Oleh: Assoc Prof Dr Saidun Derani
OPINI, TRASBERITA.COM — Dalam sebuah kesempatan Ir Ciputra, pemilik Trade Mark Citra Land Properti bertanya kepada wartawati, berapa jumlah pengusaha property yang menjual sahamnya di publik?
Ciputra bilang ada sekitar 45-50 pengusaha property. Akan tetapi yang asli Indonesia hanya ada satu orang.
Ini artinya pengusaha properti Indonesia yang benar-benar asli Indonesia hanya 10%, dan 90% dikuasai etnis non-pri.
Lalu siapa yang menjadi penguasa eksportir Indonesia? Wartawati itu juga tak bisa menjawabnya.
Ciputra menyebutkan bahwa secara mayor dikuasai etnis Tionghoa.
Lalu ditambahkan Majalah Forbes terakhir memberitakan bahwa orang-orang kaya Indonesia dari 10 orang dan hanya 1 orang dari etnis Melayu yaitu Chairul Tanjung, itupun turun rankingnya dari 4 menjadi ke-7.
Berdasarkan fakta-fakta lapangan di atas, maka Buya Dr Anwar Abbas, MM, Dosen Ekononi di FEB UIN Syahid Jakarta dan Wakil Ketua MUI menyimpulkan dengan mengutip pendapat ahli ekonomi dunia penerima hadiah nobel, bahwa penentu perjalanan (sejarah) sebuah negeri adalah orang-orang yang menguasai sumber material (asset) negeri itu.
Jadi bukan para politisi, birokrat, TNI, POLRI, akademisi dan agamawan yang menjadi penentu jalan sejarahnya bangsa itu (Jakarta, 31 Oktober 2021 Dikusi Limited Grup FKW).
Dalam konteks ini, Prof Mahfud MD menyebutkan (bisa diakses dari berbagai sumber pernyataan Menko Polhukam ini) bahwa di Indonesia yang terjadi adalah politik transaksional, di mana dalam Pilkada untuk tingkat Bupati/Walikota dibutuhkan dana kisaran Rp 30-Rp 50 M, Pilkada Gubernur kisaran Rp 50 – Rp 100 M, dan Pilpres kisaran dana yang dibutuhkan Rp 6-7 Triliun.
Ditambahkan bahwa dari mana para kandidat mendapat dana sebesar itu? Dikatakan bahwa para Taipan inilah yang membiayai (membeli) para calon kandidat itu.
Siapa pun pemenangnya dalam pilkada dan pilpres pada hakikatnya para Taipan inilah pemenangnya. Bukan kah kebaikan para Taipan ini tidak gratis dalam hal ini.
Dalam hubungan inilah harus dipahami mengapa sebuah kebijakan kepala daerah dan negara yang tidak memihak kepada rakyat banyak, akan tetapi tetap dibuat UU dan dijalankan para pemegang kekuasaan untuk kepentingan para Taipan/Pengusaha (UU lahir atas usul Eeksekutif dan disahkan di DPR).
Jika proses politik ini sudah berjalan riil di masyarakat, maka inilah yang disebut dengan “Politik Transaksional” atau dikenal dalam Kamus Ilmu Politik dengan istilah “Sistem Politik Oligarki”.
Dan menurut para pengamat Ekonomi Politik Dunia bahwa Politik Transaksional/Sistem Politik Oligarki ini sebagaimana dikatakan Anwar Abbas di atas akan melahirkan rezim yang cendrung tiranik.
Dalam konteks inilah mengapa Alqur’an melarang asset material dalam sebuah negeri hanya berputar pada kelompok tertentu saja.
Dalam kondisi NKRI seperti ini pertanyaan pokoknya adalah dimana posisi umat Islam?
Bukankah mereka sebagai penduduk mayoriti yang berkuah darah memperjuangkan dan mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 1945 periode pra dan pasca kemerdekaan periode Revolusi Pisik 1945-1949?
Apakah mungkin bisa tercapai tujuan Indonesia merdeka yang bertujuan tegaknya keadilan hukum dan sosial ekonomi yang merata bagi seluruh rakyat NKRI?
Lalu apa yang harus dilakukan umat Islam supaya terjadi keseimbangan dalam pengambil keputusan NKRI sehingga dapat ditegakkan tujuan awal berdirinya NKRI yang diproklamirkan 17 Ramadhan itu?
Solusinya saran dari Ayatullah Iran pada masa Ahmadinejad adalah supaya dijaga dan dikembangkan silaturrahmmi antara Muhammadiyah dan NU sehingga Indonesia dapat memainkan kontribusi yang bermakna bagi dunia. Pertanyaan adalah mungkinkan hal ini bisa dilaksanakan.
Saran lain datang dari Ir Ciputra supaya menumbuhkan mentality entrepreneurship dan diamini oleh Buya Anwar Abbas masukan ini.
Untuk menumbuhkan mentality seperti itu akan lahir dari rahim 3 lingkungan, yaitu rumah tangga, liangkungan masyarakat (iklim berusaha) dan pendidikan.
Pertanyaan juga diragukan terutama nomor satu dan dua. Yang tiga perlu dianalisis lebih mendalam.
Saran ketiga datang dari Dr Saidun Derani dan Dr Afrizon Syafri dengan mengajukan Internal Teori, yaitu solusinnya melalui membangun kekuatan dari dalam ormas-ormas Islam, misalnya Persyarikatan Muhammadiyah dan masyarakat NU sendiri. Bagaimana mengkrayet/memanage dari potensi menjadi sebuah kekuatan riil. (*/TRAS)