Oleh: Prof. Dr. H. Bustami Rahman, M. Sc
MARILAH mumpung di bulan puasa ini, kita legowo untuk menilik sejenak dan menyadari apa yang telah berlaku di Babel, agar dengan kesadaran itu diharapkan Babel di masa depan jauh lebih baik daripada masa sekarang.
Sekurangnya ada 6 pola ‘sensitivitas’ di Babel yang perlu dicermati oleh para tokoh, pemimpin, dan publik pada umumnya di Babel. Keenam pola ‘sensitivitas’ ini ada yang bukan barang baru yang merupakan ‘titipan’ sejarah, tetapi sebagian merupakan implikasi proses kebijakan publik masa kebelakangan.
Semua pola ‘sensitivitas’ ini telah menjadi rahasia umum bagi orang Babel. Jadi, tidak usah ditutup-tutupi. Justru harus dbentangkan, agar semua bisa saling memahami dan berupaya menemukan ‘titik temu’nya. Babel ke depan adalah untuk kita dan anak cucu. Yang belum beres harus sejak sekarang dibereskan. Hal-hal perkara besar harus sejak awal dipikirkan. Oleh sebab itu, yang mungkin masih menjadi ganjalan harus kita hilangkan bagi kepentingan anak cucu ke depan. Setidaknya semua bisa menyadari dan bertenggang rasa. Kebijakan publik yang akan diambil pun akan lebih selaras dengan aspirasi publik. Sebaliknya publik dapat menerima dengan lapang dada dan memberi dukungan sepenuhnya kepada kebijakan publik.
Sensitivitas Pertama
Sensitivitas yang pertama adalah hubungan kejiwaan dan sosiologis Orang Babel dan saudaranya Orang Palembang. Pola ini berawal sejak lama. Latar belakang historisnya panjang, bahkan bisa ke masa ditemukannya butiran timah di zaman Sriwijaya dan berlanjut ke masa Kesultanan Palembang.
Apa yang dirasakan oleh Orang Babel terhadap Orang Palembang, adalah bayangan subjugasi sosial. Sejatinya, orang Babel tidak pernah merasa ‘ditaklukkan’ oleh Palembang. Justru Pulau Bangka dianggap oleh orang Bangka sendiri sebagai tempat perlindungan politik dan ekonomi bagi Orang Palembang. Hubungan Babel dan Palembang meningkat ketegangannya ketika beberapa Provinsi baru melepaskan diri dari Sumbagsel. Dimulailah gerakan politik pemisahan yang lebih nyata. Sebagian sumber, bahkan menyebut gerakan itu telah menghangat sejak tahun lima puluhan.
Orang Babel yang serumpun merasa Palembang telah melakukan ‘penjajahan’. Penempatan para pejabat terasa sangat dikendalikan dari Palembang. Orang Babel terasa seperti ‘anak tiri’ di rumahnya sendiri. Perasaan ini masih tersisa sampai kini. Inilah sensitivitas yang pertama.
Sensitivitas Kedua
Sensitivitas yang kedua adalah hubungan sejarah antara kaum Melayu tempatan dan saudaranya kaum Tionghoa. Sejarah kedua terpanjang setelah hubungan sejarah Babel dan Pelembang.
Hubungan sosial Orang Tionghoa dan Melayu tempatan terjadi secara meluas sejak awal abad 18, di kala kontrak buruh timah ditandatangani di sekitar tahun 1724 oleh BTW, perusahaan timah milik Belanda.
Hubungan sosial puak Melayu dengan saudaranya Tionghoa ini agak berbeda dengan hubungan sosial antara Orang Babel dan Palembang. Jika hubungan dengan Palembang terasa adanya suatu ketimpangan sosial, maka sebaliknya hubungan sosial antara puak Melayu tempatan dengan kaum Tionghoa bersifat egaliter. Sikap saling menerima ini telah lama berlangsung. Namun, perlu diingatkan bahwa hubungan ini akan menjadi lebih sensitif di kala hubungan egalitarian itu berubah. Kapan berubahnya? Di kala tingkat status ekonomi kaum Tionghoa meningkat dengan pesat, dan performansi politik kaum Tionghoa meningkat dengan tajam hasil sistem demokrasi kapitalis yang memihak pada kaum pemodal.
Sensitivitas Ketiga
Sensitivitas yang ketiga ini sebenarnya tipis-tipis saja, tetapi harus pula disadari dan dicermati. Sensitivitas ini tidak ada kaitannya dengan sejarah ekonomi dan politik skala tinggi. Ini hanya mengenai perasaan antar saudara kandung. Namun, bagaimanapun harus menjadi perhatian bersama khususnya tentang rasa yang setara.
Sampai sekarang, sejarah Tanjung Kelayang menjadi ‘point of reference’ para pejuang provinsi. Para pihak tetap harus memperhatikan esensi ‘kesetaraan’ dalam jiwa sejarah Tanjung Kelayang.
Sensitivitas Keempat
Sensitivitas yang keempat adalah dikotomi sektor pertambangan timah dan sektor non timah.
Tidak bisa dipungkiri bahwa sensitivitas ini berkembang luas dan intens di Babel. Situasinya tidak lagi dalam potensi, tetapi telah menjadi konflik terbuka.
Dikotomi yang tajam ini telah saling mengancam satu sama lain. Yang mengkhawatirkan adalah situasi ini tidak hanya berdampak pada kondisi ekonomi Orang Babel, tetapi juga mengancam pembelahan sosial yang dalam dan masif.
Sensitivitas Kelima
Sensitivitas yang kelima adalah hubungan antara pengelolaan Timah Negara dan pengelolaan Timah Swasta.
Meskipun sejarah kemitraan pengelolaan timah ini telah ada pada zaman Belanda, tetapi, hubungan kemitraannya masih sangat sederhana. Sekarang, hubungan bisnis ini menjadi semakin rumit, terutama sejak reformasi. Benturan kepentingan muncul di sana-sini. Tidak hanya sekedar muncul karena kepentingan bisnis ekonomi, tetapi juga, dan ini yang menambah kerumitan, masuknya kepentingan politik.
Sensitivitas Keenam
Pola sensitivitas yang keenam terbentuk lebih mutakhir, yakni dikotomi antara pekebun luas dan petani kecil rakyat.
Pola ini terbentuk baru dan unik, karena banyak dari pekebun luas ini adalah para petani dadakan. Sama dengan petambang dadakan, jika anda memiliki modal yang mungkin dadakan juga, maka anda bisa saja membuka ladang sawit puluhan hektar. Lahan sawit akan segera menutupi lahan rakyat dan hutan lindung.
Sangat sulit pada akhirnya mengembalikan kejayaan lada. Padahal orang Babel masa lalu jauh lebih merata penghasilan dan kekayaannya dibanding masa sekarang.
Kesimpulan
Tulisan ringkas ini hanya sekadar memberi ingat kepada semua, termasuk penulis, bahwa yang kita jalani saat ini adalah hasil dari sejarah yang kita buat sendiri. Yang sedang kita buat sekarang ini akan berbekas dan berakibat dengan sangat kuat pada generasi anak cucu kita di masa datang. Dan anak cucu kita itu sebenarnyalah kita sendiri, yang fisiknya telah melebur di dasar bumi.
Hidup ini sesungguhnya bagi orang perorang adalah sangat singkat. Oleh sebab itu hidup kita haruslah efektif. Jangan sampai hidup kita yang singkat itu malah membuat panjang kesulitan anak cucu ‘kita’. Kata ‘kita’ di sini, adalah juga anak cucu anda yang juga anak cucu saya juga.
Kita semua harus berpikir besar ke depan. Jangan suka berpikir remeh temeh. Visi kita adalah pembangunan yang berterusan dan memberi dampak kesejahteraan merata bagi semua. Pemimpin yang baik adalah yang memandang jauh ke depan itu. Mungkin lama baginya memperoleh penghargaan dari rakyatnya, tetapi visi yang sudah benar pada akhirnya yang akan dibenarkan dan menang.
Semoga Jayalah Bangka Belitung. (*)
—
Prof. Dr. Bustami Rahman, M.Sc adalah seorang akademisi yang mendalami bidang Teori Sosiologi. Dikenal sebagai pelopor dan Rektor pertama Universitas Bangka Belitung (UBB). Tokoh yang juga mendapat gelar Adat Melayu, Dato’ Sri, ini lahir di Belinyu, 24 April 1951 (usia 73 tahun). Sejumlah pemikiran dan hasil penelitiannya sudah diterbitkan dalam bentuk buku dan jurnal. Saat ini, Ketua (Demisioner) Lembaga Adat Melayu Negeri Serumpun Sebalai (LAM NSS) juga menjabat Staf Khusus Pj Gubernur Bangka Belitung, Safrizal Zakaria Ali.