Penulis: Assoc. Prof. Dr. H. Saidun Derani, MA
OPINI, TRASBERITA.COM — Didin Syafruddin, Dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Kependidikan UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, yang pernah menimba ilmu ketarbiyahan di negeri Kanguru, Australia, menengarai dalam tulisannya “Argumen Supremasi Atas Perempuan: Penafsiran Klasik Alquran Surat al-Nisa’, ayat 34”, bahwa muncul tuntutan dari kaum femenis antara lain dipresentasikan Prof Dr Musda Mulia, APU, Lies Marcus, dkk, yang menempatkan kaum laki-laki “superior” dari kaum perempuan.
Sebab itu kata Didin, diperlukan orientasi baru dalam hal pemahaman Alquran (4: 34) karena tak sesuai (relevan) lagi dengan fakta lapangan kekinian (Syafruddin, 1994: 4-10).
Kemunculan gerakan femenis dimotori kaum perempuan kelas menengah atas di negara-negara Eropa, terutama di Amerika Utara (AS) tahun 1960-an dan tahun 1970-an karena merasa dipenjara di rumah oleh kaum laki-laki (suami). Pada periode itu lahir buku “The Feminine Mystique (1963)” penulis Betty Freedom sebagai momentum gerakan ini (Khotimah, 1999: 1).
Dalam bahasa Sayid Qutb bahwa perempuan berontak kepada kaum laki-laki di Barat karena mereka ditempatkan seperti ‘kucing kurap’ tempat beranak pinak seperti hewan (Qutb, 1981: 24-26).
Rahim asal usul kelahiran gerakan feminis adalah peradaban Barat yang berakar pada budaya Yudeo-Kristiani (untuk memahami lebih mendalam tentang budaya Yudeo-Kristiani baca Al-Attas 1981: 1-69; Husaini: 2005) yang cendrung menempatkan perempuan sebagai “barang komoditi”.
Apakah Islam juga sama dalam mengelola dan melihat sosok perempuan. Sejauh penelitian penulis yang bersumber dalam ajaran pokok Islam, Alquran dan al-hadits, tidak lah bersikap demikian.
Dalam tulisan ini penulis mencoba mengeksplorasi wawasan (wawasan diartikan dengan pandangan, paham tentang sesuatu hal, mengerti benar akan suatu perkara. Lihat Poerwadarminta, 1993: 694, 1150) Alquran tentang perempuan dengan penekanan pada ayat-ayat yang merujuk pada pengertian, kejadian, kedudukan, tupoksi, peranan, dan hak-hak perempuan. Penulis pikir baik juga dalam tulisan ini diangkat ke permukaan (ditayangkan) beberapa sosok perempuan yang disebutkan dalam Alquran.
Arti Perempuan dalam Alquran
Setidaknya ada tiga kalimat Alquran yang sangat jelas menunjuk pada arti perempuan, yaitu al-nisa’, al-mar’ah, dan al-untsa.
Untuk kata al-Nisa’ dalam konteks jama’ (plural, banyak), Alquran menyebut sebanyak 59 kali dan tersebar dalam 16 surat dengan rincian; surat Nisa’(4) 20 kali, al-Baqarah (2) 9 kali, al-Ahzab 6 kali, Ali Imran (3) 4 kali, al-Nur dan al-A’raf masing-masing 3 kali, Yusuf, al-Hujurat, al-Thalaq, al-Mujadalah masing-masing 2 kali, al-Ma’idah, al-Naml, Ibrahim, al-Qashash, Ghafir, dan al-Fath masing-masing 1 kali (Baqey, 1987: 699).
Perlu diketahui pula bahwa kata al-nisa’ atau niswah mengandung dua arti, yaitu perempuan dan istri (Munawwir, 1997: 1514) dan keduanya terdapat dalam Alquran. Misalnya dengan makna perempuan disebut dalam surat Ali Imran (3): 14, sedang dengan makna istri terdapat dalam surat al-Baqarah (2): 187.
Kata al-mar’ah kebanyakan berbentuk tunggal, kecuali dalam surat al-Baqarah (2): 282, dan al-Qashash (28): 23 berbentuk tatsniyah. Tidak kurang 26 kali kata ini disebutkan Alquran tersebar dalam 15 surat, yaitu pada surat al-Tahrim dan Yusuf masing-masing 3 kali, al-Nisa’, Ali Imran, Hud, al-Ankabut, Maryam, al-Qashash, dan al-Naml masing-masing 2 kali, al-Baqarah, al-Ahzab, al-Zariyat, al-Lahab, al-A’raf masing-masing 1 kali (Baqey, 1987: 633).
Kata al-mar’ah juga memiliki dua arti, yaitu perempuan dan istri (Munawwir, 1997: 1322). Dengan makna perempuan terdapat dalam surat al-Baqarah (2): 282, sedang dengan makna istri disebutkan dalam surat Ali Imran (3): 40.
Sementara kata al-untsa disebut Alquran sebanyak 30 kali baik dalam konteks tunggal, tatsniyah dan jama’; terdapat dalam surat al-Nisa’ dan al-An’am masing-masing 4 kali, Ali Imran dan al-Najm masing-masing 3 kali, al-Baqarah, al-Nahl, dan al-Syura masing-masing 2 kali, al-Ra’d, Fathir, Ghafir, Fushshilat, al-Hujurat, al-Qiyamah, al-Lail, al-Isra’, al-Shafat, dan al-Zuhruf masing-masing 1 kali (Baqey 1987: 93). Kata al-untsa dipakai untuk menyebutkan perempuan sebagai jenis kelamin (Munawwir, 1997: 42).
Ketiga kata yang dipergunakan Alquran di atas- al-nisa’, al-mar’ah, al-untsa berbicara tentang perempuan dalam konteks sebagaimana pokok soalan yang penulis paparkan di muka.
Kejadian Awal Perempuan.
Dalam hal ini surat al-Nisa (4): 1, sebagai rujukan para mufassir (Ahli Tafsir). Kata “nafs” yang terdapat dalam ayat tersebut dipahami berbeda. Sebagian, antara lain Suyuthi, Ibnu Katsir, Qurthuby, Abu Su’ud, bahkan al-Thabarsi, mufassir Syi’ah abad 6 H/627 M, kata al-nafs diinterpretasikan (ditafsirkan) mereka dengan makna Adam (Al-Munawwar, 1999:15; Shihab, 1996: 299-300).
Hal ini disebabkan karena mereka memahami kata “zaujaha” dengan pasangan Adam dan Hawa. Maka kalimat –khalaqa min nafs- secara sederhana dimaknai dengan Hawa (perempuan) yang diciptakan dari Adam.
Pemahaman ini, kata Shihab, Ulama Tafsir Indonesia kelahiran Sulawesi Selatan, diperkuat hadits Imam Tarmizi dari Abu Hurairah:” saling berpesan untuk kebaikan kepada perempuan, karena kejadian mereka dari rusuk Adam yang tidak lurus (bengkok)”.
Para mufassir kontemporer (zaman now), antara lain Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, al-Thabathaba’i, termasuk M. Quraish Shihab, Aqil Husain al-Munawwar, KH. Muslih Abdul Karim, memaknai kata “nafs” secara metaforis (simbolik).
Hadits ini memberi ‘warning’ (peringatan) kepada kaum laki-laki khususnya, supaya “mengelola” (menjaga, mendidik) perempuan secara bijak. Mengapa karena sifat, karakter, dan kecendrungan perempuan tidak sama dengan pria. Pepatah Melayu dalam hal ini menyebutkan bahwa “perempuan itu dikeras patah, dilemah meminjak”.
Rasyid Ridha, pakar tafsir kelahiran Syiria, menduga bahwa kejadian Hawa dari tulang rusuk Adam bersumber dari Kitab Perjanjian Lama (Kejadian II: 21-22) :
”Waktu Adam tidur (pulas), maka diambil Allah satu tulang rusuknya. Kemudian ditutup lagi dengan daging. Dari tulang rusuk Adam inilah Allah menciptakan seorang -lakiperempuan”.
Jadi sumber pengambil paham perempuan dari tulang rusuk laki-laki ini dari sumber Israiliyat (sumber cerita dari Yahudi dan Nasrani) (Zahabi, 1993:8).
Nah pendapat mana yang dipakai pembaca? Sebagai catatan tambahan, Muhammad Syaltut, pemikir muslim kelahiran Mesir abad 20, mengingatkan kita bahwa tabiat manusia, baik perempuan maupun pria, hampir sama (Shihab, 1996:298-299). Mengapa karena Allah memberikan potensi kepada keduanya dengan kemampuan yang memadai untuk memikul tanggungjawab, baik aktivitas yang bersifat umum mupun khusus.
Kedudukan Perempuan
Zaman now (perempuan juga sebagian mengahasilkan sumber ekonomi) awal abad 21 ini, cara pandang kebanyakan masyarakat dengan melihat kenyataan di lapangan, perempuan semakin diposisikan sebagaimana Allah Swt dan Rasul-Nya inginkan. Coba kita perhatikan kritik Alquran surat al-Nahl (16):58-59 kepada masyarakat Arab pra-Islam yang memandang rendah perempuan.
Alquran surat al-Hujurat (49): 14; Ali Imran (3): 35 menegaskan bahwa betul sekali secara fisik ada perbedaan antara perempuan dan pria. Akan tetapi dalam amal perbuatannya, masing-masing bertanggungjawab sendiri-sendiri kepada Sang Khalik, Allah Swt. Fungsi biologis perempuan seperti menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui (QS 2: 222, 233; 3: 35-36) tidak dimiliki kaum pria sebagai “penuang” benih kehidupan.
Apakah karena faktor ini lalu kedudukan perempuan menjadi rendah. Dalam kenyataan kehidupan keseharian di masyarakat bahwa kita melihat perempuan saling “fastabiqul khairat” untuk berbuat yang terbaik sesuai dengan peran yang diembannya. Kita mengambil contoh, dalam hal edukatif, baik di tingkat yamg paling rendah TK sampai Perguruan Tinggi peran perempuan tidak bisa diabaikan.
Ada lagi persoalan lain, bagaimana dengan perempuan (yang baik-baik) kalau mendapat suami (yang tiran, kufur, dhalim), dan sebaliknya, apakah secara otomatis masuk katagori Neraka Jahannam? Allah Swt sendiri langsung menjawabnya kata Dr. KH. Muslih Abdul Karim.
Perhatiakan surat al-Nisa (4): 124; al-Tahrim (66):10-11; Ali Imran (3): 190; Taubah (9): 71. Surat al-Nisa’ (4): 124, misalnya menjelaskan bahwa ”siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan yang beriman, mengerjakan amal kebajikan, maka balasannya al-Jannah dan mereka tak disiksa sedikit pun”.
Sangat jelas dalam Alquran terkait masalah spiritual dan konstruksi sosial di mana posisi perempuan dan pria memiliki statuta yang sama. Jika di alam fana ini kita masih menemukan sebaliknya, barangkali ini ladang amal untuk kita diskusikan dan mencari solusinya mengapa demikian. Barangkali kita sendiri justru menjadi sumber masalah itu.
Tupoksi Perempuan
Muhammad Quraish Shihab, Imam Besar Masjid Attin TMII, dalam konteks ini memberikan permisalan antara tajamnya mata pisau (golok dan semacamnya) dan halusnya bibir (permukaan) gelas. Jadi memang peran dan fungsi masing-masing itu ada perbedaannya (Shihab, 1999: 29). Beliau merujuk kepada surat al-Ahzab (33): 33 ”hendaklah kalian (kaum perempuan) (tetap) di rumah dan jangan berhias (bersolek minor) serta berperilaku seperti orang-orang Jahiliyah pra kalian”.
Al-Qurthuby (w.1272 M) mengelaborasi titah Tuhan di atas dengan kata-kata:”…agama (Islam) memberikan tuntunan (bukan tontonan) agar kaum perempuan tinggal di rumah dan tidak ke luar kecuali kondisi “memaksa”.
Hal yang senada walaupun dengan redaksi yang berbeda disampaikan Ibnu Katsir (w.1372 M):” kondisi memaksa dipahami sebagai kebutuhan yang diaminkan (dibenarkan) agama (Islam)…” (Khotimah, 1999: 11).
Ini bukan berarti perempuan tak boleh meninggalkan rumah. Betul bahwa mengelola (managementnya) rumah tangga merupakan tugas pokoknya, selain pekerjaan itu sifat sunnah.
Akan tetapi yang penting diperhatikan bahwa kenyataan di masyarakat kita memukan kasus ada sebagian (mungkin mayoriti) perempuan tugas di luar rumah menjadi “wajib”.
Abdullah Gymnastiar, dikenal dengan sapaan AA Gym, Da’i Entrepreneur kelahiran Bandung, Jabar, memberi istilah kondisi ini dalam ceramah-ceramahnya dengan sebutan “suami pemakan rizki”. Maksudnya istri yang bekerja dan suami hanya di rumah.
Yang penting kata Shihab, sejauh pekerjaan itu membutuhkan dan norma-norma agama serta susila kemasyarakatan tetap terjaga boleh-boleh saja perempuan ke luar rumah (Shihab, 1996: 307)
Persoalannya kecendrungan mana yang dipilih perempuan tentu banyak faktor yang memberi pengaruh, antara lain faktor pemahaman teologis, faktor tuntutan kebutuhan hidup (ekonomi), faktor adat istiadat setempat, dan lain sebagainya.
Hak dan Kewajiban Perempuan.
Merunut kepada surat al-An’am (6): 151; al-Isyra’ (17): 31; al-Thalaq (65): 6 terkadung perintah Allah Swt bahwa kepada perempuan (pra nikah) supaya diperlakukan dan dirawat dengan baik dan benar.
Ini mengisyaratkan bahwa hak anak (perempuan) untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan memadai (catatan pinggir; kenyataan di masyarakat kita menemukan kebanyakan sebaliknya kurang terurus dan terdidik dengan baik dan benar).
Dari sudut ini perintah di atas ditujukan kepada kedua orang tua yang paling bertanggungjwab (rumah tangga adalah lingkungan pertama pendidikan anak) dengan mengacu kepada tuntunan Nabi Muhammad Saw:”didiklah anak-anak kalian sesuai tuntutan (kebutuhan) zaman mereka”.
Jadi terkandung makna hadits ini bahwa ada tuntutan kecerdasan intelektual, emosional, spiritual, sosial dan entrepreneurship kepada kedua orang tua untuk melahirkan generasi yang berbobot.
Penulis pikir penting juga dipahami makna “pendidikan layak dan memadai” harus menjadi perhatian sungguh-sungguh (kaum muslim umumnya khususnya kedua orang tua), baik dilihat dari aspek kedua orang tua, masyarakat, dan pemerintah (al-Nur (24): 3; al-Ahzab (33): 59. Mengapa karena dari pendidikan (anak) perempuan yang baik dan benar ini akan lahir para negarawan yang arif nan bijak. Syair Sauqi Baiq:”jika akhlak perempuan baik maka akan baiklah (tegak) suatu bangsa/Negara”.
Dengan demikian kedudukan ibu dan sekaligus sebagai istri menempatkan posisi sangat penting (soko Guru) di rumah tangga. Kita perhatikan dengan teliti dan jenial isyarat-isyarat Alquran dalam surat al-Baqarah (2): 187, 223; al-Nisa’ (4): 19; Luqman (31): 14; al-Thalaq (65): 6 dan hadits Bukhari tentang kewajiban perempuan di rumah tangga.
Al-Baqarah (2), ayat 187 dan 223, Alquran memberikan perumpamaan (simbolik) perempuan sebagai “lahan bercocok tanam” dan “pakaian” suami. Barangkali “teman bergelut” atau “tetangga kasur” dalam istilah sastra Melayu menggambarkan begitu elok berkelindan antar suami-istri ini.
Mungkin ini yang dimaksud kata-kata “Sakinah, rahmah dan mawaddah” dalam khutbah nikah di lingkunan tradisi kaum muslim itu. Saling melindungi, saling menjaga, asah, asih, dan asuh seperti substantive kandungan hadits Bukhari di atas, “dipergauli” secara baik (ma’ruf) (al-Nisa’ (4): 19; al-Baqarah (2):228), mendapatkan nafkah dan tempat berteduh yang memadai (al-Baqarah (2): 223; al-Thalaq (65): 6).
Implikasi makna perempuan sebagai ibu, maka ada hak mereka yang wajib dipenuhi anak. Isyarat Alquran surat Luqman (31): 14 dan al-Baqarah (2): 233 di atas, begitu berat ancaman Alquran kepada anak yang tidak pandai berterima kasih kepada kedua orang tua.
Dalam Hadits Rasulullah Saw disebutkan bahwa penghormatan kepada ibu sebanyak 3 kali, baru kemudian kepada bapak 1 kali. Ini apa artinya, bahwa dalam pandangan Rasulullah begitu tinggi posisi ibu sebagai “madu” (soko tatal Bahasa Jawa) di rumah tangga.
Bahkan di lapangan kehidupan keseharian kita menemukan kenyataan, bahwa kondisi psikis dan fisik ibu memberi pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak, terutama pada periode pre-nata.
Mengenai aktivitas perempuan di ruang publik secara tidak langsung telah penulis singgung sedikit di muka, terutama merujuk surat al-Ahzab (33): 33, yang dielaborasi dengan cukup apik mantan Menteri Agama RI era akhir kepemimpinan HM. Soeharto, Muhammad Quraish Shihab. Kata beliau “ada kepatutan masyarakat dan norma-norma agama serta susila jangan sampai ditabrak. Sejauh itu bisa diakomodir silakan saja” (tulisan beliau di Harian Republika “Kepemimpinan Wanita Dalam Islam”).
Kasus Megawati Soekarno Putri menjadi Presiden RI yang kelima sejauh yang penulis amati diberbagai media cetak dan elektronik tak begitu marak (bukan berarti tidak ada yang mengangkat kasus ini) pembicaraan masalah ini, baik ulama dari tingkat langitan sampai ustad yang ada di tingkat langgar, surau, mushalla.
Begitu pula dalam sejarah peradaban Indonesia, kasus Ratu-Ratu Aceh menjadi Raja di Kesultanan Aceh Darus Salam, adalah kenyataan sejarah yang menerima penafsiran model ini.
Sosok Perempuan Dalam Alquran
Nama Hawa secara jelas tidak terdapat dalam Alquran hanya dipahami dari surat al-Baqarah (2): 35. Jum’ah dalam bukunya “Nisa al-Anbiya’ Fi Dhaor al-Qur’an wa al-Sunnah” menyimpulkan bahwa Hawa dalah perempuan pertama di dunia, nenek moyang seluruh umat manusia, selalu melahirkan kembar, ditemani Adam As membina Ka’bah (Jum’ah, 1993: 21).
Kalau ada perkerkembang pemahaman sebagian masyarakat bahwa perempuan itu lemah (penulis tak sepenuhnya sependapat dengan paham ini) dan perayu (membujuk), dari mana pula sumbernya sehingga muncul menjadi aksioma masyarakat bahwa kalau minta sumbangan/proyek memakai perempuan.
Kita bisa merunut hal ini kepada tafsir Ahmad Mustafa al-Maraghi, mantan Syaikh Al-Azhar, Mesir dan Tafsir al-Qurthuby. Al-Maraghi, misalnya dengan mengutip hadits Muslim:”kalau bukan karena Hawa, mungkin tak ada seorang perempuan pun yang berkhianat kepada suaminya” (Sahih Muslim, jilid 1 dan 2, t.th.: 626), yang menyimpulkan bahwa biang kesalahan itu adalah Hawa (al-A’raf (7): 20, 22, 24-25; Thaha (20): 121) (al-Maraghi, jilid IV, 1961: 120). Maksud yang sama sungguhpun dengan redaksi yang berbeda, kita dapatkan juga dalam tafsir al-Qurthuby (Jam’ah, 1993: 38).
Istri Nabi Nuh dan Luth
Kedua perempuan ini diidentikkan dengan istri yang durhaka (pembangkanng). Hal ini diisyaratkan dalam al-Tahrim (66): 10.
Ibnu Katsir menyebutkan bahwa kedurhakaan yang dimaksud adalah masalah keimanan kepada Allah Swt. Misalnya istri Nuh menginfokan kepada kaumnya bahwa Nuh adalah orang gila. Jadi mengapa harus didengar dakwah orang gila. Untuk istri Luth, karena beliau ini “panjang lidah” hobi membocorkan nama tamu-tamu suaminya kepada kaum Sodom dan maksud kedatangan para tamu ini dengan niat negative (homo sex) (Ibnu Katsir, jlid IV, t.th.: 393; al-Maraghi, jilid X,1961: 168-169).
Istri Fir’aun
Fir’aun dikenal dengan sebutan manusia tamak, lalim, tiran, dhalim, dan penguasa kaya raya, yang mengangkat dirinya menjadi “tuhan” di hadapan rakyatnya. Alquran menampilkan sosok istri Fir’aun –Ibnu Katsir menyebutnya Asiah bin Muzahim-(Ibnu Kstir, jilid IV: 394) sebagai perempuan yang beriman dan memelihara keimanannya (al-Tahrim (66): 11).
Dalam surat al-Qashash (28): 8 dikatakan bahwa perempuan ini memiliki budi pekerti terpuji serta mengasuh Musa (menjaga) ketika masih kecil. Beliau ini juga tempat berlindung dan mengadu kaum lemah dan teraniaya oleh penguasa Mesir yang korup (Saqr, 1993: 46).
Maryam binti ‘Imran