi jika dia memproklamirkan dirinya sebagai “Rasul” atau ”Nabi”, atawa ”Orang Pinter”. Kayaknya keblinger manusia semacam ini.
Sementara itu sikap ghuluw dalam masalah ibadah adalah sikap yang pernah diperlihatkan Abu al-Darda (w. 652 M) kepada Salman Al-Farisi (w. 657 M).
Dua orang sahabat ini sudah dipersaudarakan Nabi. Suatu saat Salman datang ke rumah Darda. Dia melihat istrinya dalam keadaan tidak “bergairah”, kusut dan layu.
“Kenapa Anda kelihatan tidak punya semangat begitu?” Tanya Salman. “Lihat saja itu saudaramu Darda,” jawabnya. “Dia sudah tak mau lagi dengan dunia,” tambahnya.
Darda memang selalu berpuasa tiap hari, shalat tahajud setiap malam, sehingga istrinya juga tidak pernah “diperhatikan”.
Dia tidak pernah makan dan tidur bersama istrinya karena pada siang hari dia berpuasa dan pada malam hari selalu shalat.
Ketika waktu makan siang tiba, Darda menyiapkan makanan untuk tamunya, Salman. “Silakan Anda makan, hai sobat. Saya minta maaf tidak dapat menemani Anda karena sedang berpuasa,” begitu Darda menawari Salman.
“Saya tidak mau makan kecuali anda juga ikut makan,” begitu jawab Salman tegas. AkhirnyaDarda kalah, dia membatalkan puasanya dan makan bersama Salman.
Demikianlah ketika malam sudah tiba, keduanya shalat isya bersama-sama. Kemudian kedua sahabat Nabi ini bersiap-siap tidur. Tiba-tiba Darda bangun dan pergi meninggalkan Salman.
“Mau ke mana ente?” Tanya Salman. “Mau berwudhu untuk sembahyang malam,” Darda.
“Jangan begitu kata Salman, “Sekarang kita harus tidur,” tambahnya. Begitulah, Darda kalah lagi, dia akhirnya tidur.
Tidak lama kemudian Darda bangun dan pergi meninggalkan Salman. “Ke mana lagi?” Tanya Salman cepat-cepat.
“Mau berwudhu untuk sembahyang malam,” jawab Darda. “Jangan, ayo kita tidur lagi,” pinta Salman.
Akhirnya waktu menjelang subuh tiba, Salman bangun dan dilihatnya Darda masih tidur. “Bangun Darda, mari sekarang sembahyang malam,” begitu ajaknya.
Malam itu Salman shalat tahajud bersama Darda, kemudian mereka sembahyang subuh bersama-sama.
Setelah itu kejadian itu Salman berkata, “Hai sahabatku, sesungguhnya Allah mempunyai hak yang harus kamu penuhi.
Badan, keluarga, dan tamu mu juga mempunyai hak yang harus kamu penuhi. Maka penuhilah hak-hak masing-masing itu semuanya.
”Pada pagi harinya kedua sahabat itu menghadap Nabi dan menceritakan apa yang terjadi pada mereka berdua sejak kemarin, tadi malam, dan pada waktu subuh tadi. Nabi kemudian berkomentar singkat, “Shadaqa Salman” (yang anda lakukan sudah benar Salman)
Pelajaran apa yang dapat diambil dari tulisan ini? Jadi penjelasan di atas melarang kita supaya berhati-hati jangan sampai terjebak kepada sekelompok orang atau individu tertentu yang mengaku mendapat ”wahyu” yang dapat memberi petunjuk atau memberi keselamatan kepada manusia yang sangat bertentangan dengan Islam.
Perlu diwaspadai juga bahwa mungkin saja dibalik pengakuan ajaran itu ada kepentingan ekonomi dan politik. Allah ’alam bishshawab. (tras)