Penulis: Dr Saidun Derani MA
Dosen Islam dan Sejarah Peradaban Islam
Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
OPINI, TRASBERITA.COM — Perjalanan panjang bangsa Indonesia dalam menghadapi penjajah di bumi pertiwi mulai dari VOC, sebuah kongsi dagang Bengsa Belanada, lalu diteruskan Kerajaan Protestan Belanda, terakhir masuk bangsa Jepang yang hanya seumur jagung menjajah Indonesia, memberi pengalaman pahit yang sangat berharga bagi rakyat Indonesia.
Dalam kaitan inilah menjadi pembelajaran sangat berharga bagi para Ulama menjaga ummatnya.
Kisah-kisah kekejaman penjajah dalam mengelola rakyat jajahan tersimpan dalam arsip kenangan imajinasi rakyat secara komunal kemudian ditularkan secara estafeta kepada generasi ke generasi selanjutnya.
Kisah pedih bangsa Indonesia jarang terungkap secara jelas aktor pelaku utama memimpin rakyat mengadakan perlawanan terhadap penjajah.
Walaupun ada yang ditulis, akan tetapi sering terjadi distorsi dan penyimpangan motif dibalik perlawana itu sebagaimana dikisahkan Ahmad Mansur Suryanegara dalam karyanya “Api Sejarah, 2 Jilid”, Saidun Derani dalam karyanya “Guru Manshur Nasionalisme Ulama Betawi”, Zainul Milal Bizawie dalam karyanya “Masterpiece Islam Nusantara Sanad dan Jejaring Ulama Santri (1830-1945)” dan “Laskar Ulama Santri dan Resolusi Jihad”.
Salah satu contoh motif Perang Diponegoro tahun 1825-1830 di Jawa Tengah. Namanya lengkapnya adalah Bendara Raden Mas Artawriya.
Padahal sebagaimana dikatakan Peter Crey, persoalan pokoknya adalah masalah pajak toll dan harga diri bangsa “Jawa” (rakyat) diinjak-injak bangsa asing.
Muhamad Subarkah, Jurnalis Republika, (07 Maret 2019) menyebutkan bahwa dalam buku sejarah di sekolah, Perang Diponegoro atau Perang Jawa (1825-1830 M) dipicu karena soal perampasan pembangunan jalan di tanah milik Sang Pangeran.
Jadi motifnya adalah persoalan pribadi Pangeran Antawirya.
Demikian masalah nestapa sosial dan ekonomi waktu itu memang sangat mencekik rakyat Jawa jadi terlupakan.
Inilah dalam sejarah yang disebut dengan historiografi kolonial.
Sebuah penulisan sejarah versi kaum penjajah dan menggelapkan fakta yang tak menguntungkan untujk melanggengkan kepentingan penjajahan.
Belum lagi masalah Perang Jawa ini juga sebagai imbas meluasnya wabah penyakit kolera hingga meletusnya gunung Merapi tak dimengerti publik.
Dan yang parah lagi persoalan konsumsi candu (NAZA/kalau sekaang narkoba) yang merajalela.
Di mana-mana sampai pelosok pedesaan bertebaran rumah ‘minum candu’ sebagai hal yang diakrabi rakyat secara massif.
Pemandangan orang yang lagi mengisap candu banyak terlihat di dokumen lama era kolonial.
Fakta-fakta sejarah ini kini hilang tanpa berbekas dalam benak para sejarawan dan rakyat Indonesia alias masyarakat sejarah bangsa.
Namun, kini sudah ada wacana yang lain. Sejarawan kelahiran Inggris yang pernah tinggal di Mynmar, Peter Carey, membuka hal lain yang selama ini tertutupi dalam pengungkapan apa yang menjadi penyebab munculnya Perang Jawa yang berlangsung selama 5 tahun tersebut.
Pengkajian yang dilakukan Carey itu menghilangkan sisi pandang soal sejarah Perang Diponegoro yang berasal dari kaca mata Kolonial Belanda.
Salah satu kisah yang ditulis Carey adalah tentang kisah “Orang Cina, Bandar Tol, Candu, dan Perang Jawa”.
Dalam buku tersebut, Carey menulis sisi kelam apa yang terjadi di masyarakat Jawa sebelum perang terjadi.
Termasuk konflik sosial dengan berbagai fenomenanya yang terjadi. Dalam buku itu Carye kisah begini:
Seorang Tionghoa penjaga gerbang tol menulis pada November 1824 dan melaporkan tentang kebangkrutannya hanya dalam waktu dua bulan setelah mengambil alih pengelolaan bandar yang selalu menguntungkan di daerah Bantul dan Jatinom, selatan Yogyakarta.
Musim kering yang berkepanjangan sejak awal tahun tampaknya telah menghancurkan tanaman kapas dan bahan-bahan pangan pokok, seperti jarak, kacang kedelai, dan jagung, sehingga persediannya sangat sedikit.
Harga beras melambung tinggi dan kegiatan perdagangan di pasar-pasar setempat hanya sedikit, karena perdagangan secara efektif telah ambruk sama sekali.
Pada bulan-bulan yang mengerikan sebelum meledaknya Perang Jawa, pedesaan di Jawa merupakan tempat di mana orang hidup saling curiga dan saling meneror.
Gerombolan bersenjata beroperasi dengan sangat bebas dari tuntutan hukum.
Pembunuhan banyak terjadi dan kegiatan harian para petani setempat berlangsung di bawah pengawasan ketat mata-mata para penjaga gerbang tol yang ditempatkan di setiap desa dan setiap jalan desa untuk mencegah terjadinya penghindaran kewajiban membayar pajak.
Bahkan orang mati sekalipun ketika diantarkan ke kuburan akan terbebani pajak pula.
Terlebih hanya melintasi sebuah gerbang tol saja, kendati tidak membawa suatu barang yang dikenai pajak akan menyebabkan seorang pelancong dikenakan apa yang secara kasar dinamakan orang Jawa sebagai “pajak bokong”.
Para pegawai Jawa yang berkedudukan tinggi pun tidak luput dari perlakuan ini.
Bupati Nganjuk (masuk wilayah Surakarta) yang telah beruban dalam sebuah wawancara dengan seorang pejabat Belanda dengan muka masam mengutarakan bahwa ia merasa lebih berani terhadap harimau yang memenuhi hutan jati dalam perjalanan lintas alamnya ke ibu kota Kesunanan daripada harus berhadapan dengan jagoan tak tahu malu yang menjaga gerbang tol sepanjang jalan raya Nganjuk–Surakarta.
Pegawai lainnya dengan kepahitan yang hampir tidak dapat disembunyikan lagi mengutarakan prosedur asusila yang dilakukan Bandar Tionghoa pendatang baru dari China yang hampir tidak bisa berbahasa Melayu dalam menggeledah fisik para istri dan kaum perempuan untuk menjarah perhiasan mereka.
Peran orang Tionghoa yang semakin menonjol sebagai penyewa tanah di daerah kerajaan antara 1816 dan 1823 juga telah memperburuk perasaan rakyat terhadap mereka.
Utamanya bukan sebagai akibat dari cara pertaniannya yang agresif secara komersial tetapi sebagai akibat tingkah laku mereka yang sombong dalam berurusan dengan para petani Jawa dan para pejabat setempat.
Perubahan sikap mereka disinggung dalam sebuah laporan seorang pangeran Yogyakarta yang berjuang bersama dengan Diponegoro.
Di antara orang desa yang memberikan bantuan kepada Diponegoro terdapat orang yang tidak mempunyai apa pun lagi untuk dimakan dan mereka yang mata pencahariannya adalah melakukan kejahatan, perampokan dan pencurian membantunya berdasarkan rencana jahat mereka sendiri.
Sedangkan mereka yang tidak terlibat di dalam kegiatan kejahatan seperti para pegawai desa [demang desa] dan para pengumpul pajak [Bekel], (kebanyakan mengikutinya) sebagai akibat dari keluhannya terhadap orang China yang tingkah lakunya menjadi sangat berbeda dengan perilaku mereka sebelumnya.
Sekarang mereka menghendaki agar rakyat menyembah mereka sebagai penghormatan penuh takzim dan mereka duduk di atas (di atas kursi), sedangkan para Demang harus duduk (sambil bersila) di atas lantai di hadapan mereka (mesti duduk seba ada di bawah).
Selama berlangsungnya Perang Jawa Pemerintah Protestan Kerajaan Kolonial Hindia Belanda pada akhirnya bertindak secara cepat memodifikasi kerja sistem gerbang tol di daerah kerajaan dan membatasi masuknya penduduk China ke daerah pedesaan.
Akan tetapi pada saat itu tindakan modifikasi tersebut sudah sangat terlambat; perang telah meluluh-lantakkan daerah pedesaan dan orang China.
Mereka pada masa itu dimaklumi di ranah istana sebagai penasihat keuangan yang tidak ternilai, rekan dagang, dan ahli perpajakan, tetapi sekarang telah menjadi sasaran-sasaran khusus kebencian dan kejijikan rakyat Jawa.
Demikianlah kisah yang ditulis Peter Carey di atas. Sudah waktunya sejarah Indonesia ditulis dengan Historiografi Nasionalis Islam sehingga jelas duduk persoalannya mengapa rakyat Jawa mengangkat senjata melawan penjajah bukan karena persoalan pribadi Pangeran Dipenogoro.
Akan tetapi karena tidak tahan lagi melihat penderitaan rakyat Jawa akibat beban pajak toll dan penjualan candu (Narkoba) yang dirasakan semakin mencekik dan merusak akhlak rakyat secara massif.
Selain itu faktor perilaku para orang-orang Tionghoa yang “pongah” karena mendapat konsesi dagang ini menyebabkan mereka memiliki asset (kekayaan tanah dan financial) yang signifikan dari pihak Penerintahan Kolonial Belanda menyebabkan kebencian massif rakyat Jawa ikut memicu dahsyat Perang Jawa itu.
Hal-hal yang penulis sebutkan di atas sejauh ini belum diungkapkan secara jujur dalam buku Babon Sejarah Nasional Indonesia (SNI) sebanyak 6 jilid yang diterbitkan resmi Pemerintah Indonesia.
Kisah sejarah ini menjadi inspirasi dan edukasi bagi elite bangsa kita dalam memimpin NKRI sesuai tujuannya mengapa kita merdeka supaya tegaknya keadilan dan kesejahteraan rakyat yang merata dari Sabang sampai Marauke.
Jadi kalau sekarang muncul jalan tol (berbayar) yang sebenarnya sudah tejadi semenjak dahulu kala.
Kini pun penggunaan narkoba yang pada masa lalu identik dengan “minum candu” meluas. Konflik tanah dan sosial masih saja terjadi.
Dalam konteks inilah makna Belajar Sejarah Sebenarnya untuk Memprediksi Masa Depan Sebuah Bangsa kata Ibnu Khaldun (w. 1406 M) dan diteruskan pendapat ini oleh Prof. Nugroho Notosusanto, sejarawan Universitas Indonesia.
Harapannya adalah jangan sampai semua hal yang sudah menjadi mimpi buruk sejarah itu terulang lagi di bumi Indonsia ini. (*/TRAS)