Urgensi Pasal Perzinahan RUU KUHP dalam Perbaikan Tata Hukum Pidana Materiil Kita

ilustrasi. (ist)

Penulis: Andri Yanto
Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung

TRASBERITA.COM — Indonesia memerlukan satu kodifikasi hukum pidana baru sebagai pedoman tata hukum nasional yang relevan dengan budaya hukum dan perkembangan zaman. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku saat ini hasil adopsi (jika bukan dikatakan peninggalan) kolonial Belanda yang dengan terminologi asli Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie (WvS-NI).

Bacaan Lainnya

Peraturan ini ditetapkan pertama kali dengan Staatsblaad Bomor 732 dan mulai berlaku sejak 1 Januari 1918.

Pasca kemerdekaan, pada 26 Februari 1946, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

Lantaran Indonesia belum memiliki kodifikasi huku yang berasal dari nilai-nilainya sendiri, untuk menghindari kekosongan hukum (rechtvacuum) ditetapkanlah WvS-NI sebagai kitab hukum dengan nama baru KUHP.

Selanjutnya, pada 20 September 1958, Presiden Soekarno memperkuat kedudukan KUHP dengan UU Nomor 73 Tahun 1958 yang menyatakan keberlakuanya secara nasional.

Namun, sejak awal keberlakuanya sekalipun, berbagai permasalahan dan kesenjangan nilai dalam KUHP sudah menjadi sorotan kritis para akademisi hukum.

Dalam teori kontemporer, idealisme suatu hukum setidaknya harus memenuhi tiga unsur fundamental, yakni pragmatisme hukum materiil, prosedur dan sarana penegakan formil yang komrehensif serta relevansinya dengan budaya hukum masyarakat.

Poin ketiga inilah yang merupakan titik awal permasalahan, lantaran nilai-nilai dalam WvS-NI atau KUHP bukanlah digali dari keluhuran budi bangsa Nusantara, melainkan ‘dicomot’ dari keping-keping kepentingan dengan nuansa Positivistik bangsa Belanda yang menganut sistem Eropa-Kontinental.

Menanggapi diskrepansi hukum dan sosial tersebut, Seminar Hukum Nasional I pada 11-16 Maret 1963 di Jakarta mengeluarkan rekomendasi perancangan kodifikasi hukum pidana nasional yang dipimpin oleh Professor Soedarto.

Inilah cikal bakal pertama bagi RUU KUHP.  Sejak saat itu proses perumusan rancangan kodifikasi terus dihalankan dan hampir tidak pernah lolos dari tahap legislasi.

Lebih dari 50 tahun sejak diusulkanya, pada 2020 silam, rancangan RUU KUHP yang hampir selalu masuk sebagai Prolegnas DPR juga gagal disahkan lantaran protes berkepanjangan dari masyarakat. Akibatnya, cita-cita dan kebutuhan bangsa Indonesia akan satu tata hukum baru yang bersesuaian dengan budaya hukum nasional itu masih belum tercapai.

Padahal, Belanda sendiri sebagai negara asal pemilik WvS sudah melakukan pembaruan hukumnya sejak 1970an.

Dengan kata lain, Indonesi masih berkutat dengan sistem hukum pidana ‘usang’ yang bahkan di negara asalnya tidak lagi digunakan.

Overspel KUHP

Problematika kompleks yang mendasari urgensi pembaharuan hukum pidana di Indonesia tidak hanya bersifat materiil dalam beberapa pasal, melainkan juga pada segi fundamental teori-teori yang mendasarinya.

Dalam kajian hukum, Positivisme yang menjadi pondasi dalam sistem hukum di Indonesia ditenggarai sebagai aktor utama yang menciptakan hukum yang ‘kaku’ dan ‘kering’.

Hal ini, tidak sejalan dengan budaya hukum bangsa Indonesia sendiri. Bahkan, dalam banyak ekstrem, regulasi dalam KUHP kerap bertentangan dengan hukum adat dan nilai-nilai bangsa Indonesia sendiri, salah satunya adalah perihal perzinahan.

Perzinahan dalam perspektif normologis bangsa Indonesia sudah pasti dianggap sebagai bentuk pelanggaran atas hak asasi dan nilai-nilai moralitas.

Perzinahan, sebagaimana halnya pencurian dan pemerkosaan adalah satu koridor perbuatan tercela yang tidak dapat diterima masyarakat.

Namun, dalam tata hukum positif, KUHP tidak secara komprehensif mengatur perihal pindana terkait perbuatan tersebut.

Konteks perzinahan dalam KUHP dimuat dalam pasal 284 dan 241 dengan peristilahan bahasa Belanda yakni overspel.

Namun, terdapat degradasi etimologis terhadap istilah tersebut.

Menurut kamus Van Dale, overspell berarti geslachtgemeenschap van iemand met een vaste relatie, meet een ander dan zijn vaste partner, yang berarti persetubuhan yang dilakukan oleh orang yang sudah memiliki hubungan pernikahan dan baginya berlaku ketentuan 27 Burgerlijk Wetboek.

Dengan kata lain, pasal 284 dan 241 hanya bisa mempidanakan perzinahan yang dilakukan oleh seorang yang sudah dan sedang memiliki hubungan pernikahan, dengan orang lain yang bukan pasangan nikahnya.

Sementara itu, konteks Overspel tidak menjerat pelaku perzinahan yang belum menikah, sudah dewasa dan didasari oleh rasa suka sama suka.

Hal demikian, merupakan bentuk kekosongan hukum (rechtvacuum) dalam KUHP.

Memang, apabila kita berbicara dalam perspektif bangsa Belanda, aturan yang demikian tidak memiliki urgensi untuk ditetapkan.

Budaya individualisme dan kebebasan dalam ranah privat membenarkan hukum Belanda untuk memberi kebebasan bagi setiap orang dewasa untuk menentukan perilaku privatnya, selama tidak menimbulkan kerugian umum, termasuk melakukan hubungan diluar nikah secara bebas.

Namun, berbeda dengan Belanda, budaya hukum masyarakat Indonesia menganotasikan perbuatan perzinahan diluar nikah, meski sudah dewasa dan atas dasar suka sama suka adalah bentuk pelanggaran moralitas, sehingga terdapat urgensi untuk ditetapkan dalam KUHP.

Wacana komplementasi pasal perzinahan ini secara ideal telah ditetapkan sebagai bagian integral dalam RUU KUHP versi Tim Basaroedin yang digodok sejak 1980an.

Dalam RUU KUHP terbaru, masalah perzinahan diatur dengan Pasal 417 ayat 1 yang berbunti:

“Setiap orang yang melakuikan persetubuhan dengan orang yang bukan uami atau istrinya dipidana karena perzinahan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda kategori II. Penetapan pasal ini secara langsung memperluas makna overspel dalam KUHP, dan dengan demikian relevansinya dengan kebutuhan dan bangsa Indonesia dapat terpenuhi.

Bersifat Delik Aduan

Sistem pemidanaan di Indonesia menganut doktrim ultimum remidium, yang berarti bahwa pidana adalah jalan terakhir yang digunakan hanya apabila jalan penyelesaian lain tidak dapat diusahakan.

Meski demikian, bukan berarti sifat ultimum remidium menjadi tidak terbatas, melainkan terlimitasi dalam konteks pelanggaran (mala in prohibita), terutama bila berkaitan dengan ranah privat.

Sedangkan dalam konteks kejahatan (mala in see), pendekatan ultimum bisa berganti menjadi primum, dengan mengedepankan pemidanaan, misalnya dalam hal perampokan, pembunuhan dan kejahatan seksual, hal demikian harus diselesaikan dengan pidana.

Salah satu perbedaan utama antara antara pelanggaran dan kejahatan adalah sifat delik, yakni aduan dan langsung.

Perbuatan yang dikategorikan sebagai delik langung akan menuntut kewajiban negara untuk menyelesaikanya, karena bertentangan dengan norma publik.

Sedangkan dalam delik aduan, negara bersifat pasif dan hanya wajib menangani suatu perkara apabila terdapat pengaduan dari masyarakat dan atau subjek hukum lainya yang dirugikan hak-haknya oleh perbuatan tersebut.

Kembali ke permasalahan perzinahan, dalam teori hukum, perbuatan tersebut adalah bagian dari ranah privat, dan bukan publik.

Dengan kata lain, sudah seharusnya delik yang mengatur mengenai masalah perzinahan bersifat delik aduan dan baru dapat diproses hukum apabila terdapat pengaduan.

Dalam RUU KUHP versi 15 September 2019, aduan atas delik perzinahan dapat diajukan oleh  suami, istri, orang taua dan atau anak dari pelaku.

Hal ini ideal untuk memberi ruang penyelesaian non-ligitasi, dan sejatinya memang sudah banyak diterapkan saat ini.

Dengan adanya jalur hukum dua arah, non-ligitasi dan ligitasi, maka jaminan rasa keadilan, kebermanfaatan dan kepastian hukum dapat lebih diterapkan secara ekuiblirium. (TRAS)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *