Oleh: Suryan Masrin (Penikmat dan Pemerhati Manuskrip Arab Melayu Bangka)
Islam memiliki sejarah panjang di Nusantara, termasuk di Pulau Bangka. Keberadaan ulama-ulama lokal memiliki peran besar dalam membentuk identitas keislaman masyarakat setempat. Melalui pendidikan, dakwah, dan karya tulis mereka, Islam berkembang dan berakar kuat dalam kehidupan sosial budaya Bangka. Artikel ini bertujuan untuk menggali informasi tentang peran, kontribusi, serta pemikiran para ulama kelahiran Bangka yang telah memberikan sumbangsih besar dalam dunia keilmuan Islam.
Pulau Bangka, yang sejak lama menjadi pusat perdagangan dan persinggahan berbagai kebudayaan, juga memiliki warisan intelektual Islam yang kaya. Sejak abad ke-19 hingga ke-20, banyak ulama lokal yang berperan dalam mengembangkan pemahaman agama, mendirikan lembaga pendidikan Islam, serta menulis kitab-kitab yang menjadi rujukan masyarakat setempat. Berikut adalah beberapa ulama yang berpengaruh dan memiliki kontrribusi pada masa tersebut.
Ulama-ulama tersebut memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk karakter keislaman masyarakat Bangka. Mereka tidak hanya mengajarkan ilmu agama tetapi juga menjadi pemersatu masyarakat dalam menghadapi berbagai tantangan sosial dan budaya. Warisan mereka, baik dalam bentuk kitab-kitab keislaman maupun lembaga pendidikan yang didirikan, masih memberikan manfaat bagi masyarakat hingga saat ini.
Ulama-ulama lokal Bangka memiliki kontribusi besar dalam perkembangan Islam di daerah ini. Warisan mereka, baik dalam bentuk pemikiran maupun karya tulis, menjadi bagian penting dalam sejarah keislaman di Nusantara. Oleh karena itu, sudah menjadi tanggung jawab kita untuk mengenal, mengapresiasi, serta melestarikan peninggalan intelektual mereka agar tetap dapat memberikan manfaat bagi generasi yang akan datang.
Penting bagi kita untuk terus menggali dan mendokumentasikan sejarah ulama-ulama lokal ini agar generasi mendatang dapat memahami dan menghargai warisan intelektual Islam di Bangka. Dengan demikian, nilai-nilai keislaman yang telah mereka perjuangkan tetap lestari dan relevan di tengah perkembangan zaman.
Berikut beberapa tokoh ulama lokal Bangka yang dapat disajikan dalam tulisan ini dari hasil telusur penulis. Mohon maaf jika masih ada tokoh lain yang luput dari pengamatan pennulis.
1. Syekh Abdullatif Mentok
Beliau bernama lengkap Abdullatif bin Qiyam bin Masir Mentok Sambar al-Makkiy Asy-Syafi’i. Biografi berikut didapat dari karya Maulana La Eda yang berjudul “100 Ulama Nusantara di Tanah Suci” yang menuliskan nama Syekh Abdullattif (1861-1948) sebagai seorang ulama ahli ibadah yang berkiprah di Mekkah.
Ia lahir di Mentok Bangka pada tahun 1861 (1277 H). Kakeknya Masi berasal dari Sambas Kalimantan Barat. Pada tahun 1886, saat usianya menginjak 26 tahun, beliau melakukan safar ke Kota Mekkah menunaikan ibadah haji dan menimba ilmu di sana. Di antara guru-guru beliau selama di Mekkah adalah Syekh Ismail Bali Ampenan, Syekh Nawawi Lampung, Syekh Abu Bakar Bima, Syekh Usman Langkat, Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Syekh Abdul Qadir bin Sabir Mandailing, dan Syekh Umar Sumbawa. Wafat di Mekkah pada tahun 1948 setelah ia Kembali mengunjungi tanah asalnya Indonesia.
2. Haji Abdullatif Mantri Cacar bin Haji Talabuddin dari Palembang
Beliau adalah seorang mantri cacar di distrik Belinyu dan Jebus. Sekolah mantri di Betawi pada sekitar tahun 1912. Bersamaan dengan beliau, dari Bangka yang sekolah mantri di Betawi ada 5 orang, yakni Abdul Latif dari Mentok, Muhammad Ali dari Toboali, Muhammad Saleh dari Sungailiat, Muhammad Arsad dari Pangkalpinang, dan Siton Ilah dari Belinyu. Selain sebagai mantri cacar, beliau juga memiliki keahlian di bidang ilmu falak.
3. Haji Batin Sulaiman
Salah satu tokoh ulama di Bangka (khususnya di tanah Jerieng wilayah Kecamatan Simpang Teritip dan sekitarnya) pada pertengahan abad 19 sampai awal abad ke-20. Masa hidup diperkirakan antara tahun 1820-1920. Ia dikenal sebagai penulis kitab Permulaan Sembahyang yang ditulis pada tahun 1915 dan beberapa kitab lainnya. Kitab ini menjadi pedoman bagi masyarakat Bangka dalam memahami fikih shalat. Selain itu, Haji Batin Sulaiman juga berperan dalam dakwah Islam dengan mengajarkan pemahaman agama yang berbasis pada tradisi lokal serta nilai-nilai yang sesuai dengan kehidupan masyarakat Bangka.
4. Haji Keranga Saleh
Namanya adalah Abang Muhd. Saleh Keranggga Tjitra Nendeta bin Abang Pahang Temenggung Dita Menggala bin Encik Wan Abdul Khalik bin Encik Wan Abdul Hayat (Lim Tau Khian). Beliau adalah kepala (hoofd) penghulu Bangka pertama pada masa kolonial di Bangka, yakni tahun 1831-1836.
Kita tahu bahwa peran penghulu pada masa itu tak hanyaa sekadar bertugas menikahkan saja, melainkan semua hal yang berhubungan dengan masalah agama. Selian itu, gelar haji yang melekat menandakan keilmuan agama telah mumpuni pada masa itu.
5. Abang Yusuf bin Abang Pahang Temenggung Dita Menggala saudara dari A. Muhd. Saleh.
Beliau adalah kepala (hoofd) penghulu Bangka kedua pada masa kolonial di Bangka, yakni tahun 1837-1839. Tidak diketahui secara detil terkait sepak terjangnya pada masa itu.
6. Abang Abdul Rahman Pang bin Abang Pa’was bin Nachoda Abdurrahman bin Abang Abd. Rani bin Wan Abdul Khalik bin Wan Abdul Hayat, Keponakan Penghulu A. Yusuf.
Beliau adalah kepala (hoofd) penghulu Bangka kedua pada masa kolonial di Bangka, yakni tahun 1840-1850.
7. Haji Mohd. Seman bin Abdul Rahman Putih bin Abdul Kapi/Kahfi.
Beliau beristerikan Hj. Lung saudara dari Abang Muhammad Ali Temenggung Kerta Negara II zuriat dari Wan Abdul Jabar bin Wan Abdul Hayat. Beliau juga kepala (hoofd) penghulu Bangka kedua pada masa kolonial di Bangka, yakni tahun 1851-1863. Secara keseharian beliau memang dikenal dengan panggilan Penghulu H. Mohd. Seman.
8. Haji Indris
Beliau adalah seorang guru yang juga berjasa dalam penyalinan (penulisan) Sejarah Bangka (Carita Bangka) yang bertulis Arab Melayu tahun 1878. Beliau juga seorang yang belajar dan mengaji kitab-kitab karya ulama Melayu, salah satunya karya Syekh Abdul Sammad Palimbani.
9. Haji Marzuki bin Haji Ismail al-Bankawi
Beliau menjadi hoofd (kepala) penghulu agama Bangka yang ada di Mentok (1897-1909) menggantikan tokoh sebelumnya, yakni Haji Mohammad Seman bin Abdurrahman Putih.
Beliau adalah tokoh yang memiliki penyematan nama tempat asal Bangka dengan penulisan “al-Bankawi”di bagian belakang Namanya. Berikut cuplikan peran Haji Marzuki; “… Hoof penghulu Mentok Haji Marzuki mengesahkan fatwa fatwa Syekh Muhammad Said Babsail dan membatalkan fatwa orang yang berfatwa halal menjual ayam pada Cina demikian bunyinya Alhamdulillahi wahdahu washshalatu wassalamu ‘ala man la a binayya ba’dahu waba’dahu telah melihat akan fatwa syekhul Islam wa mufti al anam Syekh Muhammad Said Babashil dan beberapa ulama al-Syafi’iyah yang bertikin di bawah fatwa itu bahwasanya tetap haram menjual ayam pada atas qaul shahih daripada mazhab Syafi’i dan batal perkataan orang yang mengatakan halal Wallahu a’lam oleh sahaya hooft penghulu agama Mentok Haji Marzuki bin Haji Ismail”.
10. Haji Ahmad bin Haji Sulaiman
Ia menjadi hoofd (kepala) penghulu Bangka tahun 1910-1911. Tidak ada informasi lebih lanjut terkait ketokohan beliau, semoga ke depan menjadi penyelidikan lebih lanjut dan didapatkan informasi mendalam.
11. Haji Muhammad Noor bin Haji Abdul Ranie
Semoat menjadi hoofd (kepala) penghulu agama Bangka tahun 1912-1928. Kalau melihat dari masa jabatannya (1912-1928), bersamaan dengan masa jabatan abangnya Demang (Pangkalpinang) Abang Abdul Rahman bin A. Mohd. Yasin Hoofdjaksa. Informasi tentang nama-nama dan masa jabatan penghulu di Bangka dapat dilihat dalam Regeering Almanak Belanda dari tahun 1831-1929. Setelah tahun 1929, kepala penghulu Bangka tidak diberlakukan lagi.
12. Haji Bakri
Beliau dikenal sebagai seorang tokoh reformis pada tahun 1927 berkaitan dengan hukum, yakni fenomena terkait pelaksanaan khutbah Jumat yang pada umumnya masih menggunakan bahasa Arab, Haji Bakri memprotes bahwa saat pelaksanaan khutbah oleh khatib yang hanya menggunakan bahasa Arab saja.
Ia memprotes itu manakala pada pelaksanaan shalat Jumat di Masjid Jamik Mentok yang menggunakan bahasa Arab, “Jika orang-orang yang mendengarkan khutbah itu tidak mengerti artinya, itu sama saja dengan mendengarkan suara kodok”.
Haji Bakri juga ikut dalam perselisihan arah kiblat di salah satu masjid yang ada di Sungailiat sebagai pendukung kelompok Haji Usman.
13. Haji Muhammad Saleh (penghulu Mentok 1948-1965).
Beliau lahir di Mentok pada tanggal 8 Zulhijjah 1305 (10 Agustus 1888) pada malam kamis pukul 5:30 WIB. Secara garis keturunan Haji Muhammad Saleh bin Ahmad bin Haji Muhammad Yasin bin Haji Ismail bin Tuan Pandita Ahal Nahuda yang berasal dari Kampar.
Ia naik haji pada tahun 1932 saat umurnya sekitar 46 tahun. Menikah dengan Alwani binti Haji Abdullatif pada tahun 1910 dalam usian 22 tahun. Beliau diangkat menjadi penghulu Mentok pada tahun 1948 dalam usia 62 tahun menggantikan penghulu sebelumnya, yakni H Mu’ti.
Dalam pengasingan tokoh RI di Pulau Bangka beliau terlibat sebagai tokoh pemuka masyarakat (tokoh agama) yang ikut andil dalam membantu para tokoh RI tersebut sselama masa pengasingan. Wafat pada tahun 1965 di Mentok dalam usia 79 tahun.
14. KH Dja’far Addari (1911-1994) adalah seorang ulama yang dikenal sebagai sosok yang bermanfaat bagi masyarakat luas di Bangka. Ayahnya bernama H. Muhammad dan ibunya bernama Hj. Husnah. Ia kemudian pindah ke Desa Air Gegas dan banyak berdakwah di desa tersebut. Ia juga dikenal sebagai sosok yang mendobrak peradaban. Beliau juga sosok yang tidak tebang pilih atau pilih kasih kepada orang, siapapun dia dan dari mana asal usulnya. Pelajaran agama juga banyak diperoleh KH. Ja’far Addari di Tanah Suci Mekkah. Pada tahun 1922, saat usia beliau 14 tahun, beliau menuju Mekkah dan bermukim di sana selama 13 tahun. Selama di Mekkah ia mendalami ilmu agama di sebuah madrasah yang bernama Darul Ulum.
15. Haji Abdul Kadir Bachsin, seorang tokoh organisasi Muhammadiyah di Pulau Bangka yang lebih dikenal dengan Ami Kadir. Pada momen pengasingan tokoh perjuangan kemerdekaan Republik Indonedia ke Pulau Bangka pada periode 1948-1949, beliau juga terlibat dalam kegiatan penting bagi keberlangsungan para tokoh yang diasingkan tersebut selama di Pulau Bangka.
Merupakan salah satu pemuda yang terpelajar di Bangka. Beliau adalah sosok pemuda yang cerdas, disiplin, dermawan/saudagar, dan suka berbagi ilmu pengetahuan. Ami Kadir lahir di Baturusa pada tanggal 14 November 1918 dan wafat di Mentok pada tanggal 10 Februari 2008, dimakamkan di pekuburan Kampung Baru (wilayah sekitaran Kampung Ulu, dekat dengan kuburan Parhan Ali Bupati Bangka Barat) di Mentok.
Beliau kemudian menjadi pengurus Muhammadiyah di Mentok, kepengurusan Muhammadiyah pertama kali hadir melalui Pimpinan Cabang Muhammadiyah Mentok.
Pimpinan Cabang Muhammadiyah Mentok ini berdiri sejak tahun 1939-1940 dan secara keorganisasian utuh dimulai pada tahun 1984 dengan pimpinan pertamanya adalah Ami Kadir. Dalam sejarah kepengurusannya, Ami Kadir menduduki jabatan Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah Mentok selama dua periode, yakni periode pertama tahun 1984-1989 dan periode kedua tahun 1989-1994.
16. Haji Abang Muhammad Yasin Khalik (Muallim Yasin, 1915-2005).
Mualim Yasin, seorang figur penting dalam masyarakat setempat, dikenal sebagai tokoh agama yang aktif dan berpengaruh. Tulisan ini memaparkan sejumlah aktivitas keagamaan yang dilakukan oleh Mualim Yasin, seperti pembinaan majelis dan kegiatan dakwah di Mentok, termasuk pemikirannya terhadap agama. Beliau juga di masa mudanya menjadi kalangan terpelajar, yang juga ikut berinteraksi dengan tokoh RI yang dibuang ke Mentok (Bangka) pada tahun 1948-1949. Peran Mualim Yasin dalam mengajarkan nilai-nilai agama kepada generasi muda dan bagaimana aktivitas keagamaannya memberikan kontribusi pada perkembangan masyarakat Mentok pada waktu itu.
Dikenal masyarakat dengan panggilan “Mualim Yasin” atau terkadang lebih akrab di lidah orang Mentok dengan dialek/logat penyebutan “maklem“. Dalam beberapa catatan dan karya, beliau mencantumkan singkatan dari namanya, yakni “Amykhal” (Abang Muhammad Yasin Khaliq). Beliau dilahirkan pada tanggal 17 Ramadhan 1333 H/31 Juli 1915 M. Masa kecil hingga remaja beliau habiskan di Mentok. Barulah kemudian ketika beliau melanjutkan pendidikan di kota pelajar yakni Yogyakarta, beliau meninggalkan tanah kelahirannya. Beliau di kota pelajar menempuh pendidikan di sekolah Muhammadiyah. Tercatat dalam dokumentasi yang disimpan oleh keluarga bahwa beliau sekolah di sekolah Muhammadiyah yakni di Tabligh School Muhammadiyah Yogyakarta.
Dalam dokumentasi tersebut tertulis informasi pada papan tulis atas bahwa “wa’alaina illal balaghul mubiin” logo Tabligh School, Mataram 28 Agustus 1939 dan di papan tulis bawah tertulis Tabligh School. Di sana beliau juga bergabung dengan Hizbul Wathan (Kepanduan atau Pramuka di Muhammadiyah) dan grup kesenian.
17. KH Hasan Basri Sulaiman lahir di Koba, 09 April 1923 dari pasangan Sulaiman dan Zainab Wawasan pengetahuan keagamaan yang dimiliki oleh KH. Hasan Basri Sulaiman tidak terlepas dari latar belakang pendidikannya yang merupakan lulusan dari Normaal Islam School atau lebih dikenal sebagai Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiyyah Padang Panjang,
Sumatera Barat. Sebagai alumni Kulliyatul Mu’alliin Al-Islamiyyah Padang Panjang, tidak heran jika KH Hasan Basri Sulaiman juga menguasai bahasa Arab. Bahkan, penguasaan bahasa yang dimilikinya tidak hanya sebatas bahasa Arab, namun juga menguasai bahasa Belanda, Jepang, dan bahasa Inggris. Setelah menyelesaikan pendidikannya, KH. Hasan Basri Sulaiman kembali pulang ke Bangka yang pada waktu itu masih menjadi bagian dari Sumatera Selatan.
Selain menjadi seorang mubaligh, KH. Hasan Basri Sulaiman juga memiliki keahlian di bidang seni yang mengalir dalam darahnya. Hal ini terlihat dari kepiawaiannya dalam bermain biola, akordion, dan piano. Kegemarannya di bidang seni ini terus ditekuninya di sela-sela kesibukannya menjadi seorang mubaligh Muhammadiyah.
18. H. Usman, beliau adalah seorang tokoh yang tinggal di wilayah Sungailiat. Geliat Haji Usman yang menjadi sorotan adalah ketika perhatian beliau terhadap arah kiblat yang terjadi di Masjid Sungailiat. Pada tahun 1918 Haji Usman meragukan ketepatan arah kiblat di masjid tersebut. Menurut beliau, bahwa arah kiblat untuk wilayah Sungailiat adalah 24,5 derajat. Sedangkan dalam pengukuran yang ada terdapat 25 derajat dan 28 derajat.
Oleh sebab itu, menurut Haji Usman yang disampaikan kepada penghulu Sungailiat agar arah kiblat masjid tersebut dibetulkan. Kehati-hatian dan perhatian Haji Usman ini merujuk pada hadits yang menyatakan “bila arah kiblat masjid salah, maka sia-sialah sembahyang yang diadakan di dalamnya”.
19. Syekh H. Zaini Ruslan
Lahir pada tahun 1949, dari seorang saudagar di pulau terpencil bernama Pulau Liat dan lumrah dengan sebutan Desa Pongok di Kabupaten Bangka Selatan, tidak menyurutkan keinginan Syekh H. Zaini Ruslan untuk berdikari dan mandiri dengan skillnya mengikuti jejak seorang ayah Ki’ Selan (sapaan akrab). Selain dikenal sebagai pengusaha aktif, sebagai warga nahdlyin pada tahun 1987 Syekh.
H. Zaini Ruslan menerima mandat sebagai pengurus NU bidang dakwah sebagaimana tertuang dalam SK kepengurusan pada tahun 1987. Dan yang pada masa itu syekh. H. Zaini Ruslan juga dipercayakan untuk menakhodai Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah Indonesia (JATMI) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
20. Durahim bin Tahir
Beliau adalah putra dari pasangan Muhammad Tahir dan Sarijah yang lahir pada tanggal 20 November tahun 1922. Nama lengkapnya adalah Abdurrahim, terlahir sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, yakni Abdurrahim, Ramdah, dan Rais. Ia dilahirkan di kampung Peradong, yang diapit oleh kampong Pangek dan Teritip (Air Nyatoh) Kecamatan Simpang Teritip Kabupaten Bangka Barat. Beliau berjasa dalam menyurat atau menyalin ulang dari kitab-kitab yang telah ada untuk diperbanyak demi keperluan belajar dan mengajar.
21. H. Abdussamad
Beliau adalah seorang tokoh yang berasal dari Kemuja-Bangka. Menyelenggarakan pengajian tidak hanya di rumahnya sendiri, tetapi juga di pondok kebunnya. Apabila beliau sedang berada di kebun, maka para murid mendatanginya ke kebun yang jaraknya 5 km dari rumahnya di kampung dan ditempuh dengan berjalan kaki. Berkat keuletan dan kegigihannya, banyak murid-muridnya di kemudian hari menjadi tokoh agama berpengaruh. Beliau juga merupakan salah satu tokoh pendiri madrasah di Kemuja tahun 1932 yang menjadi tempat mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama. Beliau wafat pada tahun 1980-an.
22. H. Usman Payabenua
Beliau adalah salah satu murid dari Syekh Abdurrahman Siddik. Mendalami ilmu agama selama bermukim di tanah suci. Kemudian setelah kembali beliau menjadi salah satu ulama dikenal di Bangka. Semasa hidup, beliau banyak melaksanakan kegiatan dakwahnya di daerah Bangka Tengah. Setelah beliau wafat dan dimakamkan di Payabenua, kegiatan dakwahnya dilanjutkan oleh anak-anaknya. Dari keturunannya kemudian lahir tokoh agama di Paya Benua, yakni KH Munzal bin Su’ud.
23. H. Zainawi, beliau adalah kelahiran Kemuja Bangka, pendiri Pondok Pesantren Salafi Nurul Muhibbin tahun 1999. Pesantren tersebut didirikan atas inisiatif priibadi beliau dan sekaligus sebagai pimpinan. Di pesantren yang diasuhnya, beliau mengajarkan tradisi Pendidikan keagamaan mengikuti Banjar-Kalimantan. Materi keagamaan yang diajarkan ddiambil dari kitab-kitab yang ditulis oleh ulama-ulama dari Banjar.
24. KH Usman Fathan
Beliau adalah ulama kharismatik Bangka Belitung. Mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bangka Belitung itu wafat di kediamannya di Jalan Abdullah Addari, Kelurahan Rawa Bangun, Kecamatan Taman Sari, Kota Pangkalpinang. KH Usman Fathan dikenal sebagai sosok yang sederhana dan dekat dengan umat. Dia adalah pencetus Pondok Pesantren Hidayatussalikin. Almarhum meninggal diusia 94 tahun dengan meninggalkan empat orang anak.
25. KH Munzal
KH Munzal bin Su’ud bin H. Usman merupakan ulama yang masyhur di Pulau Bangka. Beliau berasal dari kampung Payabenua Kecamatan Mendo Barat, Bangka. Dalam keseharian beliau sering dikenal dengan Guru Munzal.
Beliau adalah guru yang paling aktif mengajar di pengajian-pengajian. Pengajian yang diselenggarakannya tidak hanya terdapat di kampungnya, melainkan di beberapa kampung lain, bahkan di kota di Pulau Bangka.
Sebagai keturunan ulama terkenal, yakni kakeknya H Usman yang juga murid dari Syekh Abdurrahman Siddik, beliau dipandang tidak hanya memiliki pengetahuan agama yang tinggi, tetapi juga mendalami ilmu umum, yakni Bahasa Inggris dan Sejarah.
Guru Munzal adalah panutan, beliau tidak hanya mengajarkan agama, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kebersamaan dan toleransi dalam kehidupan sehari-hari. Beliau mengajar majelis di Sungkap. Ketokohan beliau sangat luar biasa, setiap hari tertentu pasti dinanti oleh Masyarakat dan beliau sangat banyak memberi nasihat kepada Masyarakat. Beliau wafat pada tahun 2024 dan dikebumikan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Desa Payabenua, Mendo Barat. (*/Tras).