Penulis: Assoc Prof Dr Saidun Derani MA
OPINI, TRASBERITA.COM — Judul di atas terkesan provokatif dan umat Islam seakan-akan tak mampu menata dirinya menjadi umat yang wahidah sebagaimana amanat para pendirinya. KH. Ahmad Dahlan (w. 1923 M) adalah pendiri ormas Islam Muhamdiyah 18 November 1912 di Kota Kauman Yogyakarta.
Sedangkan KH Muhammad Hasyim Asy’ari (w. 1947 M) adalah pendiri ormas Islam NU di Jombang Jawa Timur 31 Desember 1926 M.
Keduanya pernah nyantri di bawah bimbingan KH Muhammad bin Umar al-Samarani (w. 1903 M) dikenal dengan sebutan “Kiai Soleh Darat Semarang” di Pondok Pesantren Darat Semarang yang berdiri sejak tahun 1870 M.
Keduanya memberi amanat kepada penerusnya bahwa jika kalian (umat Islam) ingin disegani umat lain, kata kuncinya adalah bersatu dan jangan bercerai berai (lihat KH- Soleh Darat “Sabilul Abid ala Jauharah at-Tauhid”, terbitan 2018, dan TH Thalhas, KH. Ahmad Dahlan dan KHM. Hasyim Asy’ari: Asal Usul Dua Kutub Gerakan Islam di Indonesia, terbitan 2002, Muqaddimah Qanun Asasi : KHM Hasyim Asyari dalam AD/ART NU tahun 2010).
Tulisan ini ingin merespons pesan Ayatullah Iran periode Presiden Iran Ahmadinezhad (2005-2013 M) bahwa untuk melakukan keseimbangan kekuasaan di Indonesia yang sekarang berlaku “Sistem Politik Oligarki” adalah adanya menjaga Silaturrahmi ormas NU dan Muhamadiyah yang diperluas. Pertanyaan adalah mungkinkah?
Pengalaman sejarah memperlihatkan bahwa NU tak kuat menahan untuk tidak terjun di dunia politik. Tahun 1952, NU ke luar dari federasi Partai Islam Masyumi dan berdiri sendiri menjadi partai politik.
Lalu tahun 1998 lahir dari rahim NU Partai Kebangkitan Bangsa yang diinisiasi para Kiai seperti Munasir Ali, Ilyas Ruchiyat, A Mustofa Bisri, Abdurahman Wahid dan A Muhith Muzadi.
Kebalikannya dengan ormas Islam Muhammadiyah a-politik lebih menekuni di bidang sosial Pendidikan dan Kesehatan. Memang ada anggapan masyarakat bahwa PAN adalah partai Muhammadiyah.
Kenyataan di lapangan tidak demikian. Secara organisatoris tak ada hubungannya antara keduanya, kecuali memang benar orang Muhammadiyah sebagai inisiator awal pendirinya. Perkembangan lebih lanjut hubungan Muhammadiyah dengan PAN jauh berbeda dengan sebagaimana hubungan PKB dan NU.
Persoalan lain yang menjadi kontestasi ormas Islam NU dan ormas Islam lain di Indonesia adalah ada semacam hak paten bahwa Kemenag adalah harus dipegang orang yang berasal dari ormas NU.
Pernyatan Ketua PBNU dan Manteri Agama belakangan ini (walaupun ketika tabayyun dikatakan salah ucap terkait Kemenag) memperkuat pernyataan di atas.
Hal-hal yang bersifat “klaim” ini membuat ormas Islam Indonesia yang lainnya tak “nyaman” dan dianggap menimbulkan kontroversi yang ujungnya melahirkan disintegrasi sesama umat Islam.
Barangkali perlu juga dipertimbangkan “Politik Belah Bambu” yang memang sejak zaman kolonial Hindia Belanda berkuasa sudah diterapkan di Nusantara (Nama resmi Indonesia baru ada sejak 17 Agustus 1945).
Aktor intelektualnya adalah Prof. Christian Snouck Horgronje (w. 1936 M) dengan “Politik Asosiasinya” (lihat Husnul Aqib Suminto “Politik Islam Hindia Belanda”, terbitan tahun 1985, LP3ES, Jakarta).
Konsepsi politik belah bambu ini mengatakan bahwa jika ingin menguasai Indonesia maka harus mampu mengelola kekuatan Islam dari lawan menjadi “kawan”.
Persoalannya adalah siapa lawan dan siapa kawan sangat ditentukan cara melihat dan cara pandang kepentingan politik lawan. Fakta lapangan inilah yang dapat dilihat sekarang ini dalam konteks Sistem Politik Oligarki yang mesin politiknya sedang berjalan di NKRI (lihat tulisan Saidun Derani, “Sistem Politik Oligarki dan Dampaknya Terhadap Ummat, 2021)
Dengan fakta-fakta yang telah dipaparkan tadi, maka pertanyaan di atas mungkinkah terjadi Silaturahmi ormas Islam Muahammadiyah dan NU di Indonesia sebagai kekuatan penyeimbang kekuasaan Sistem Politik Oligarki menjadi pertanyaan besar dan tanpa ada kejelasan yang kongkrit.
Jika hal ini dapat diwujudkan para elite kedua ormas Islam di atas dengan membuang jauh-jauh “ego centris” dan tak mengikuti “tari dan gendang” kelompok nasionalis sekuler karena kepentingan dunia sesaat seperti yang dikonsepsikan Snouck Horgronje, maka penulis pikir Indonesia akan jauh lebih baik dari sekarang sebagaimana yang disarankan Ayatullah Iran tersebut. (tras)