Sebuah Refleksi: Jejak Kepahlawanan di Pulau Bangka (Disarikan dari Berbagai Sumber)

Oleh: Bambang Haryo Suseno

SETIAP bulan Agustus di Indonesia selalu ramai dengan perayaan kemerdekaan. Bendera, umbul-umbul berwarna merah-putih menghiasi perkantoran, jalanan, hingga perkampungan. Semboyan yang mewakili semangat perjuangan dan kepahlawanan memerdekaan negeri berseliweran di media sosial, televisi, dan media cetak.Umumnya pada gapura yang menghias gerbang kampung yang terasa wajib dihias setahun sekali.

Bacaan Lainnya

Semua menampilkan kebanggaan tentang arti merdeka dan berjuang. Sisi kepahlawanan paling sering merujuk kepada pertempuran Surabaya yang merupakan pertempuran terbesar dalam sejarah revolusi nasional Indonesia, menjadi simbol atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme. 10 November 1945 yang merupakan puncak dari pertempuran itu diperingati setiap tahun sebagai Hari Pahlawan.

Pertempuran Surabaya telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk melakukan perlawanan. Tidak terkecuali di Pulau Bangka. Walaupun, juga tidak mudah menyepakati siapa “Pahlawan” yang telah berjasa dari tanah Bangka.

Jika menyederhanakan sikap kepahlawanan itu merujuk kepada siapa saja yang memiliki kontribusi selama hidupnya bagi kebaikan dan kebermanfaatan di Pulau Bangka dan dikenang oleh banyak orang di pulau ini, jejak kepahlawanan di Bangka sebenarnya tersebar di sekitar kita. Beberapa nama jalan ditabalkan kepada nama-nama pejuang di Pulau Bangka. Batin Tikal, Mayor H Muhidin, Kapten Ali Zen, Hamidah, adalah beberapa nama yang diabadikan menjadi nama jalan di Kota Mentok atau di kota-kota lain di Pulau Bangka.

Setidaknya hal itu baik. Upaya untuk mengingat dan meletakkan kisah kepahlawanan atas jasa mereka itu secara kolektif pada ingatan masyarakat umum. Seperti upaya menanam bibit kepahlawanan di masa depan. Supaya terus ada jiwa-jiwa yang termotivasi berbuat baik bagi kepentingan sesama untuk Pulau Bangka, untuk Indonesia hari ini, dan di masa depan.

Kita mulai dari era Bangka dalam pengaruh kekuasaan Kesultanan Palembang (1700an-1812 M). Dalam Manuskrip Tjarita Bangka, beberapa tokoh penting ditulis sesuai dengan periode sejarah atas Bangka. Misalnya peran Wan Abdul Jabar (Datuk Dalam), Wan Akub dan Wan Serin, pemimpin atas Bangka pada awal masa kekuasaan Kesultanan Palembang yang berkedudukan di Mentok (awal 1700an Masehi).

Mereka adalah pemimpin awal di Bangka yang membangun tata pemerintahan, memperkenalkan teknik penambangan dan memulai penggunaan tenaga kerja dari Siam, Koci, dan Cina (di Johor) untuk menambang timah di Bangka. lalu di masa setelah itu, adalah Rangga Usman; pemimpin Bangka yang memulai penerapan aturan adat Bangka di bawah Kesultanan Palembang yang biasa disebut Sindang Mardika.

Masyarakat Bangka yang semakin ramai dan bercampur dengan banyak orang seperti Melayu, Bugis, dan Jawa (termasuk orang Cina) membutuhkan aturan yang baku. Ditetapkanlah 45 pasal yang menjadi hukum/aturan yang mengatur seluruh Batin di tanah Bangka. Masa berikutnya menuliskan seorang Abang Pahang (Temenggung Dita Menggala), temenggung pertama di Pulau Bangka yang membangun pangkal-pangkal di beberapa tempat seperti di Pait, Belo, Tempilang, Biat, Bunut, Bendul, Rambat, Sungai Buluh, Layang, Sungailiat, Cengal, Pangkalpinang, Koba, Balar, Toboali, sebagai cikal bakal kota-kota di pulau ini sekarang. Atas perintah Sultan Palembang, Abang Pahang juga membangun sebuah benteng pertahanan (tanah) di Mentok yang sampai hari ini dikenal dengan Kute Seribu.

Setelah Abang Pahang, Bangka dipimpin oleh Temenggung Abang Ismail yang bergelar Temenggung Kerta Menggala. Di masa ini Bangka adalah pulau yang ramai dengan aktivitas penambangannya, berlakulah penerapan uang (token) atau pitis tambang timah bagi pekerja Cina.

Di masa ini terjadi penyerangan Panglima Raman (Rahman) dari Lingga, merampas timah, membunuh dan merusak Bangka. Tiga nama menjadi pembela atas prahara ini. Ngabehi Hasan, Ngabehi Abdullah (dua orang ini dikirim oleh Sultan Palembang) dan Raden Djakfar (anak dari Sultan Palembang dengan istri orang Mentok) berhasil mengusir pasukan Panglima Raman.

Serangan kedua dari Lingga berikutnya dipimpin oleh Panglima Raman dan seorang pemimpin Bugis bernama Arung Mempu (Awang Marupu). Suasana mencekam. Dua orang pemimpin perang Mentok bernama Yunus dan Bilal Muhammad mengatur strategi dengan mengumpulkan anak-anak dan perempuan dalam satu rumah di Kute Seribu, lalu menyiarkan kepada khalayak ramai bahwa apabila Negeri Mentok sampai jatuh ke tangan musuh maka rumah ini akan dibakar bersama penghuninya.Strategi ini berhasil. Pada malam hari, penyerangan pasukan Mentok dilakukan dengan penuh semangat dan tekat membara karena dipenuhi kekhawatiran jika kalah, anak dan isteri serta saudara lainnya akan terancam. Pasukan Arung Mempu dapat dipukul mundur, kembali menuju Lingga. Yunus dan Bilal Muhammad dianugerahi penghargaan oleh Sultan Palembang atas jasanya.

Masa berganti. Palembang jatuh ke tangan Inggris pada akhir bulan April 1812. Penguasaan atas Pulau Bangka pun beralih ke tangan Inggris. Di wilayah Bangka tengah dan selatan masih setia kepada Sultan Palembang. seorang inspektur tambang bernama Brown dibunuh oleh pemimpin di Toboali bernama Raden Kling karena menghina puteranya. Inggris mengerahkan pasukan ke Toboali, Raden Kling menyingkir ke Belitung dan bersama Depati Belitung melawan Inggris.

Inggris mengirim Raja Akil yang dengan siasatnya berhasil menguasai Belitung. Raden Kling melarikan diri, Depati Belitung dibunuh. Menyisakan pemberontakan hebat oleh rakyat Belitung.

Traktat London 13 Agustus 1814 merubah peta penguasaan atas Bangka dari Inggris ke pihak Belanda (1816 – 1942 M). Pertengahan Bulan Desember 1816, Belanda mengambil alih Bangka dari tangan Inggris. Orang Bangka belum sepenuhnya menerima kehadiran pihak Belanda atas Bangka. Perlawanan yang dulu dilakukan terhadap Inggris kini dilanjutkan kepada Belanda. Perlawanan terjadi dari beberapa tokoh terkemuka antara lain Depati Bahrin di Jeruk, Demang Singayuda di Kotawaringin, dan Batin Tikal di Gudang.

Tragedi pembunuhan Residen M.A.P Smissaert pada Tahun 1819 menjadikan Depati Bahrin dan pasukannya sebagai target pasukan Belanda. Pemerintah Belanda di Bangka mengambil tindakan militer maupun politik. Depati Bahrin menggunakan taktik gerilya yang memusingkan Belanda.

Upaya yang terus tidak berhasil kemudian menyadarkan Belanda memutuskan kebijakan lain. Di Tahun 1828 Pemerintah Hindia Belanda di Batavia mengirim orang ke Bangka sebagai utusan yang berkuasa penuh untuk mengadakan perundingan perdamaian dengan Depati Bahrin. Perjanjian damai yang diusulkan itu bahwa Pemerintah Belanda akan memberikan tunjangan sebesar 600 gulden setiap tahun kepada Bahrin jika ia dan putranya tidak melakukan perlawanan lagi. Perjanjian itu diterima oleh Depati Bahrin.

Bagi Depati Bahrin, tunjangan itu dianggap sebagai pembayaran atas persahabatan bukan kepatuhan apalagi penaklukan. Ia merasa jabatan sebagai Depati adalah pengangkatan oleh sultan Palembang, bukan Belanda. Situasi ini terus berlangsung hingga meninggalnya Depati Bahrin pada Tahun 1848.

Depati Bahrin di Jeruk memiliki putra bernama Amir dan Cing (dan beberapa anak perempuan). Setelah Depati Bahrin wafat, 19 Desember 1848, Amir dan anak buahnya memulai pemberontakan. Ketegangan mulai terasa di Pulau Bangka. Dukungan atas perlawanan Amir mulai berdatangan dari rakyat Bangka (bahkan penduduk Cina). Siasat perlawanan Amir mirip dengan yang dilakukan oleh ayahnya. Ia menghindari pertempuran besar, sangat lihat meloloskan diri bahkan cenderung mampu menjebak pasukan Belanda hingga tertipu dalam upaya pengejaran.

17 Desember 1850 Gerakan penumpasan perlawanan Amir diserahkan sepenuhnya kepada pimpinan militer. Mayor Becking segera mengatur siasat perangnya. Salah satunya dengan menambah pasukan untuk menghadapi Amir. Tindakan militer kemudian semakin keras dijalankan. Belum lagi bujukan akan membayar tunai untuk penyerahan senjata secara sukarela, hadiah bagi yang berpihak atau memberikan informasi atas gerak-gerik Amir. Siasat ini berhasil memangkas gerak pasukan Amir.

Setelah 2 tahun berperang, kekuatan pasukan Amir semakin berkurang. Persenjataan berkurang, kesulitan makanan dan penyakit yang mulai menyerang. Amir ditangkap, lalu Ia dan pengikutnya dibawa ke Bakam pada tanggal 7 Januari 1851 lalu dibawa ke Mentok dengan Kapal Onrust. 28 Februari 1851 Amir dn Tjing dibawa ke tempat pembuangannya di Kupang hingga wafat disana pada 1885.

Setelah Depati Amir ditangkap, perlawanan rakyat Bangka kepada Belanda masih berlangsung. Bujang Singkip, Awang, Umar dan Batin Tikal adalah nama-nama panglima yang tersisa. Namun situasi tidak lagi sama. Dukungan dan semangat tidak sebesar seperti perlawanan Amir. 14 Februari 1851, Bujang Singkip, Awang dan Umar tertangkap di di Koba, melarikan diri ke Sungaiselan dan menggabungkan diri kepada Batin Tikal.

Batin Tikal adalah tokoh yang paling lama melawan kepada Belanda. Ia telah ada bersama Depati Bahrin dan Amir. Sama seperti Depati Bahrin, Batin Tikal diangkat menjadi Batin di Gudang dari Sultan Palembang sebelum Belanda berkuasa atas Bangka. bersama Depati Bahrin, Demang Singayuda, ia mengangkat senjata melawan Inggris kemudian Belanda.

Mayor Becking berangkat ke Sungaiselan untuk memimpin langsung perlawanan Batin Tikal. Tentu dengan tipu muslihat. Belanda mengirim surat kepada Batin Tikal untuk mengajak berunding tentang urusan pemerintahan negeri dan rencana pembuatan jalan. Isi surat yang lemah lembut, tidak sedikitpun menyinggung soal permusuhan. Ia berangkat ke Sungai Selan bersama putra dan pengikutnya. Masuk kedalam perangkap yang sama dengan kisah-kisah penangkapan pejuang nasional lainnya di Nusantara.

Kisah perlawanan (rakyat Bangka terhadap kolonial) cenderung terjadi di wilayah Timur, Tengah dan Selatan pulau Bangka. wilayah Barat seperti Mentok, tidak terdengar. Tetapi apakah tak ada jejak atas sebuah upaya perbaikan yang dilakukan oleh pribumi di kota Mentok? dalam rekaman sejarah, kota ini pernah memiliki pemimpin dengan semangat pembaharu bagi kotanya.

Abang Muhammad Ali (berikutnya ditulis AM Ali) adalah Demang Mentok (sejak 1859). Pada sekitar 1860 atas prakarsanya sendiri mendatangkan bibit lada, gambir, cengkeh, dan sagu. Tanaman lain yang juga diupayakan beliau adalah kopi dan serai yang berasal dari Jawa. Bibit teh didatangkan dari Jepang dan Siam. Semua ditanamnya di kebunnya yang luas di Mentok. Sejak itu kemudian orang Bangka memulai bertanam Lada. Usaha yang berjiwa kepeloporan ini dikemudian hari ditekuni oleh seorang ahli botani Belanda; JH Teysmann, yang ditempatkan pada Tahun 1869 untuk melakukan penelitian mencari jenis tanaman yang sesuai dengan tanah bangka yang miskin hara. Kemudian hari, JH. Teysmann mengembangkan sistem junjung dalam budidaya Lada di Bangka.

AM Ali juga dikenal sebagai tokoh yang menggagas dan pemimpin yang mendirikan Masjid Jami’ Mentok. Tanggal 19 Muharram 1298 H (1880 M), AM Ali mengundang orang terkemuka di Mentok untuk bermusyawarah ihwal pembangunan masjid. Tepat pada tanggal 19 Muharram 1300 H (1882 M), genap dua tahun semenjak mufakat yang dipimpin AM Ali, Bangunan Masjid Jami’ Mentok selesai. Menjadi kebanggaan masyarakat, lestari hingga hari ini. Disebelah bangunan masjid ini berdiri bangunan Kelenteng Kung Fuk Miau; rumah ibadah umat Konghucu. Sudah ratusan tahun seperti itu. Sudah ratusan tahun orang Mentok hidup dengan semangat saling menghormati, saling menjaga, tak pernah bermusuhan. Sebuah warisan tak ternilai yang dimiliki masyarakat Mentok.

Perhatiannya sebagai pemimpin hampir merambah ke seluruh aspek kehidupan. Misalnya terkait dengan melindungi kapal-kapal kecil dari akibat angin kencang. Sekitar tahun 1879 Demang AM Ali mengajukan usulan kepada Residen untuk melindungi kapal-kapal. Diputuskanlah AM Ali dengan dibantu oleh Abang Zainal Abidin (Batin Mentok) atas perintah Residen membangunkan sebuah pelabuhan perahu baru disebelah barat dari Kantor Komendoer (Havenmeester, yang dikelola kolonial Belanda).

Inilah yang sekarang disebut orang Mentok sebagai Pelabuhan Limbung, tempat berlabuhnya perahu layar berukuran kecil. Menggenapi perannya selaku pemimpin lokal memiliki tanggungjawab meneruskan catatan sejarah atas Pulau Bangka sebagai warisan ke generasi berikutnya. Sebuah manuskrip yang dikatalogkan sebagai UBL Cod Or 2285.

“Soerat Tjerita atsal tanah dan orang jang mendijami tanah Banka” (diselesaikan pada tanggal 10 Safar 1296 Hijriyah, atau 3 Februari Tahun 1879 Masehi), menurut Sutedjo Sujitno adalah tulisan AM Ali. Demang AM Ali selama hidupnya dianugerahi Residen beberapa tanda kehormatan. Pada tahun 1875 dianugerahi penghargaan Bintang Perak. Pada 1879 ia dianugerahi penghargaan Bintang Emas dan gelaran Temenggong. Pada 1881, gelaran Karta Negara disematkan padanya (orang mentok menyebutnya sebagai Temenggong muda).

Penguasaan Belanda atas Pulau Bangka yang cukup panjang nyata telah menghadirkan penolakan dari penduduk Bangka. Ketika Belanda memaksakan penerapan Tin Reglement pada 1819 yang mengatur tentang monopoli penuh atas penambangan timah di Bangka, perubahan penerapan hukum adat, dan ditambah ketidakadilan yang terjadi terhadap rakyat Bangka, menumpuk rasa ketidaksukaan atas Belanda. Pun ternyata kesewenangan selalu terjadi dan perlawanan pasti muncul. Potret buruk akan monopoli penambangan timah di Bangka akan mencatatkan perlawanannya sendiri. Padamnya pemberontakan oleh pribumi rupanya berlanjutkan dengan pemberontakan kelompok kuli Tionghoa pada tahun 1899.

Pada sekitar bulan Oktober 1899, pemberontakan kuli ternama dari Bangka yang dipimpin oleh Liu Ngie yang didalam beberapa catatan adalah nama samaran dari Tjang Sip Tjhit. Liu Ngie, seorang kuli tambang Tionghoa yang melarikan dari Mentok dan awalnya muncul dengan 30 orang perampok di Sungailiat. Anggotanya semakin bertambah menjadi ratusan orang, Liu Ngie berperan sebagai penyalur keresahan para kuli tambang atas kesewenangan kekuasaan dan tekanan-tekanan yang terjadi dalam sistem penambangan timah Bangka.

Pemberontakan kuli tambang ini menjadi sebuah gerakan yang dinyatakan sebagai permusuhan terbuka dengan pemerintah kolonial. Disandingkan dengan gerakan serupa misalnya dengan gerakan Depati Bahrin – Depati Amir. Oleh itu, gerakan ini menerima simpati rakyat. Gerakan ini mendapat simbol sebagai “bandit sosial” ala Robin Hood yang disukai. 200-300 orang dari Merawang dan Pangkalpinang segera bergabung dalam pemberontakan ini. Di tanggal 17 November 1899 mereka menyerang rumah kongsi, membunuh 6 orang, dan melukai supervisor Eropa. Penyerangan dilanjutkan ke tambang lain di Sungailiat. Polisi di Bangka tak mampu menghadapinya hingga Pemerintah Belanda berkepentingan untuk mengirimkan bantuan militer dalam jumlah besar dari Batavia.

Bulan Februari 1900 Liu Ngie ditangkap di Merawang dan dihukum gantung di Mentok pada Desember 1900. Penangkapan atas Liu Ngie dan saudaranya pun baru berhasil ditangkap seperti banyak kisah akhir dari perlawanan para pahlawan di nusantara yang melawan Belanda. Mereka dikhianati dengan imbalan sebesar f 500. Ketika para pemberontak ini dimunculkan di halaman rumah administratur Merawang, tempat itu “menjadi gelap dengan penonton” yang berkumpul untuk melihat pemberontak terkenal itu. Sebuah ketertarikan besar bagi rakyat Bangka untuk menyaksikan penangkapan itu. Kemudian sekitar 128 pengikutnya di bulan November 1900 berhasil di tangkap, menandai akhir dari gerakan pimpinan Liu Ngie.

Memasuki Abad 20 membawa pengaruh lain atas Bangka. kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang kemudian lebih dikenal dengan Politik Etis membuka beberapa jalan perubahan. Pendidikan (bagi bumiputra) mulai dirasakan oleh banyak orang. Masa dimana kelompok intelektual muda Indonesia mulai bermunculan dan bercita-cita merubah keadaan. Perlu mencatatkan nama orang Bangka di masa itu yang mewakili semangat perubahan. Adalah seorang Fatimah Hasan Delais (suaminya bernama Hasan Delais) dengan nama samaran “Hamidah” terkenal dengan menulis buku “Kehilangan Mestika”.

Novel Kehilangan Mestika terbit pertama kali tahun 1935, cetakan ke-2 tahun 1937, cetakan ke-3 tahun 1949, cetakan ke-4 tahun 1955, cetakan ke-5 tahun 1957, dan cetakan ke-6 tahun 1963, masing-masing 10.000 buku. Cetakan ke-4 habis dalam satu tahun saja, sedangkan cetakan ke-6 habis dalam waktu dua tahun.

Hamidah atau Fatimah Hasan Delais Lahir pada tanggal 13 Juni 1915 di Mentok Bangka. Fatimah adalah anak dari H Mukti, seorang penghulu di Mentok. Semasa hidupnya ia bekerja sebagai guru sesudah lepas menempuh pendidikan Meisjes Normaalschool (Sekolah Normal Putri) di Padang Panjang, Sumatra Barat. Selain menulis novel, ia juga menulis puisi yang dimuat dalam Pendji Pustaka dan Pudjangga Baru.

Ia dikelompokkan sebagai Sastrawan Angkatan Pujangga Baru. Sebagai sastrawati namanya terkadang juga disebut Hamidah Hasan Delais. Fatimah Hasan Delais meninggal pada tanggal 8  Mei 1953 di RS Charitas Palembang dalam usia 38 tahun.

Mewakili situasi dan lingkungan sosial pada masanya, Hamidah mengungkapkan banyak hal tentang Mentok sebagai latarbelakang cerita yang sekaligus adalah kampung halaman penulis. Tema tentang kemalangan dan kesedihan sang tokoh dalam novel ini yang berlatarbelakang tentang keadaan Mentok di saat itu beririsan dengan upaya Hamidah menegakkan pendidikan bagi perempuan, merubah keadaan, mendobrak paradigma tradisional yang dipandang kurang relevan bagi kemajuan dunia saat itu.

Fatimah Hasan Delais menyampaikan itu kepada pembaca dan mampu diterima sebagai “amanat” intrinsik sebuah karya sastra di zamannya. Bahwa potret yang diungkap penulis dalam karyanya itu dekat dengan kondisi yang dikenali oleh perempuan lain di Indonesia pada waktu itu.

Ketika gerbang kemerdekaan Republik Indonesia terbuka lewat Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta, gaungnya terdengar dan hinggap di hati orang Bangka waktu itu. Laskar pejuang terbentuk, penyempurnaan menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) secara bertahap terjadi di Bangka. berpusat di Pangkalpinang.

Nama-nama seperti Kapten Munzir, Muhidin, Manusama, adalah nama pemimpin awal laskar di Bangka. organ-organ pro Republieken muncul dengan nama “Indonesia” seperti KNI (Komite Nasional Indonesia), API (Angkatan Pemuda Indonesia), dan GRI (Gerakan Rakyat Indonesia).

Bersama dalam Kapal Racksand yang bergerak dari Singapura, dibawah bendera Inggris pada tanggal 11 Februari 1946, NICA (Netherlands Indies Civil Administration)  atau Pemerintahan Sipil Hindia Belanda, mendarat di Mentok dan mulai berusaha menguasai kembali pulau Bangka.

Pertempuran terjadi tepat pada tanggal 12 Rabiul Awal, jam 12 siang, pada kilometer 12 antara Petaling dan Cengkong Abang, Pihak TKR (semuanya adalah anggota TKR yang dikirim dari kesatuan asrama Belinyu), mengempur kedatangan tentara NICA dengan dashyat.

Beberapa truk NICA hancur. Tentara NICA yang luka dibawa kembali ke Mentok sementara yang tewas dimakam di daerah itu. Dari pihak TKR yang gugur dimakamkan di Petaling. Peristiwa yang menewaskan 12 pejuang.

H. Muhidin dan lainnya mundur ke Kampung Nibung. Ia sempat membuat rencana penyerbuan ke Sungailiat dan Pangkalpinang bersama rakyat. Semacam perang jihad fi sabilillah. Tak lama kemudian TKR di Nibung berhasil diserbu tentara Belanda yang mengetahui persembunyiaan kelompok TKR dari kaki tangan Belanda. Mayor H Muhidin, Kapten Suraiman, Kapten Jusuf, dan H Sjafei berhasil ditangkap dan dihukum tembak oleh pihak Stootroepen NICA.

Senasib dengan Komandan Kompi Toboali; Kapten Ali Zen yang bertahan di Bangka Selatan tewas dengan bantuan kaki tangan Belanda yang membocorkan tempat persembunyian TKR. Semua anggota TKR, API, GRI dan pegawai negeri yang tidak mau bekerjasama dengan pihak NICA ditangkap dan ditawan di kewedanaan di Belinyu, Toboali, Mentok, Pangkalpinang, dan Sungailiat.

Setelah kejatuhan Pangkalpinang sebagai ibukota di Pulau Bangka, TKR, BKR, API, dibantu oleh rakyat Bangka melakukan perlawanan terhadap Belanda secara gerilya. Beberapa organ pro Republikein seperti API pasca penguasaan militer Belanda atas Pulau Bangka pada 1946 sudah menjadi gerakan bawah tanah dan membagi strategi kekuatan dalam tiga kelompok, yakni: Kelompok perjuangan politik secara legal yang tergabung kedalam Serikat Rakyat Indonesia (SRI). Dipimpin oleh Ismail Ali, H Idris Sani, R. Hundani, Punu, Abdullah Addari, Syamsuddin, dan diperkuat oleh Abdul Samad dan AM Jusuf Rasidi dari Barisan Pelopor Jakarta.

Kelompok perang gerilya (gerakan bawah tanah) pimpinan Usman Sani dan Abdullah Sani
Kelompok yang bergabung dengan partai politik pro RI Jogya; Serikat Nasional Indonesia (SENI) pimpinannya antara lain Ishak Lazim, Abdul Samad, Antoni Sidik, Daniali Abdullah, Romawi Latif, R Hundani, Soepena, H Idris Sani, Kadir Harun, H Abullah Addari. Strategi tersebut terus berlangsung di masa tahun 1946-1949. Kemudian API secara resmi dibubarkan.

Namun jalan sejarah kemudian berbelok arah. Bangka yang telah dikuasai Belanda, menjadi bagian dalam Badan Permusyawaratan Federal (Bijeenkomst voor Federale Overleg/disingkat BFO), malah kemudian terbukti menjadi pendukung bagi perjuangan pemimpin Republik Indonesia ketika diasingkan di Bangka pada 22 Desember 1948 – 6 Juli 1949.

Masa romantisme orang Bangka bersama Sukarno- Hatta, dkk yang menjadi nostalgia sejarah tersendiri hingga hari ini. Bangka kemudian bergabung dengan Republik Indonesia pada 1950 dengan menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Bagian Selatan, hingga era Reformasi yang melahirkan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung di Tahun 2000.

Di pulau Bangka, jejak atas sikap kepahlawanan dan upaya pembaharuan tersimpan dalam setiap periode sejarah. Dari era Kesultanan Palembang atas Bangka, hingga era kolonialisme Inggris dan Belanda, keseluruhan kisah mereka bersanding dengan kejayaan dan tragedi yang bersumbu kepada kejayaan timah sebagai komoditas. Eksploitasi, dimana rakyat Bangka adalah lapis bawah dalam piramida kekuasaan. Hingga kelahiran Republik Indonesia di Tahun 1945 adalah euforia bagi orang Bangka. Dukungan rakyat Bangka nyata menyokong republik. Berdiri dibelakang republik, dengan harapan hidup yang lebih baik untuk segenap tanah ini.

Saya ingin menutup penuturan ini dengan rangkuman umum yang menyatakan bahwa eksploitasi atas Bangka selama lebih dua abad telah mengubah wajah pulau ini lebih hebat dari pulau manapun di nusantara. Mulai dari perubahan jenis tumbuhan, hutan tropis menjadi belukar, sungai yang berubah, erosi dan pengikisan lapisan tanah, penghilangan bukit dan lembah berganti dengan kolam, danau dan bukit baru, laut-pantai tercemar. Pertumbuhan dan perubahan komposisi penduduk, perubahan pola permukiman, perubahan pola pertanian ke industri-perdagangan.

Jejak yang sudah terbentang panjang sejak dahulu tentang kisah timah dan Pulau Bangka adalah jejak yang merujuk kepada timah sebagai kekayaan, berkah, tetapi juga kutukan.

Silih berganti penguasa mengeksplotasi sumber daya di tanah ini. Cerita duka selalu ada disetiap babak sejarah. Hingga hari ini. Akan sampai kapan? Harus ada berapa Depati Bahrin dan Depati Amir lagi yang berjuang? Butuh berapa nyawa Liu Ngie lagi yang harus digantung? Berapa banyak AM Ali dan Hamidah lagi yang harus muncul untuk melakukan perbaikan dan pembaharuan?

Sejarah telah menuliskan itu, memberikan peringatan bagi yang berfikir. Mari menjahit apa yang pernah koyak. Agar tak jadi rapuh untuk waktu nanti. Sejarah adalah warisan. Warisilah hal baik untuk masa depan. Bangka yang penuh berkah. Bukan kutukan.

Semoga selalu ada jiwa-jiwa yang bergetar melihat kesewenangan dan ketidakadilan di tanah ini. Mengambil kisah kepahlawanan yang ditinggalkan pendahulu di pulau ini. (*)

Bambang Haryo Suseno lahir di Mentok, kota kecil di ujung Barat Pulau Bangka pada 6 Mei 1981.

Pemilik nama pena Senomerah ini, besar dan tumbuh di kota kecil itu dan bercita-cita mati di tempat itu pula agar tetap tinggal menjadi kenangan keluarga dan para sahabat yang merasa memiliknya. Pemilik gelar Magister Economic of Development (M.Ec.Dev) dari Universitas Gadjahmada ini, malah tersesat mencintai seni budaya. Aktif berkesenian dengan ‘gerombolan’ Rindudendam dan Perkumpulan Daon Sempor, Ketua Dewan Kesenian Bangka Barat (214-2024), anggota Tim Ahli Cagar Budaya/TACB Bangka Barat (2017-2020), berdiskusi dan menulis sejarah bersama “Anak Mude Mentok”, menjadi kesibukannya selain pekerjaan rutin sebagai PNS dan kesukaannya memandang langit sore di pantai bersama Istri dan Rakai Damar; anak semata wayangnya.

Sejarawan sekaligus budayawan muda ini telah menulis sejumlah buku yang bertemakan sejarah dan budaya di Pulau Bangka, khususnya sejarah Mentok dan kaitannya dengan kota-kota lain di Pulau Bangka, Sumatera, Jawa hingga kawasan Melayu di Asia Tenggara. (*/Tras)

Pos terkait