Penulis: Saidun Derani
OPINI, TRASBERITA.COM — Kata ulama diambil dari kitab suci umat Islam Alquran pada dua tempat. Pertama dalam surat Fathir, ayat 28 dan al-Syu’ara, ayat 197.
Di masyarakat Indonesia kata ulama beragam panggilannya. Misalnya di Betawi dipanggil Guru, di Jawa umumnya dipanggil dengan Kiai, di Sumatera ada dipanggil Syaikh, Buya, Teungku, di NTB dipanggil Tuan Guru, dan di Sulawesi Anreguru dan Gurutta.
Studi Dr. Ibnu Qoyim Ismail, MS, masih turunan Tumenggung dari Kota Empek-Empek Kota Palembang menyebutkan bahwa pra kemerdekan di Indonesia ulama dibagi dua katagori yaitu ada ulama birokrat dan ulama independent atau ulama bebas ( Qoyim, 1997; Kiai Penghulu Jawa Masa Kolonial).
Yang dimaksud dengan ulama birokrat adalah ulama yang diangkat dan digaji pemerintah kolonial Hindia Belanda yang mengurus urusan-urusan yang terkait dengan kepentingan Ketimuran dan umat Islam Hindia Belanda.
Sedangkan ulama bebas adalah ulama yang secara mandiri mendirikan lembaga-lembaga Pendidikan Islam untuk memajukan anak pribumi muslim yang mendapat diskriminasi sosial budaya dalam konteks politik kolonial Hindia Belanda.
Labih lanjut Qoyim menerangkan bahwa ulama bebas ini yang sering menimbulkan masalah terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Mengapa demikian karena memang topuksi ulama yang diperintah Allah Swt adalah membaca dan menyampaikan, menjelaskan, mengajarkan dan memutuskan masalah yang dihadapi umat Islam, dan terakhir tupoksi ulama adalah memberi teladan dalam mengamalkan ajaran Islam.
Pastilah penjajah Kolonial Belanda tidak bersahabat dengan ulama bebas karena tidak bisa dikendalikan sesuai dengan keinginnan dan tujuan penjajahan.
Dalam konteks sejarah bangsa Indonesia kasus-kasus pengasingan ulama tercatat dalam tinta sejarah bangsa. Sebutkan saja misalnya Raden Mas Ontowiryo dikenal dengan panggilan Pangeran Diponegoro meninggal dipengasingan 8 Januari 1885 di Makassar Sulawesi Selatan.
Contoh lain adalah Depati Amir Pahlawan dari Babel diasingkan Belanda ke Nusa Tenggara Timur (NTT) dan meninggal di Kupang tahun 1885. Tentu masih banyak lagi cara-cara pengasingan yang dilakukan kaum penjajah meredam perlawanan ulama karena membela kebenaran dan anti kazaliman untuk penjaga umatnya.
Perubahan sosial dan perkembangan masyarakat sekarang ini ikut juga memberi pengaruh terhadap kedudukan ulama di masyarakat. Beragam istilah dikaitkan dengan kata ulama.
Misalnya adalah ulama orsospol (ulama organisasi sosial politik), misalnya ulama orsospol PDIP, Ulama Golkar, ulama PKB, ada ulama ormas (ulama organisasi sosial keagamaan) misal ulama NU, ulama Persis, ulama Muhammadiyah, dan seterusnya.
Para wartawan pun tak kurang-kurang menambah dengan istilah ulama Khas, dan diplesetkan sekarang dengan “ulama cash”.
Secara bercanda teman saya melihat dari aspek sosiologis, Dr.KH.M. Yakub Amin, MA, ulama “mimbar” kelahiran Medan ini menyebutkan bahwa ada 4 katagori ulama di tengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia sekarang ini.
Dikatakan ada ulama yang meninggal, ulama yang meninggalkan, ulama yang ketinggalan, dan terakhir ada ulama yang ditinggalkan.
Ulama yang meninggal adalah ulama yang istiqamah dengan profesinya sebagai pendidik dan penjaga umat; amal kebajikan, karya tulis, meninggalkan anak didiknya.
Hidupnya benar-benar diabdikan untuk menjaga “ajaran Tuhan” yang disebut dengan ulama pewaris Ambiya.
Kedua adalah ulama yang meninggalkan profesinya dan beralih ke bidang lain, misalnya lari ke bidang politik sehingga umat terabaikan.
Fenomena yang berkembang kembali ke khittah merupakan contoh nyata dalam masalah ini. Di sini penulis tak menyebutkan nama ulamanya untuk menjada nama baik dan marwah para murid-muridnya.
Katagori ketiga adalah ulama yang tidak mampu menangkap “jiwa zaman”. Contoh kasus fatwa mengharamlan rokok dan fatwa haram rebounding misalnya.
Ini artinya indikasi ulama yang ketinggalam zaman. Jadi hanya bisa membaca teks, tetapi jauh dari realitas kehidupan nyata dan tak mampu membaca konteks zaman dan masyarakat.
Dan yang terakhir adalah ulama yang ditinggalkan jamaahnya karena berbagai kasus yang terjadi dan umumnya persoalan politik. Salah satu contoh (tentu banyak contoh lain) adalah KH.Zainuddin MZ Dai Sejuta Ummat ini pernah terjun ke dunia politik.
Lalu bertobat dan kembali ke Khittah aslinya sebagai ulama Indonesia populer yang sangat disegani dan dihormati masyarakat Indonesia sampai beliau dipanggil pulang Allah Swt tahun 2011.
Dari berbagai katagori di atas kata ulama mengerucut kepada istilah yang sudah dikenal luas di dunia Islam sebagaimna yang dikutip dari Hujjatul Islam Imam al-Ghazali (w. 1111 M).
Ada ulama akhirat dan ada ulama dunia. Yang celaka sekali kata Abu Hamid (nama asli Al-Ghazali) adalah kalau ulama dunia memberi fatwa kepada masyarakat karena untuk kepentingan dunia maka masyarakat akan menjadi rusak. Dan ulama model ini senang sekali dekat dengan penguasa yang sedang naik panggung berkuasa.
Dalam konteks inilah sebenarnya kata-kata Sang Imam yang menyebutkan bahwa rusak umara karena rusak akhlak ulama, dan rusak akhlak rakyat karena rusak akhlak umara.
Sebab itulah mengapa Imam Syafi’i (w.820 M) di Mesir berpesan supaya ummat jangan berteman dengan ulama dunia dan apalgi menimba ilmu kepadanya. Allah “alam bi shawab. (*/tras)