Mengenang Herman (29 Mei 1971 – 29 Mei 2024)

Oleh : Syafrudin Prawiranegara

Suara Herman Hendrawan meninggi. Setengah membentak. Di depanku. Didengar banyak orang. Mempertanyakan buku politik yang sudah ia hibahkan: dibaca atau tidak?! Pasalnya: jawabanku atas soal-soal yang ia ajukan secara lisan, tak akurat. Tak memuaskan. _Ngeracau_ !

Bacaan Lainnya

Peristiwa itu berlangsung malam hari. Pada even “ospek” mahasiswa baru. Tiga dasawarsa silam. Di tengah hutan berketinggian 3.000 mdpl. Di kaki Gunung Welirang, Jawa Timur. _Duingin pol_ !

Ya, Herman Hendrawan ini adalah pria asal Kacang Pedang, Pangkalpinang, Pulau Bangka. Pria yang dihilangkan pada masa ‘sandyakala ning‘ Orde Baru. Orang yang memperkenalkan saya sebagai adiknya (meski hanya karena asal saya Bangka), kepada “kamerad-kameradnya” di kota Pahlawan.

Dialah orang yang menjadi asbab saya bisa bertemu Gus Dur. Menyalami. Mencium tangan. Duduk lesehan tepat di sebelah kanan Ketua Umum PBNU itu. Mendengarnya berbicara di lingkaran sekelompok orang yang hadir.

Sebut bae ka adekku,” pesannya saat memberitahu adanya acara pertemuan terbatas para aktivis, dengan Gus Dur itu.

Acaranya, di sebuah gedung pertemuan. Malam hari. Beberapa bulan sebelum dibentak di tengah hutan tadi.

Pesan itu adalah _password_ untuk melewati petugas penerima tamu acara: syukuran penghargaan Ramon Magsaysay Award kepada Gus Dur.

Penghargaan itu berasal dari Philipina, dan sering disebut-sebut sebagai “Nobel-nya Asia”. Ada banyak kategorinya. Yang dianugerahkan ke Gus Dur: kategori pembina komunitas.

Bagi Herman, Gus Dur adalah sosok yang istimewa. Foto-foto kebersamaannya dengan Gus Dur tersimpan rapi dalam album foto kenangan miliknya.

Sekalipun bukan anak PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), organisasi _underbouw_-nya NU, Herman tak canggung memuji Gus Dur.

Titik temu dirinya yang “merah” dengan Gus Dur yang “hijau” adalah : demokrasi !!!

Gus Dur adalah orang punya _privilege_ sosial kultural yang kuat, dan memanfaatkannya untuk perjuangan demokrasi di Indonesia.

Jujur saja, saya saat itu tidak cukup paham dengan sosok Gus Dur (sosok yang di kemudian hari menjadi Presiden RI dan menandatangani Undang-undang berdirinya provinsi KBB). Saat belum merantau, sempat ditanya tentang Gus Dur oleh Cuculia (teman se-SMA, kakak kandung Bambang Patijaya / anggota DPR RI). Soal ucapan “Selamat Pagi” sebagai ganti “Assalamu’alaikum”. Saya hanya menggeleng, tidak tahu. Yang melintas di pikiran justru pertanyaan instrospektif: kok aku kalah peduli dibanding Cuculia? (Di kemudian hari, saya baru tahu etnis Ton Ngin memang sayang kepada Gus Dur. Ketika Gus Dur wafat, etnis Ton Ngin di Bangka sangat berduka, dan sergap mengibarkan Dwi Warna setengah tiang. Hampir di setiap rumah. Benar tidak, ini Lur?).

Dalam menyuarakan demokrasi, Herman tidak pilah-pilih. Bukan hanya demo ribuan orang saja yang ia hadiri. Demo hanya sepuluh dua puluh orang pun ia ikuti. Dan pasti, ia akan berorasi !!! Lebih dari sekadar orasi, ia juga rupanya otak dari demonstrasi itu. Satu aksi demo yang “sepi” itu kebetulan aku hadir.

Di halaman Fakultas Kedokteran Gigi. Ini gila! Demonstrasi di depan “kampus pro kemapanan” dan didominasi perempuan. Alih-alih turun ke lapangan, mahasiswi-mahasiswi itu malah meledek-ledek demonstran, dari balik jendela kampus yang dibangun Belanda tahun 1930-an. Mereka ketawa-ketiwi yang tak jelas mengetawakan apa. Tapi Herman tak kecewa, apalagi sedih. Bubar aksi ia ketawa-ketawa juga dengan kawan-kawan. Bercanda. Aksi semacam itu, untuk latihan mental saja, rupanya. Khususnya para “pemula”.

Soal perempuan, pernah aku ditunjukkan foto di albumnya. Teman seangkatan, katanya. Sejurusan juga. Berjilbab. Ayu, kata orang Jawa. “Ni ayuk ka,” kata Herman menunjukkan foto itu, sambil nyengir. Itu di awal perkenalan dengannya dulu. Di kots-kotsannya, kawasan Karang Menjangan.

Meski begitu, ia seperti tak yakin, hubungannya dengan perempuan itu akan berlanjut dan serius. ” Asak ngapel, ku ajak ngomong politik,” katanya tanpa dosa, nyengir, yang membuatku nyengir juga.

Belakangan, setelah acara dialog dengan tokoh oposisi Sri Bintang Pamungkas di kampus, aku tak bertemu Herman lagi. Kots-kotsannya pun di mana, ku tak tahu.

Dalam obrolan di warung kopi, kawan-kawan ideologis Herman yang seangkatan jurusan denganku, menunjukkan respek kepada Herman yang militan. Dalam istilah Bangka, Herman termasuk “pengawa” dan rela berkorban. Rajin mendatangi simpul-simpul pergerakan. Diskusi, motivasi, dan sebagainya.

Pos terkait